SETIAP melewati jalan raya Badur ini, setelah
tikungan pertama dan di antara bangunan besar, hotel, dan rumah mewah itu, aku
selalu dihinggapi perasaan aneh. Aku pun tidak mengerti perasaan semacam apa
yang selalu bersarang di dada hingga memaksa berhenti beberapa lama hanya untuk
sekadar melihat sebuah pemandangan yang juga aneh.
Perasaan itu baru muncul sekitar setahun belakangan
ini. Atau mungkin aku baru merasakan meski sebenarnya keanehan itu sudah tampak
begitu lama. Di seberang jalan raya ini, di antara bangunan besar yang
dindingnya dibuat menjulang dan pongah, terdapat sepetak sawah yang begitu
muram. Satu-satunya sawah yang tersisa, tampak layu dan suram. Tubuhnya penuh
lebam dan memar di sana-sini. Bau pesing begitu jelas membaluri sekujur
tubuhnya. Ia seperti seorang pengemis yang tidak bisa berjalan dan berbicara.
Hanya menunggu dan pasrah apapun yang ditimpakan padanya. Lalat dan nyamuk
menggerogoti. Kumal dan kusam sudah melekat padanya. Mulutnya bau, matanya
sendu, dan tentu tubuhnya rapuh.
Rumput liar dan ilalang menjulang tumbuh begitu
lebat namun jauh dari subur. Ia hanya sekadar tumbuh asal-asalan dan
serampangan sehingga terlihat mengerikan. Sedang di antara akar-akarnya, ribuan
makhluk hidup berenang ke sana ke mari. Mereka juga bukan sedang berpesta.
Hanya karena keterpaksaan dan keterpenjaraan. Tak ada pilihan lain selain
berenang saja dan pasrah. Sudah pasti, makhluk-makhluk itu pelan-pelan akan
mati satu per satu. Membusuk dan sisa bangkainya menjadi sumber penyebab sawah
itu semakin keruh dan muram dan makhluk-makhluk lainnya ikut menjadi korban.
Sore hari, sepulang kantor, biasanya aku
menyempatkan berhenti di sana. Entah karena apa aku pun tak begitu paham.
Tiba-tiba saja ada perasaan yang mengikatku dengan hamparannya yang sudah menua
dan rapuh. Seakan-akan sawah yang muram itu berbisik kepadaku tentang sesuatu
yang aku pun juga tak begitu mengerti apa. Tiba-tiba saja perasaanku berkata
berhenti dan diamlah. Maka aku berhenti dan diam. Mengamati hamparan yang sunyi
dan terbuang Sementara, gedung menjulang yang berdiri kokoh di kanan kirinya
semakin berbinar dan berdendang dengan suara keras. Ia semakin pongah.
Orang-orang lalu-lalang masuk dan keluar. Berbagai merek mobil terlihat culas
dan beringas. Mereka melaju dengan cepat, bermain dengan cepat, bercanda dengan
cepat, dan mungkin bercumbu dengan cepat. Entahlah. Yang mereka mau hanyalah
kenyamanan, yang mereka tahu hanyalah kedamaian sejenak dan absurd. Lalu,
limbah-limbah itu terus mengalir dan mencari celah di ruang yang pengap dan
kosong. Ia mengalir dan mengeram seenaknya seakan tanpa dosa. Dan sawah itu
semakin pesing dan kotor.
Di tengah perjalanan menuju rumah, setelah
berlama-lama berdiam diri sambil mengamati sisa sepetak sawah yang ditinggal
penghuninya dan tak tergarap apa pun itu, aku hanya bisa melamun dan berandai.
Berharap kiamat disegerakan oleh Tuhan. Biarlah, biar kemuraman yang selama ini
membisikiku tak lagi ada.
Malam harinya, setelah makan dan menyesap kopi di
beranda, tiba-tiba sepetak sawah itu kembali membisikiku. Membawaku pada masa
lalu. Ya, sesuatu yang pernah terjadi di kampungku. Dulu. Entah sekarang.
Mungkin sudah lebih parah.
Namanya Pak Matrawi. Ia seorang petani yang giat dan
taat. Setiap pagi, sebelum subuh dia sudah bersiap. Hanya menunggu subuh dan
setelah itu dia bergegas ke ladangnya yang terkenal subur dan mendatangkan
banyak berkah. Mereka sungguh berbahagia dengan satu-satunya sepetak tanah itu.
Setiap yang ditanam pastilah tumbuh dengan bagus dan menghasilkan buah yang
juga sangat bagus.
Hampir bisa dipastikan bahwa penghidupan keluarga
mereka hanyalah dari sepetak tadi. Gabahnya mereka simpan dan sebagian dijual.
Jagungnya mereka jual dan sebagian dimakan. Kacang hijaunya juga sama. Tentu— i
n i y a n g terpenting— hasil tembakaunya sangat melimpah dan membuat
keluarganya selalu merasa sangat kaya.
Jika sudah begitu, mereka tidak segan-segan
mengundang tetangga terdekat dan kerabat untuk mengadakan selamatan. Tidak
hanya sekali. Ada saja acara yang dihelat. Tujuannya hanyalah satu. Bersyukur
dan menyenangkan tetangga terdekat. Bagi-bagi rezeki dan silaturahmi. Mereka
yakin dengan cara begitu kehidupan akan terasa tenteram dan lebih mudah.
Begitulah nenek moyang mereka selalu mewasiatkan.
Namun, waktu yang culas terus melindas dan semakin
ganas. Tak ada kesempatan bagi mereka yang diangap tak berdaya. Tak ada kenyamanan
bagi mereka yang diangap tak bermodal. Dan korban pertama yang paling banyak
diserang adalah petani. Mereka dianggap kaum lugu dengan segala
kesederhanaannya hingga begitu gampang ditipu dan diarahkan masuk ke dalam
jurang yang teramat terjal, untuk kemudian dibuang dan dibiarkan menderita,
lalu mati pelan-pelan. Tak terkecuali Pak Matrawi. Peristiwa mengenaskan itu
dimulai sejak kali pertama sebuah perusahaan tambak udang memulai garapannya di
sekitar lahan Pak Matrawi. Awalnya hanya kecil saja. Lambat laun mereka mulai
meluaskan lahannya dengan mengambil alih kepemilikan lahan-lahan yang
berdekatan. Tidak mudah bagi masyarakat melepaskan lahannya, apa lagi yang
sudah puluhan tahun mereka tanami dan masih produktif. Namun, harga yang
melambung dengan iming-iming yang menggiurkan dengan menggandeng berbagai tokoh
disertai teror-teror kecil yang dipaksakan, membuat mereka menyerah. Maka
berdirilah tambak itu dengan pongah.
Seluruh sisinya dipagari dinding beton dengan satu
pintu utama yang selalu tertutup rapat. Tidak semua orang bisa masuk dengan
leluasa bahkan meski sekadar numpang lewat untuk menjaring ikan di laut, atau
mengambil rumput untuk pakan ternak. Tak ada satu pun dari masyarakat yang bisa
protes meski mereka paham bahwa dulu, saat sosialisasi di kantor desa, mereka
menjamin akses jalan satu-satunya tetap akan terbuka lebar dan masyarakat
berhak melewatinya. Mereka paham bahwa mereka sudah tak punya dokumen apa-apa
dan percuma saja protes karena hanya membuang waktu saja.
Satu-satunya yang bertahan adalah Pak Matrawi. Dia
tak mau menjual tanahnya berapa pun harganya. Berkali-kali dibujuk,
berkali-kali diancam, berkali-kali dirayu dengan iming-iming menggiurkan. Namun
tetap saja. Dia bersikukuh menanami sawahnya seperti semula. Baginya, menjaga
sawah tetap subur dan menumbuhkan padi adalah cita-cita mulia. Maka pihak
perusahaan mulai menyerah. Hari-hari berjalan seperti semula.
Beberapa tahun belakangan dengan sendirinya sawah
Pak Matrawi mulai tidak sehat. Padinya sering mati karena hama, tembakaunya tak
harum lagi, hasil jagung dan kacang hijaunya sudah acak-acakan. Dia tahu bahwa
sumber dari masalah itu adalah limbah yang sengaja dibuang secara licik oleh
pihak perusahaan. Sudah berkali-kali dia mencoba melobi dan menggugatnya kepada
kepala desa. Tetap saja tak ada respon. Yang didapatinya malah jauh di luar
dugaan. Dia disarankan menjual saja kepada pihak perusahaan. Pak Matrawi hanya
diam dan menelan ludah dalam-dalam.
Ah, ia kembali berbisik. Lirih dan sedih. Tidak,
kali ini sepertinya suara rintihan yang tertahan. Semakin malam rintihan itu
semakin jelas dan menukik-nukik telingaku hingga berdenging nyaring. Mungkin ia
sudah tidak tahan dengan semua apek dan pengap yang dibiarkan begitu saja,
dengan kemuraman, kesendirian, dan keterlantaran yang menyakitkan. Mungkin saja
ia menangis karena sudah tak lagi bisa memberikan apa-apa kepada pemiliknya
kecuali hanya bau pesing dan tanah ranggas yang pengap hingga memaksa mereka
luntang-lantung atau hijrah ke negeri orang. Mungkin demikian juga dengan lahan
Pak Matrawi yang sudah lama tak diapa-apakan. Tak ada pilihan lagi. Namun dia
tetap bersikukuh tak ingin menjual. Suatu saat dia berharap kondisi ini akan
kembali normal. Jika pun tidak, dia sudah berusaha mempertahankan lahannya dari
penyerobotan yang akan megakibatkan kecelakaan lebih besar. Kelak. Satu-satunya
harapan bahwa tanahnya telah bersertifikat dan disimpan untuk diturunkan kepada
anak cucunya. Entah saat itu tanah produktif yang sudah mati itu sudah menjadi
apa. Dia pun tak paham. Setahu dia, ini adalah pemberian nenek moyang yang tak
boleh jatuh kepada siapa pun. Sesulit apapun. Kabar terakhir yang aku terima
bahwa sawah itu kini semakin kumuh dan tak bisa lagi ditanami hingga dibiarkan
saja tak bertuan. Pak Matrawi hanya terdiam sambil mencari usaha lain. Sesekali
dilihatnya kertas sertifikat yang masih bersih sambil berdoa dalam hati,
meminta dengan sepenuh hati.
Semakin malam suara yang membisik dan menangis itu
semakin nyaring dan membetot pendengaranku dari apapun. Hanya ada rintihan yang
semakin berat dan mendesak. Bahkan, suara-suara yang semakin ramai itu
mengikutiku hingga di dalam mimpi. Ya, ia mewujud seseorang di pojok rumahku
yang duduk telungkup dan tubuh tergoncang karena tangisannya yang kian nyaring.
Aku melihat dengan jelas, air matanya begitu deras mengucur hingga memenuhi
hampir seluruh halaman rumahku. Aku telah berusaha membujuk, tetap saja
tangisnya semakin nyaring dan air matanya semakin menggenang.
***
Pagi yang bising. Tidak seperti biasanya. Kokok ayam
terdengar riuh dan serampangan. Orang-orang mulai berteriak tidak karuan.
Dengan setengah kesadaran dan mata yang belum sempurna terbuka aku berjalan
sempoyongan ke luar. Langit hitam dan teriakan demi teriakan menambah suram
keadaan. Samar-samar suara orang memanggil-manggilku dari jarak yang lumayan
jauh. Saat kubuka pintu aku terkejut. Tercekat dan bingung. Air laut naik
dua-tiga meter. Di beberapa tempat yang rendah sudah digenangi air. Sawah kumuh
itu sudah tak tampak dan bangunan menjulang di kanan kirinya tinggal beberapa
bagian. Orang-orang lalu-lalang. Sebelum air menggenang lebih tinggi. Sebelum
rumahku tergenangi. Sebelum terlambat. Dengan mata terpicing-picing dan
kesadaran dipaksa penuh aku berlari dengan hanya mengenakan kaos oblong dan
sarung disaungkan.
Udara pagi ini dingin namun terasa gerah. Debur
ombak kian terasa nyaring dan jerit orang-orang mengangkasa hingga menembus
langit. Kulihat jauh di sana, air menggenang kian meninggi dan apungan
barang-barang yang entah bercampur dengan manusia nampak samar-samar seperti
kotoran yang menggenangi sawah beraroma pesing dan apek itu.
Sumenep, Januari 2019
*Sumber: Rakyat Sultra, 04 Maret 2019
*Khairul Umam adalah Dosen IST Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Alumni UGM ini selain sibuk menjadi dosen, juga menjadi Sekjen MWC NU Gapura.
0 Comments