IA malu menjadi pencopet. Ia sedih menjadi pencopet.
Ia resah menjadi pencopet. Ia lelah menjadi pencopet. Ia tak mau menjadi
pencopet. Ia terpaksa menjadi pencopet. Ia tak mau mati sebagai pencopet. Namun
ia masih mencopet.
Baginya mencopet itu hina. Ia harus memainkan
strategi, memantau dari jauh, menempatkan target, bertingkah normal, bersikap
tenang, santai dan tak tegesa-gesa. Matanya harus jeli. Tangannya harus gesit.
Larinya harus kencang. Ia harus waspada, jangan pancing curiga, serta harus
berhasil.
“Berapa Bu?” Tanya ibu bertubuh tambun. Ia tampak
terburu-buru. Mungkin terlambat bangun pagi. Mungkin pula harus antar anaknya
sekolah. Mukanya berbedak tebal. Kerudung ia pakai sekenanya. Keranjang di
tangannya. Dompet besar di ketiaknya.
“O, murah Bu. Hanya lima belas ribu per kilo.” Jawab
ibu pedagang sayur-mayur. Ia tersenyum sumringah.
“Kok mahal Bu? lima ribu saja deh. Saya ambil.”
“Gak bisa Bu. Segalanya sudah naik. BBM naik. Cabe
naik. Buncis naik. Rok naik. Tapi khusus Ibu, saya beri potongan menjadi
sepuluh ribu.”
“Masih kemahalan Bu.”
“Gak bisa Bu.”
“Ya udah saya pergi,” ujar si ibu pura-pura pergi.
Pasar kian sepi. Mentari kian tinggi. Orang-orang
yang tadinya lalu-lalang, kini lebih kian keluar. Masduri mulai memilah. Ia
tersenyum sinis. Matanya melesat. Hidungnya mendengus. Tangannya memberi
aba-aba. Bau uang tercium. Matanya memberi target. Sudah sekian lama menunggu.
Pucuk di cinta ulam pun tiba.
Masduri berjalan perlahan. Mengawasi sisi kanan,
sisi kiri, sisi belakang dan sisi depannya. Dengan sangat tangannya melesat. Si
ibu tersentak. Dompetnya raib dari ketiaknya. Ia panik. Toleh kanan, toleh
kiri. Keparat! Pencopet lari terbirit-birit.
“Copet..., Copet!” teriak Si ibu histeris.
Orang-orang berkerumun. Ada pula yang langsung mengejar sang pencopet.
Masduri berlari sungguh gesit. Ia sudah berlatih
sebelumnya. Di tambah lagi, dahulu ia sempat menjuarai lomba lari sekabupaten.
Ia melewati lorong-lorong. Memasuki gang-gang. Meloncat. Berlari. Meloncat
lagi. Orang-orang yang mengejarnya ngus-ngusan. Mereka heran bercampur bingung.
Pencopet yang dikejar. Pencopet yang dicari. Hilang dalam sekejap. Seketika
lenyap dalam pandangan. Tanpa jejak. Tanpa petunjuk sama sekali.
Si ibu masih dikerumun orang banyak. Mereka ikut
berdukacita. Menghelus-helus pundak si ibu. Menyuruh si ibu tabah. Memberi
minum si ibu. Dengan harap cemas, si ibu bisa tenang. Beberapa orang tak
peduli. Beberapa orang baru datang. Beberapa orang baru mendengar kabar.
Beberapa orang mengkasihani. Beberapa orang sibuk bergunjing. Serta beberapa
pedagang menjajakan dagangannya.
Tak berselang lama. Gerombolan lelaki datang. Mereka
yang mengejar sang pencopet. Namun, mereka pulang dengan tangan kosong. Yang di
tunggu sia-sia. Pencopet lolos. Dompet tak kembali. Si ibu pulang. Dengan tubuh
terkulai lemas.
Sementara itu. Dalam tong besar. Masduri keluar dari
persembunyian. Banyak nyamuk ia tak peduli. Walau bentol-bentol merah siapa
peduli. Ia telah berhasil. Ia berhasil bersembunyi. Ia berhasil mengelabui
orang banyak. Ia berhasil mencopet. Ia berhasil dapat dompet. Ia berhasil
mendapat uang. Semua sesuai strategi.
Masduri mengeluarkan dompet merah muda. Hasil
mencopet hari ini. Ada KTP si ibu disana, seperangkat alat kecantikan, juga
selembar tagihan listrik. Namun yang lebih dari segalanya adalah uang. Uang
bergambar Presiden Soekarno. Hingga uang bergambar Kapten Pattimura, ia ambil.
Ia salin ke saku, sisanya ia buang.
Tak hanya di pasar, Masduri juga mencopet
dimana-mana. Kadang di Mall, kadang di jalanan, kadang di lampu merah, kadang
di terminal, kadang di bis kota, kadang ketika pagi, siang, sore dan malam.
Tanpa kadang-kadang pun. Yang penting ada kesempatan, Masduri beraksi.
Hingga nama pencopet di kota itu. lebih terkenal
dari biduan kondang. Orang-orang lebih berhati-hati. Di koran-koran, di televisi,
bahkan dari mulut ke mulutpencopet kerap dibicarakan. Perihal itu membuat
Masduri kehilangan pekerjaan. Ia tak tahu lagi pada siapa lagi harus mencopet.
Semua orang waspada. Masduri memangku dagu, tak bisa berbuat apa-apa.
Mantap! Takkan ku biarkan kesempatan ini berlalu,
pikir Masduri. Hatinya sangat girang. Kepalanya kembali merancang strategi.
Tangannya udah tak sabar. Kakinya gatal, sebab telah lama tak main
kejar-kejaran.
Masduri bersiul santai. Lambat laun ia berjalan, ke
arah bapak berseragam kotak-kotak, berdasi rapi, serta rambut tersisir rapi.
Tepat di belakang si bapak. Perlahan dan sangat waspada. Masduri meraih dompet
di saku belakang celana si bapak.
Gila! Spontan pistol mengarah pelipis. Sontak
Masduri terperanjat. Jantungnya hampir copot. Detaknya sangat cepat. Entah apa
yang akan terjadi? Mungkinkah ia akan mati. Akankah ia terbunuh sebagai
pencopet? terngiang seketika wajah ibunya yang terbaring. Hidupnya kini
bergantung pada pelatuk. Ia malu. Sangat malu.
***
Ia sangat mencintai ibunya. Ia hidup berdua bersama
ibunya. Ayahnya tiada. Bukan mati. Namun menikah dengan wanita lain yang lebih
muda. Kata bapaknya, ibunya sudah tak pantas menjadi istri. Selain sudah
keriput, wanita malang itu penyakitan. Dokter bilang, ibunya mengalami stroke.
Masduri tak pernah tahu apa itu stroke. Sejenis
penyakit atau sebuah bahasa asing saja, sedikit punia tak peduli. Ia memilih
berhenti sekolah. Dari pada menambah dosa, sebab kerap mencontek. Dengan atau
tanpa sekolah, ia akan tetap miskin. Dari pada waktu dilahap sekolah. Lebih
baik waktu di buat kerja.
Sungguh malang nasib Masduri. Sebab tak lulus
sekolah menengah. Ia sukar mendapat pekerjaan. Ijasah kini sangat penting,
untuk bekerja. Walau jadi kuli sekalipun. Hidupnya kian pilu. Selain harus memenuhi
kebutuhan diri sendiri. Ia menjadi pengangguran bertulang punggung keluarga.
Ibunya makin hari makin parah. Stroke menyerang
tanpa permisi. Ibunya menjadi sulit berbicara. Ia terkulai lemas.
Penglihatannya kabur. Sulit berjalan dan menyeimbangkan. Hingga ia sulit
menelan. Bahkan ke kamar mandi, Masduri yang mengggendong. Ibunya lumpuh, tak
bisa bicara sepatah katapun dan tak bisa bergurau seperti sediakala. Hidup bagi
Masduri hanyalah benalu.
Sebab tak punya pekerjaan. luntang-lantung kesana
kemari. Belum lagi, harus merawat ibunya. Masduri tak tahu harus bagaimana
lagi. Untuk merawat ibunya ia butuhkan uang. Jaman ini semua pakai uang. Dari
toilet hingga comberan, semua di perdagangkan.
Tak ada cara lain selain mencopet. Ia harus makan.
Ibunya pula harus makan. Ia tak ingin mencopet. Namun ia harus mencopet. Ia
harus menanggung malu dan menerima eksekusinya esok.
Terngiang kembali wajah ibunya. Sudah tiga bulan
Masduri berada di jeruji besi. Semua karena ia terlalu berlebihan. Ia
berlebihan dalam mencopet. Juga berlebihan merasa malu. Andai ia tak malu-malu.
Tak malu untuk menjadi perampok. Tak malu menjadi pembunuh. Mungkin ia tak
masuk bui.
Di bui Masduri bisa makan, bisa minum, bisa kerja,
bisa terbaring, bisa tertidur pulas. Namun bagaimana dengan ibunya? Bisakah
ibunya makan, minum, dan tertidur pulas setelah kepergian masduri. Tak ada yang
bisa dilakukan Masduri. Ia hanyalah pencopet miskin.
Ingatan Masduri kembali ke dua bulan silam. Ia dan
koruptor sama-sama dalam jeruji. Bedanya, ia tanpa ranjang, sedang koruptor
dengan ranjang paling empuk. Ia tanpa televisi, sedang koruptor lengkap dengan
kulkas dan isinya. Hingga datang saatnya dua minggu saja. Si koruptor terbebas
dan tertawa terpingkal-pingkal. Bikin malu.
Masduri sangat malu. Ia malu pada tetangganya. Sebab
tega meninggalkan ibunya sendiri. Tanpa uang. Tanpa memberi makan. Ia hanya
dapat menangis tak lama di toilet bui. Sebelum pada akhirnya ia menggantung
diri menanggung malu.
*Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura. Kini
bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta
salah satu pendiri Sanggar Becak.
*Tayang di Koran Banjarmasin Post, 23 Juni 2019.
0 Comments