JIKA kita merasakan kegelisahan akan hidup, coba
lihat apa yang kurang dari diri kita. Jika kita merasa kegagalan datang
bertubi-tubi, jangan putus asa. Jika ada sebagian orang yang meremehkan kita,
tidak perlu dipikirkan lebih. Kita hanya perlu bangkit, keterpurukan hanya akan
datang untuk dia yang menyerah.
Lalu apakah kita termasuk orang yang menyerah?
Sebelum itu, izinkan penulis bercerita tentang sore ini.
Sore, waktu yang singkat untuk senja melepas
kehangatan. Di ujung sana, mentari dengan perapiannya seolah melambaikan tangan
untuk pamit yang kesekian kalinya. Dari kejauhan, terlihat sosok pria sepuh
dengan beban di pundaknya berjalan mendekati seorang anak.
"Pak beli," kata anak itu dengan raut muka
memerah menggemaskan. Sepertinya, anak itu sedari tadi benar-benar menunggu
kedatangan sosok pria sepuh.
"Berapa dek?" tanya bapak itu dengan
ramah. Tanpa menyebutkan nominal, yang terlihat hanya uluran tangan dengan uang
sejumlah dua ribu rupiah, "Ini pak" jawab anak itu. "Sebentar ya
dek," jawab bapak tadi.
Dengan sigap, tangan-tangan begitu lincah mengambil
sesuatu. Satu tangan memegang centong, tangan yang lain sibuk mengaduk adonan.
Tampaknya, pria sepuh itu telah lama bergelut dengan pekerjaan yang dijalaninya
saat ini.
Tak lama, beberapa menit kemudian satu bungkus
makanan telah siap ia berikan kepada sang pembeli, "ini dek." Dengan
raut wajah gembira diambilnya bukusan itu. "Terimakasih pak.”
Saya, sengaja mengentikan obrolan yang sedari tadi
duduk dengan kawan saya di salah satu warung makan. Dengan rasa penasaran, kami
saling menebak apa yang dijual bapak yang sedari tadi duduk dan sibuk melayani
pembelinya. Beberapa tebakan mulai muncul, "jagung" kata kawan saya.
Lantas yang ada dalam benak saya sejak tadi menebak jagung warna putih "Oh
popcorn!" entah benar atau tidak. Batinku.
Tanpa menunggu lama, kami yang sepakat untuk tidak
lagi menebak, sesegera mencoba mendekat dan mencicipi makanan yang hendak
dirapikan bapak itu dari bekas pembeli tadi.
"Berapaan pak?" tanya kawan saya dengan
raut wajah bertanya-tanya.
"Dua ribu boleh, tiga ribu atau lima ribu boleh
dek." ya harga yang merakyat bagi kami mahasiswa yang menyibukkan diri di
warkop setiap harinya.
"ini apa pak?" tanya kawan saya lagi.
"Empeng." jawab bapak itu.
Ya, empeng. Sekilas memang terlihat mirip popcorn,
namun lagi-lagi dengan tebakan saya mungkin empeng memang popcorn dalam bahasa
jawa. Namun bedanya, empeng ini sedikit beda mulai dari kemasan, rasa, dan
tentunya harga. Adapun gula, garam dan parutan kelapa menjadi adonan wajib yang
harus menyatu dengan empeng. Tak hanya empeng yang ia jual, manisan seperti
gulali yang ia buat sendiri dari bahan utama gula pun dijualnya.
Sesekali obrolan kami bertiga melenceng dari pembeli
dan penjual yang biasa mereka obrolkan mengenai apa yang mereka jual.
Pertanyaan-pertanyaan seperti alamat tinggal, sejak kapan jualan, dan beberapa
pertanyaan lainnya tak segan dilontarkan oleh kawan saya.
Singkat cerita, pria sepuh itu berasal dari
lamongan. Sebelumnya melakukan aktivitas berdagang makanan tradisional
"empeng" ini di Gresik. Lalu sejak dua tahun lalu, ia memutuskan
untuk pindah ke Surabaya tepatnya di daerah Sutorejo kecamatan Mulyorejo dan
berjualan di sekitaran tempatnya menetap.
Beban yang ia pikul dipundak setiap harinya, adalah
kehidupan beliau. Ia tak malu, bahkan terlihat mengeluhpun tidak. Ia hanya tau,
setiap satu bungkus empeng adalah senyuman dan kegembiraan setiap pembeli. Saya
rasa, kita hanya perlu sabar dan istiqomah. Jalani kehidupan kita tanpa perlu
memikirkan cemoohan orang lain. Seperti pria sepuh penjual empeng itu, kita
juga perlu memikirkan kebahagiaan orang lain, bagaimana orang lain dapat
tersenyum karena kita. Selebihnya? Tidak perlu dipikirkan. Jalani saja, sebarluaskan
kebaikan.
Menggulung sore, adalah pertemuan singkat seorang
pemuda dengan kedewasaannya dalam setiap perjalanan yang ia lakukan. Lalu, apa
setelahnya? Tidak ada. Ini hanya tulisan yang akan usang, mungkin baru berarti
jika penulis telah tiada.
Januari, 2020
*Agiel Laksamana Putra adalah mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Surabaya. Pegiat rumah baca api literasi. Asal Bangkalan
*Cerpen ini tayang di medium.com.
0 Comments