SEPANJANG jalan tampak
lebih sepi dari pada biasanya. Angina silir, mengantar kemerisik samar janur.
Aroma celaltong dari kandang meruap
akrab, seperti hari-hari berlalu dengan sedikit harap para pemilik sapi
saat-saat membajak agar kering-kerontang tanah membawa berkah dan untung.
Sepotong senja
memanjangkan baying-bayang, kadang menggantung di antara pucuk-pucuk pelepah
siwalan, nyelusup dan rebah di antara nisan-nisan, yang berserak tak terawatt
di atas sepetak sawah, yang hanya sesaat basah oleh peluh pekerja lepas yang
melas, menunggu jasa orang-orang kampung yang butuh tenaga. Cah. Seperti tak puas dalam jedah kincir
angina, lenguh sapi kembali terdengar ganjil panjang dan sumbang, sesaat
berjingkrak pasrah seiring irama lotreng:
dendang tembang dan lengking saronen, tak peduli di punggung penuh bercak,
nanar dan luka sarat goresan paku hingga lelehan darah segar dari pantat yang
memar, menyeruak bau apek, cabe, balsam sengak. Sementara, riuh-guruh, hempasan
pelepah siwalan, dan lengking oreng-orang dari seberang silih berganti: jerit
histeris bagai talu pilu digiring angina memasuki lubuk kampung.
Sekarang, ketika aku
tengah berkemas hendak pergi, beberapa orang dari seberang pintu berteriak;
memintaku agar mengurungkan rencana keberangkatan ke kota menuju tempatku
bekerja.
“Gawat…!!” Teriak
mereka. Diperintahnya aku kembali mendatangi seorang pawang, yang tak lain adalah
kakekku sendiri, yang usianya sudah uzur, agar segera bertindak. Turut serta
melarung kemarau yang terlampau panjang hingga tanah-tanah mengeras,
kering-kerontang, tumbang pohon siwalan hanya menyisahkan sejengkal lubang
harap, dan ladang-ladang yang tak lagi mendatangkan untung, panen jagung
berujung malang, para nelayan ikan tangkapan. Dan inilah saatnya: hujan harus
didatangkan! Ritual ojung mesti
dilangsungkan.
“Kita tak bisa
terus-terusan begini, Kak,” dengus nafasnya menyeruakkan bau anyir.
“Tak bisa kita
membiarkan keadaan terus-terusan begini. Bisa mati kelaparan,” sambung yang
lain.
“Kita terlanjur baik
kepada mereka,” lekas seseorang masuk.
“Bayangkan. Juragan
tembakau itu,” yang lain membenarkan.
“Ya, beberapa bulan
lalu, mengabaikan hasil jerih-payah kita. Harga turun. Blas, amblas! Bayangkan. Coba bayangkan?” Beberapa orang lain
menyusul. Mengeluarkan kresek berisi
tembakau.
“Lha, iya. Katanya stok di gudang nompok, tembakau kita di
pasaran banyak yang nolak.”
“Duh…, nasib. Nasib.
Kita semakin terpuruk, Kak. Terpuruk!” seseorang menjerit.
“Bukan hanya tembakau.
Tapi garam. Garam-garam itu. Duh. Gusti…, teganya mereka. Cepat turunkan
hujan,” suara lain dari mulutnya adalah gemeretak gigi, menggerigit dalam katup
mulut. Sepasang matanya nanar merah seperti mau muntah. Dan aku, tak sanggup
menahan. Batinku bergulat, ingin rasanya mengumpat. Tapi kepada siapa? Mereka
yang datang dengan amarah sebab tak tahan. Bukan, bukan. Bukan lantaran kemarau
yang terlampau panjang hingga membuat mereka tersuruk dalam jenjang nasib.
Tetapi, lantaran permainan, kongkalingkong para juragan, tengkulak-tengkulak
tak jenak mencekik para petani tembakau. Pemilik modal dan pengelola tambak
garam, tak pernah puas memeras, menepis jerit tangis, meredam mereka dalam kubang
peluh. Akh. Salahkah kalau mereka
selalu geram?! Bayangkan. Ya, bayangkan saja, Anda jadi mereka. Tak siang, tak
malam harus bergulat dengan pekerjaan, yang tak kunjung menghasilkan untung,
paling-paling terlilit hutang.
“Ojung. Ojung, Kak. Harus dilarung. Harus,” tambahnya dengan nada
getir, tubuhnya gemetar.
Sekali lagi. Aku hanya
mengangguk. Hanya mengangguk. Bimbang. Menimbang. Keputusan tak kunjung datang,
tak jarang perasaan malu pada diri sendiri lantaran tak bisa membela mereka
terus bersarang. Ah.., muak aku
dibuatnya. Suasana hati yang terus berkecamuk, rasanya ingin mengutuk para
tengkulak, yang semakin hari semakin keranjingan mempermainkan para petani. Dan
sialnya, di tengah suasana genting seperti ini, aku justru berada dalam dalam
posisi mereka, meski sebagai pekerja di sebuah perusahaan tembakau milik
Muaksan, satu-satunya perusahaan yang menjadi tumpuan para petani, orang-orang
kampungku sendiri, dan sebagian keluarga serta sanak-saudaraku.
“Tak boleh ragu. Enyah
dari sini kalau tak mau membantu!” teriak yang lain. Akh, tahukah mereka
sesungguhnya, bahwa aku hanya pekerja, yang mendapat kepercayaan penuh untuk
mengelola, tak lebih. Tetapi…, alangkah, kepercayaan dan keyakinan mereka
begitu keras, bahwa akulah! Ya, hanya akulah, yang dapat memecahkan persoalan,
bisa mengubah nasib mereka termasuk nasib kakak kandungku.
“Lakukanlah, Lek. Kamu
ponggebe, dulu kamu santre kesayangan Ke Lesap. Datanglah ke
sana. Mintalah. Bukankah Ke Lesap pernah bilang, satu-satunya di kampung ini
yang bisa memainkan ojung hanya
kamu?” Kakakku yang sedari tadi bungkam mulai angkat bicara. Mendengar
pengakuannya aku semakin tak berkutik. Lantang perintah kakakku barusan
selantang suara Muaksan, atasanku, yang setiap perintahnya tak boleh ditolak.
Dan entah, tiba-tiba, ingatanku akan Ke Lesap, guruku mengaji, guruku memainkan
ojung dulu tergiang dalam ingatan,
memanggil-manggil. Ah, tapi di mana aku simpan tongkat rotan ojung pemberian Ke Lesap itu? lagian
sudah sejak lama, tepatnya sejak aku lulus SMA, aku tak pernah lagi memakainya,
bahkan merawatnya, sebagaimana sering dianjurkan Ke Lesap; rotan itu harus dirumat, malam Jum’at, menjelang magrib
harus dibacakan sholawat. Tak boleh lupa mengolesinya dupa, membasahinya dengan
air kembang. “Engak, Cong. Tak
sembarang orang boleh megang tongkat rotan ojung
ini,” begitu dulu Ke Lesap berpesan. “Sekalipun itu saudaramu. Tidak boleh.
Kecuali mendapat izin dari bapakmu, sebagai pemangku adat,” tambahnya sambil
meniup ubun-ubunku.” Ya, tapi di mana tongkat itu sekarang?
“Kamu tampak gusar, Lek,” kakak menghampiriku. “Pecut rotan
itu, kukembalikan ke Ke Lesap, setelah beberapa bulan Alek pergi. Pergilah ke sana,” syukurlah, gumamku, meski khawatir,
khasiat rotan itu tak akan berfungsi lagi sebagaimana dulu. Bukankah, pecut
rotan ojung tak boleh disentuh oleh
tangan orang lain termasuk saudaraku? Tapi tidak apa-apa. Baiklah, batinku. Aku
akan pergi menemui Ke Lesap.
***
Jalan itu sempit dan
berkelok. Sehabis menapak di jalan setapak, sejenak aku berdiri di luar pagar,
terbuat dari bamboo, mengamati suasana rumah panggung satu-satunya milik Ke
Lesap. Rumah panggung itu, oleh Ke Lesap mungkin sampai sekarang masih
difungsikan bagi banyak hal, dari jadi tempat anak-anak mengaji, ruang tamu dan
kamar tidur Ke Lesap itu sendiri.
Di rumah panggung
itulah, dulu aku belajar mengaji, belajar cara memainkan ojung. Rumah panggung itu masih utuh, tidak ada yang berubah,
bahkan persis di sudut ruangan yang sempit itu, setinggi dan sedepa rentangan
tangan, kain putih itu masih tergantung. Ke balik kain putih itu, dulu kami tak
boleh masuk, sebab disitu tersimpan barang-barang miliknya, termasuk pecut
rotan ojung, kendi kecil, tiga
tasbih, sebilah celurit, dan sebuah kita tua, yang sangat jarang Ke Lesap buka,
kecuali saat-saat tertentu, biasanya ketika ada orang yang ingin merayakan
pernikahan anaknya, dan minta Ke Lesap turut membantu agar hujan tak turun.
Ketahuilah, kepada
siapa pun yang meminta bantuan, Ke Lesap tak pernah meminta imbalan. Apa pun.
Namun sebaliknya, Ke Lesap tak pernah menolak ketika seseorang memberinya
amplop, segantang jagung dan sedikit jajanan pasar, yang kemudian oleh Ke
Lesap, jajanan-jajanan pasar itu dibagi-bagikan kepada kami. Sementara untuk
makan sehari-hari, ke Lesap mendapat kiriman dari ibuku, pagi dan sore.
Menurut ibuku, Ke Lesap
adalah adik kandung kakekku. Konon, sejak muda tak pernah mau beristri.
Waktunya banyak dihabiskan di jalan hingga berbulan-bulan tak pernah pulang.
Masih menurut ibu, Ke Lesap suka mengembara, suka berguru, berburu ilmu hingga
ke luar daerah. Di samping Ke Lesap dikenal orang paling tekun. Tak heran kalau
sampai sekarang Ke Lesap disegani dan dimintai tolong banyak orang. Hingga
diusianya yang sudah uzur, Ke Lesap lebih memilih jalan hidup sunyi, tanpa
seorang istri. Tak jarang, ibuku mengajaknya untuk hidup bersama dalam satu
rumah, namun Ke Lesap selalu menolak. Demikianlah memang, tak seorang pun dapat
membantah keinginannya. Termasuk rumah panggung, yang sengaja ia minta kepada
saudara-saudara, agar diizinkan menempati sepeninggal orangtuanya.
Hingga kini, setelah
sekian lama aku tak pernah datang menjenguknya, suasana di rumah panggung itu
tampak senyap, sesenyap jalanan yang kulalui dengan berjalan kaki tadi. Tampak
di tubir tumah panggung itu, Ke Lesap, duduk bersandar pada tiang, raut
wajahnya keriput terterpa cahaya lampu teplok. Sesekali ia mendeham, sepasang
matanya menerawang penuh awas, mengamati sekitar, sebelum akhirnya menyuruhku
masuk.
“Masuklah…” Ragu-ragu
aku di balik pintu. Masuklah…, siapatu itu?” aku tak segera menyahut. Ah, suara
itu, masih menyimpan kekuatan sebagaimana beberapa tahun silam ketika aku masih
belajar mengaji dan memainkan ojung
bersamanya.
“Kelleng, Ke.”
“Kamu, Cong? Masuk. Lama kamu tidak datang?”
“Sibuk, Ke.”
“Tak kuat tampaknya
kamu melawan jeman,” tegurnya.
“Madrusin ke sini tadi siang.” Tiba-tiba aku pias teringat pecut rotan ojung. Madrusin. Kepala desa itu. sedari
dulu, menginginkan tongkat rotan ojung milik
Ke Lesap. Sudah beralih tangankah pecut rotan itu? “Madrusin juga membawa
banyak rokok. Titipan dari Muaksan, katanya.” Muaksan? Bosku! Apa sesungguhnya
kemauan mereka?
“Untuk apa Madrusin ke
sini, Ke?” nadaku gemetar.
“Persis seperti
tujuanmu…”
Ingin rasanya aku
beranjak pulang, perasaan malu bergolak.
“Untunglah kamu segera
datang. kalau tidak…” hening, Ke Lesap beranjak. “Kalau tidak, mungkin nasib
akan berkata lain. Lebih parah seperti yang dirasakan orang-orang kampung
sekarang.”
“Maaf, Ke. Apa Ke Lesap sudah tahu rencana…?” Ke Lesap memotong.
“Madrusin, menceritakan
semuanya.”
“Lalu, Bagaimana, Ke?”
“Sayangnya mereka
terlambat. Tak tanggap. Terlalu sibuk mengejar harta sehingga melupakan
kewajibannya sebagai manusia. Bahkan sekarang sudah tidak ada lagi anak-anak
belajar mengaji di sini.”
“Apa yang mesti kita
lakukan sekarang?”
“Tidak ada jalan lain, Cong. Ojung.” Dan aku seperti mendapatkan kekuatan. Tapi sesaat berselang,
lagi-lagi keraguan kembali berduyun lalu menepi dalam liang ingatan. Pecut
rotan ojung itu. Masih berfungsikah?
“Leluhur kita, tahu apa
yang dikehendaki oleh anak-anaknya sendiri, Cong.
Tak usah kamu ragu.” Aneh. Ke Lesap tahu keraguanku, bisikku dalam hati.
“Rotan ojung masih berfungsi, Ke?”
“Semoga Yang Maha
Kuasa, dan leluhur merestui, Cong.”
“Maksud Ke Lesap?”
“Agar rotan ojung tetap mempunyai kekuatan hingga hujan turun.”
Mendengar keyakinannya
aku merinding. Ragu antara membantu keinginan orang-orang kampung dan sikap
atasanku yang cenderung merugikan petani tembakau. Namun sesaat
keraguan-keraguan itu lenyap seketika, saat Ke Lesap menepuk-nepuk sebelah
bahuku, mengajakku masuk ke balik kain putih, yang mengantung ke sudut.
“Persis, saat ayam
pertama berkokok, telanjangi tubuhmu, agar kekuatan hari menyatu dalam jiwamu.”
Aku mengangguk mengerti meski sedikit kikuk.
Ya, demikianlah memang.
Syarat yang harus dilakukan oleh pemain ojung.
“Masih ingat, Cong? Persis
seperti yang kamu lakukan dulu.” Sekali lagi aku mengangguk. Mengangguk sebelum
kemudian larut dalam persemadian ojung, hingga
larut malam, sampai semayup terdengar kokok ayam. Dan sebagaimana dianjurkan Ke
Lesap, satu-satu kutanggalkan pakaian hingga benar-benar telanjang. Bulat.
Mula-mula aku merasakan
aroma dupa, meruap dalam senyap. Aku bagai digiring badai pikiranku yang
melayang-layang bagai selaksa menguap ke udara hampa. Kurasakan pula sebuah
sentuhan halus, lalu dengus nafas, dan desis. Nun! Aku tersentak. Di depan Ke
Lesap duduk mematuk, berkalung rotan ojung.
Segera, kembali kupejamkan mata hingga pikiranku benar-benar kosong. Tetapi
sesaat berselang, kembali kurasakan sebuah sentuhan. Lebih halus. Kusangka
desir angina menyisir sekujur tubuhku yang dalam posisi telanjang. Ingatanku
melayang jauh, menjangkau kisah penduduk negeri Sadum sana, yang pernah
diceritakan Ke Lesap sendiri. Mereka hancur-lebur, saat tiga malaikat menjelma
lelaki tampan, yang membuat penduduk negeri Sadum tergila-gila ingin
menggaulinya.
Sekarang, sentuhan lain
bergerak dari belakang pundakku merayap ke dada, perut dan mendarat ke paha.
Bimbang antara meneruskan, atau lekas pulang. “Lakukanlah. Demi maslahat. Ini hanya syarat. Fokuskan
pikiranmu hingga kamu mendapatkan kekuatan,” gumam Ke Lesap. Demi hujan, demi
panen, demi orang-orang yang terjebak dalam tempurung nasib. Ya, harus
kulakukan ritual ojung.
***
Selasa, sore rembang
hari, umbul-umbul sepanjang jalan sebelum memasuki tanah lapang berkibar-kibar.
Ratusan penonton memandangi tubuh kami yang dalam keadaan telanjang. Mereka
menatapku dengan penuh harap. Senyum sungging mengembang dari bibir
masing-masing. Ada yang berbisik, lalu tertawa cekikikan. Ada yang terpingkal.
Sementara, tak jauh dari lingkaran orang-orang mengerubungi, kami (aku dan Ke
Lesap), sibuk mengatur jalannya ritual ojung,
yang tak lama akan segera berlangsung.
Terdengar suara
seseorang dari load speaker, memberit
petunjuk, agar penonton sedikit menjauh. Seorang lainnya tampak tergesa-gesa membawa
air kembang dalam kendi kecil milik Ke Lesap, menyibak penonton masuk mendekati
kami, sebelum menyirami tubuh kami, ia menyerahkan tongkat rotan, lalu berbisik
pada Ke Lesap dan sebaliknya, Ke Lesap mengangguk. Dan sekali lagi, suara dari load speaker terdengar memerintah, agar
orang-orang segera menjauh sebab tak lama lagi ojung akan segera dimulai.
Pyaaar…pyar..
Ke Lesap mengayunkan
tongkat rotan ke arah tubuhku, mengayunkannya kencang sekali. Ia ayunkan lagi,
Sekali lagi, lagi, lagi…, sorak-sorai penonton menggelegar, tubuhku terhuyung
jatuh. Namun Ke Lesap terus mengayunkan tongkatnya, para penonton bersorak
riang, saat melihat Ke Lesap seperti kesurupan. “Biarlah, dia sudah menyatu
dengan arwah leluhur. Biar cepat hujan turun. Dan lagi, lagi, lagi, Ke Lesap
mengayunkan tongkat rotan ke arah tubuhku yang dalam keadaan terkapar tak
berdaya. Nun. Sejenak, terdengar dari load
speaker, suara seseorang memerintah seseorang lain untuk menghalau, namun
samar-samar suara dari load speaker itu
seperti tidak asing di telingaku.
Diam-diam kuselinapkan
pandang pada Ke Lesap. Ia berdiri kaku, tak percaya memandangi Madrusin yang
menyalami seorang lelaki bertubuh tegar. Kuikuti tatapan Ke Lesap, tak lain
tertuju ke tengah panggung, ya, pada dua orang di atas panggung: Madrusin dan
Muaksan—yang tak lain tak bukan adalah juragan tembakau yang sudah engkau
kenal.
“Atas kebaikan dan
bantuan Bapak Muaksanlah, ritual ojung, yang
sudah lama kami tinggalkan ini berjalan lancar seperti yang diharapkan. Sekali
lagi, saya mewakili warga mengucapkan banyak terimakasih.” Muaksan tersenyum
menyambut jabat tangan Madrusin, kepala desa.
Yogyakarta, 5
Maret 2009
Sumber Cerpen: buku antologi Perayaan Kematian Liu
Sie (Sekumpulan Cerita Lokal). Raudal Tanjung Banua & Hairus Salim HS (ed).
TIKAR Publishing. Bandung. 2011. Hal. 1-11
Mahwi Air Tawar. Kelahiran Sumenep Madura. yang
telah menerbitkan buku Mata Blater (2009), Karapan Laut, sekarang bertempat
tinggal di Yogyakarta.
0 Comments