PERISTIWA tengah malam itu menjadi duka yang tetap
melekat di jiwa. Khususnya bagi ekstra kurikuler pramuka. Rabu malam Kamis,
menjadi tahun baru berdarah bagi SMPN Joko Tarub. Bagaimana tidak, tiga belas
dari tujuh belas anggota pramuka tewas mengenaskan terlindas truck fuso
bermuatan asbes. Potongan tubuh menyebar di seluruh jalan; tangan terpisah dari
tungkainya, kaki putus dari pergelangannya, usus memburai, kepala pecah, otak
berceceran, dan bau anyir darah menusuk hidung. Ratapan serta tangisan menjadi
saksi malam pergantian tahun malam itu.
Sebelum kejadian, rombongan pramuka berangkat dari halaman sekolah. Rencananya
mau menghabiskan malam pergantian tahun di pantai Siring. Semua angota sudah
selesai mengemasi barang-barang mereka. Malam yang dingin itu merupakan acara
terakhir kemah di SMPN Joko Tarub. Setelah rombongan berjalan hampir lima ratus
meter dari sekolah, terjadilah peristiwa nahas itu. Truck fuso datang dari arah
barat dan melibas semua anak pramuka.
Beberapa saat setelah kejadian mengenaskan, para
orang tua mulai berdatangan, mereka menjerit histeris melihat mayat-mayat yang
terkapar di tengah jalan. Mereka bingung lantaran banyak sekali
potongan-potongan tubuh yang tercecer di banyak tempat. Jenazah tidak bisa diamati bahkan tak bisa dikenali.
Jam dua dinihari mobil ambulance mulai datang. Perawat-perawat rumah sakit
mulai turun dan mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan. Potongan tubuh yang
masih terlihat utuh disatukan dalam satu kantong jenazah, sementara potongan
lainnya disatukan dalam kantong jenazah lain.
“Apa yang kamu pikirkan malam itu?”
“Malam itu, hawa dingin sekali, Pak! Karena
gerimis.”
“Apakah Anda mengantuk waktu itu?”
“Tidak, Pak!”
“Jangan bohong.”
“Ngapain saya bohong, Pak!”
Interogasi pihak kepolisian pada sopir fuso
berlangsung di ruangan ber-AC. Sopir dan kernet fuso diinterogasi diruangan
terpisah. Di luar ruangan sudah banyak reporter yang menunggu kejelasan
peristiwa yang tadi malam terjadi. Ada yang menunggu di depan pintu, ada pula
yang mengambil gambar Fuso. Pihak penyidik lebih fokus pada si sopir, karena
ketika kejadian, kernet fuso tidak tahu persis kronologisnya. Dia tidur.
“Kenapa Anda tidak melakukan pengereman saat melibas
anak-anak itu, karena setelah digelar olah kejadian perkara, tidak ada bekas
pengereman sedikit pun?” polisi berpakaian rapi itu kembali mengajukan
pertanyaan kepada si sopir. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi si sopir
dan kemudian menundukkan wajahnya. Diam beberapa lama. Persis seperti orang
dungu. “Jawab! Jangan diam saja,” lanjutnya.
“Sa... sa... saya takut, Pak!” tangan si sopir
menutupi mukanya yang masam. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.
“Takut kenapa?” balas polisi tersebut “Mari
ceritakan kecelakaan tersebut pada kami, biar kasus Anda cepat selesai,”
lanjutnya. Dengan mata berair, bibir gemetar,
dan kalimat yang terbata-bata sopir mulai mengungkapkan semuanya.
“Malam itu, mobil yang saya kendarai bermuatan asbes
melaju dari arah Larangan menuju Pasongsongan. Waktu kejadian berlangsung, saya
sadar seratus persen, bahkan saya bisa mendengar teriakan-teriakan mereka,
erangan, tangisan-tangisan mereka, tulang-tulang mereka yang remuk, kepala
mereka yang pecah, saya mendengar semua itu,” si sopir berhenti berbicara
sejenak untuk mengusap air matanya yang mulai menetes, “tapi saya tetap lanjut
menerabas rombongan itu, lantaran saya berkeyakinan orang yang saya tabrak itu
bukan manusia melainkan setan yang mencoba mengganggu perjalanan saya, karena
di tempat tersebut terkenal karena keangkerannya. Selama ini banyak sopir-sopir
lain kerap diganggu ketika melewati SMP itu.” Mata si sopir menerawang ke luar
ruangan yang jauh.
***
Ayat-ayat suci Al-qur’an melantun sayu, sebelum
memulai pelajaran semua murid dan para guru duduk bersama di tengah lapangan
untuk mendoakan murid-murid yang sudah lebih dulu berangkat menghadap Sang
Pencipta. Luapan air mata menghiasi. Mereka semua seperti kehilangan semangat,
tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi.
Kedua guru TU berbondong-bondong keluar dari
ruangan, disusul guru BK, mereka tergesa-gesa pergi ke kelas tujuh yang berada
di paling belakang. Kudengar suara gaduh, dan sejurus kemudian berubah menjadi
riuh. Suasana belajar jadi tidak kondusif, semua siswa dan siswi berhamburan
keluar ruangan. Semua tertuju pada kelas VII A. Sudah ada siswi yang tergeletak
tak sadarkan diri. Dan tiba-tiba mengamuk dan memberontak tak bisa dikendalikan.
Guru dan teman sekelasnya berusaha memegang, tapi lebih kuat siswi itu. suara
erangan nyaring sekali terdengar. Sementara ruangan sudah dipenuhi siswa-siswi
yang ingin tahu apa yang terjadi. Suara pengumuman agar balik ke kelas
masing-masing dari corongan yang digantung di atas plafon luar ruangan tak
diindahkan.
“Lepaskan... lepaskan...!” Pekikan suara itu muncul
dari balik riuhan suara.
“Jangan dikasari, lepaskan saja. Biarkan dia,”
lanjutnya. Sejurus kemudian, pelan-pelan pegangan yang mengikat tubuh siswi
dilepaskan.
“Semuanya mundur,” suara riuh tadi seketika terkesiap dengan ucapan yang diketahui
belakangan adalah suara Pak Abdus, dia guru agama paling senior. Semua mundur
kecuali Pak Abdus dan siswi itu yang berada di tengah-tengah ruangan. Semua memperhatikan.
“Pembunuh! Dia pembunuh!” tiba-tiba siswi itu
bersuara. Pak Abdus mendekat ke siswi yang kesurupan. Keduanya saling
bertatapan. Siswi mulai berlagak seperti ular, dia merayap di lantai dan terus
saja bergerak tak karuan.
“Siapa yang pembunuh?” sergah Pak Abdus sambil
memicingkan matanya
“Diaaaaa!” sambil tengadah dia mengacungkan jarinya
dan matanya melotot. Kemudian siswi itu
tak bergerak dan tetap telungkup. Tak lama, di luar ruangan juga terdengar
teriakan-teriakan histeris dari siswi lain, tidak hanya satu. Mereka semua
seperti terjangkit penyakit yang sangat cepat menular. Suasana sekolah menjadi
keruh. Semua guru bingung mengurus murid yang kesurupan.
“Pikiran kalian jangan sampai kosong,” ucap Pak
Abdus dengan suara nyaring.
Kebanyakan yang kesurupan adalah perempuan. Semua
tergeletak begitu saja. Sekolah tempat belajar menjadi arena ruqyah. Kiai dan
dukun desa didatangkan untuk menetralisir keadaan. Tapi hasilnya nihil. Semua
semakin tidak terkendali.
“Buatkan contengan(1) dan taruh di setiap sudut
kelas, cepat!” kulangkahkan kakiku pergi ke rumah tukang kebun yang hanya
disamping timur gedung sekolah. Tak lama segera kutunaikan semua perintah Pak
Abdus. Untuk mengantisipasi hal yang lebih buruk semua murid dipulangkan lebih
awal.
***
Keesokan harinya desas-desus membunuh brekay pote(2)
ramai terdengar. Semua mengacu pada satu nama yaitu Karno. Dia anggota anak
pramuka. Namun selamat dalam kecelakaan mengenaskan malam itu.
“Apa benar Karno telah membunuh hewan itu?” suara
Pak Abdus membuat seisi kantor dewan guru seketika senyap.
“Benar, Pak! Dia yang telah membunuh hewan tersebut.
Saya sendiri yang menanyakan hal itu,” sambung Pak Iyus selaku wali kelasnya.
Memang sekolah SMPN Joko Tarub bersinggungan denga
rawa, akibatnya banyak hewan yang terkadang masuk ke area sekolah. Sudah
disampaikan setiap penerimaan siswa baru, apabila menemui hewan yang masuk
pekarangan sekolah jangan diganggu apalagi dibunuh. Hal itulah yang selalu
disampaikan oleh pihak sekolah. Karena masyarakat berkeyakinan hewan tersebut
adalah jelmaan atau suruhan dari Nyi Sa’i. Apabila diganggu atau sampai dibunuh
akan terjadi malapetaka. Dulu ketika peresmian gedung sekolah yang pertama, ada
kejadian bus antar provinsi terguling dan terbakar, menyebabkan sopir dan semua
penumpangnya tewas seketika karena diakibatkan seseorang dengan sengaja
menembak ular sanca di area makam Joko Tarub. (*)
1) sesajen
2) biawak
putih
*Sumber: takanta.id
*Fahrus Refendi adalah kelahiran Pamekasan Madura dan tercatat sebagai Mahasiswa Universitas Madura.
0 Comments