LAMA engkau terpekur di depan cermin. Menatapi
separuh badanmu dalam cermin yang kian lapuk dimakan usia. Rambutmu yang
beruban, kulitmu yang kian lentur. Makanmu, cara berpakaianmu, tempat tidur dan
doktermu menandakan bahwa engkau adalah orang terdidik dan tidak kurang suatu
hal apa pun. Tapi matamu, mata sayu yang dilihat di depan cermin itu, mata
cemas yang kau pandangi penuh iba, adalah ungkapan sederhana dari
kesepian-kesepian yang selama ini dibiarkan memeluk harimu penuh ego. Adalah
ungkapan sederhana dari kecemasan-kecemasan yang selama ini mengepungmu
perlahan-lahan. Dan engkau hanya bisa pasrah meski sesekali berusaha.
Lama engkau terpekur di depan cermin, cermin yang
kau beli dari gaji bulanan seorang jenderal. Yang selalu dikunjungi wajah
istrimu bila hendak bersolek. Betapa, betapa panas di balik dadamu berletupan
merindukan masa lalu itu! Masa saat anak-anak masih merengek minta gendong.
Masa saat anak-anakmu berebut pelukanmu saat kau pulang kerja. Saat si bungsu
bertengkar kecil masalah mainan, dan engkau membawanya ke kios di samping
rumahmu. Engkau kian layu dimakan kenangan, dilumat kerinduan, dirundung
kesedihan dan kecemasan.
Lama engkau terpekur di depan cermin. Cermin yang
selalu membuatmu melongokkan kepala ke masa lalu. Sebelum ditinggal istri,
sebelum kunyahmu tak lagi sempurna, sebelum penyakit-penyakit yang obatnya kau
beli ke dokter menggerogotimu perlahan-lahan hingga engkau tertatih berjalan,
sesak pernapasan. Sebelum urat-uratmu mulai mengendur, sebelum anak-anakmu
besar dan lupa arti senja saat sore, sebelum langkah kakimu mulai limbung bila
tak ikuti langkah gedung, sebelum engkau pandangi cermin dan kau temui wajah
orang lain selain dirimu, lalu kau menangis sendirian, menyadari wajahmu yang
tak lagi rupawan dan rambutmu yang kian beruban. Engkau menangis, air hangat di
lubang matamu membasahi kulit keriputmu satu per satu. Engkau menangis, benar-benar
merasa bahwa engkau adalah lelaki cengeng.
Lama engkau terpekur di depan cermin, menikmati
hari-hari yang dingin dan penuh angan. Saat sedang sendiri begitu, engkau suka
memikirkan kematian. Oh, di manakah sekarang berada. Sampai di mana ia berjalan
menuju rumahku? Kira-kira, saat Izrofil datang menjemput, akan seperti apakah
kematianku kelak? Akan seperti apakah sedih anak-anakku kelak? Begitu selalu
yang engkau gundahkan, yang engkau bimbangkan. Apalagi masalah warisan. Padahal
engkau telah sadar itu urusan dunia.
Dari seberang rumahmu, seorang muazin memanggil umat
muslim lewat pengeras suara. Hatimu terasa pilu, sendu di matamu adalah
urat-urat yang dulu kekar dan tiba-tiba kendur. Engkau menyiapkan diri, meraih
kopiah di atas televisi, bergegas menuju deretan jalan yang penuh kenangan. Di
simpang jalan, hatimu begitu teduh melihat lalu-lalang orang-orang menuju
masjid. Dan engkau terus berjalan sambil bermunajat pada Tuhan. Engkau memang
telah berhaji, tapi engkau merasa belum sepenuhnya tenang.
Besoknya, malam tiba-tiba turun dengan tergesa,
rembulan murung. Engkau berjalan-jalan sendiri dalam rumah besar yang sepi.
Pembantu yang seharian mengurusi rumah dan aturan gizimu tentu telah pulas.
Saat tidurmu tak nyaman di malam hari, engkau suka berjalan di ruang tamu,
memandangi foto-foto masa lalu saat masih tampan dan gagah. Seragam itu,
seragam yang telah menggantung di balik pintu lemari selama bertahun-tahun.
Engkau berlinang lagi. Betapa sepi di masa tuamu benar-benar mencabik ulu
hatimu. Dan derap langkah anak-anakmu, cucu-cucu yang manis meski terlihat
asing, istrimu yang begitu kau cinta, menyerbu dalam pikiran. Engkau kalut.
Malam itu kau berpikir keras sebelum menelepon anak
sulungmu. Tiba-tiba engkau begitu ingin sekali memeluknya, bertemu dengannya,
membincangkan banyak hal dengannya. Namun berulang kali kau tuju, panggilanmu
selalu dijawab operator atau halo-halo Bandung. Engkau mengeluh, semakin sesak
suatu hal di balik dadamu yang rapuh. Namun saat sedang bicara di telepon,
engkau bahkan tak mampu untuk sekadar mengungkapkan segala resah yang
menggulung di balik hatimu. Seperti percakapan bulan lalu. Engkau tak mampu.
“Ayo bicara sama Eyang,” bisik anakmu.
Engkau dengarkan si bungsu saat membujuk cucumu
untuk mau bicara. Engkau bayangkan cucumu bergeming, menggeleng dengan rambut
ekor kudanya yang menggoyang. Di sini, kau hanya tersenyum, membayang bahagia.
Cucu-cucu yang gembul itu seharusnya telah menemani hari tuamu. Seharusnya
telah membahagiakanmu dengan caranya, dengan tingkahnya. Seperti
sinotron-sinetron televisi yang lihat tiap hari. Matamu kian panas, dadamu
sesak. Ada wajah istrimu yang tiba-tiba mengapung pada setiap pandang matamu
bertumpu. Ada air yang tiba-tiba menyembul dari ujung mata tuamu.
“Ayah sehat? Kalau kurang apa Ayah langsung bilang,
ya?” Pertanyaan itu, pertanyaan yang agaknya kurang disukai olehmu. Yang selalu
engkau jawab—iya dan tidak—saja. Bahkan engkau tak mampu untuk sekadar berucap
rindu, bertanya kapan pulang, bertanya sehatkah suaminya, bertanya bagaimana
sekolah cucumu, bertanya kapan nyekar bareng ke makam Ibu, hingga telepon
ditutup dan engkau kembali merasakan sesak yang meletup-letup. Masa tuamu, masa
tua yang menyedihkan. Masa tua yang dirundung kesepian. Dan engkau kesakitan
sendirian.
Seperti malam itu. Malam ini, engkau bimbang untuk
menelepon salah satu di antara ketiga anakmu yang berada di luar kota.
Sekalipun rindu yang mencabik ulu hatimu tak tertangguhkan kau rasa perih.
Engkau meringis melihat masa tuamu sendiri.
Di rumah besar itu engkau terperangkap sepi yang
kian mengakar. Setiap hening di penghujung malam, sambil menunggui Subuh jatuh
di teras rumah, engkau duduk di atas kursi putar hitam, di samping jendela.
Kursi yang diminta istrimu saat kalian hendak menikah. Sambil memandangi gemerlap
lampu perumahan dari lantai dua itu, engkau juga suka membuka-buka album
kenangan saat sedang perjuangan, dalam medan pertempuran, saat sedang latihan,
dan saat pose bareng teman-temanmu di lapangan. Seragam itu, seragam yang
sekaligus menghantarkanmu pada istri dan anak-anakmu.
Kunjungan-kunjungan putrimu selama enam bulan
sekali, atau selama tiga bulan sekali, tak lebih sebagai tamu-tamu asing dari
luar kota yang kebetulan numpang bermalam di rumah teman karena menempuh
perjalan jauh. Engkau yang seharusnya telah akrab dengan cucu-cucumu, tawa-tawa
mungil itu malah menjadi orang asing di sekitarmu, di telingamu. Tingkah lucu
cucu-cucumu malah menjadi hiburan yang terus kau rindukan namun tak mampu kau
tangkap dalam sebuah dekap. Lagi-lagi, seperti saat kau menonton televisi.
Engkau benar-benar menjadi eyang yang kesepian.
Engkau adalah tua renta yang kesepian. Rumah nan
besar itu ternyata tak mampu menyenangkan hatimu. Saat panas punggungmu sebab
terus berbaring, engkau membuka kulkas, dan kenangan tiba-tiba menyeruak begitu
dingin menyentuh kening, menyentuh kelopak matamu yang rapuh, yang sayu. Ada
yang terjatuh dari sudut matamu. Engkau tak kuasa, berjalan tertatih. Meraih
gagang telepon. Rindu. Dorongan itu adalah bernama rindu pada anak-anakmu.
“Sekar, kamu kapan pulang?” Suaramu serak.
“Ayah sehat? Kenapa belum tidur?” Seketika binar di
matamu meletup. Riang.
“Iya, belum. Kamu minggu depan pulang, ya?” pintanya
pada si bungsu, setelah pertanyaan pertama belumlah dijawab.
“Aku pulang minggu kedua agak telatan ya, Yah. lagi
banyak kerja, nih.” Keluh putrimu. Engkau teringat. Semasa SMA dia adalah
putrimu paling manja, putrimu paling cerewet.
“Oohh…. Iya.” Keluhmu berat. Mencoba memahami untuk
kesekian kali.
“Anak-anak baik, Yah, aset-aset lancar, berkat doa
Ayah,” seru putrimu girang di kejauhan sana. Sementara engkau, engkau bersandar
di kursi putar itu sambil menahan sesak yang kian menggebu. Engkau merasa,
kenapa menahan air mata saat di balik dadamu bergemuruh panas lebih berat
daripada menahan lapar dalam perut tuamu?
“Yah, jangan lupa check up, aku harus tidur, besok
gantikan Mas Adlan rapat.” Dan percakapan berakhir dengan salam.
Saat engkau terbatuk-batuk usai telepon malam itu,
pembantu rumah yang bertahun-tahun bekerja pada keluargamu, tetiba menyodorkan
segelas air putih dan menyarankanmu untuk segera istirahat. Engkau mengangguk
seraya menerima gelas itu, meneguknya, lalu menyuruhnya pergi.
Tengah malam selepas telepon itu, engkau terbangun
dari mimpi yang belum usai. Mimpi yang mengantarkanmmu pada kecemasan-kecemasan
berikutnya. Engkau segera meneguk air putih dan menekuri diri. Engkau lagi-lagi
merenung, bertanya pada diri sendiri. Bila malaikat itu tiba, bagaimana rupa
kematianku nanti? Siapa yang akan mengubur, memandikan, dan mensalatkan?
Tubuhmu bergetar, takut. Takut kiamat kecil itu tiba-tiba datang dan engkau
belumlah rapi menyambutnya, belumlah cukup amalmu yang kau tanam selama rentang
usiamu nyaman. Air yang kau simpan di lubang mata tuamu menetes satu per satu.
Begittu pilu engkau sendiri di rumah besar itu. Sambil memandangi foto-foto
istrimu, foto-foto anak-anakmu. Hatimu kian rapuh, sepi.
Engkau setengah kesal setengah menyesal, karena
lebih dulu mengajarkan anak-anakmu mengembangkan aset dan teknologi untuk tetap
produktif dari pada belajar menghargai masa tua. Engkau setengah kesal setengah
menyesal, karena lebih dulu mengajarkan anak-anakmu menabung uang untuk masa
tua. Hingga kini, entah untuk siapa aset-aset itu. Engkau takut, amal apakah yang
engkau tanam selagi muda. Engkau kalut, betapa dulu, sebenarnya engkau tak
perhitungan soal pahala. Pikirmu kecut. Kalaulah sempat, engkau sumbangkan
sandal untuk tempat ibadah agar menjadi amal jariahmu, kalaulah sempat engkau
membeli sayur pada nenek yang luntang-lantung dan melebihkan uang padanya agar
menjadi sedekahmu. Kalaulah sempat, di hari suci yang hanya datang satu kali
satu tahun engkau makan bersama-sama di panti asuhan, agar engkau lebih paham
bagaimana cara menghargai kemewahan. Kalaulah sempat, engkau belikan semen
untuk pembangunana-pembangunan sekolahan, musala, dan lainnya. Kalaulah sempat.
Tapi nyatanya kesempatan-kesempatan itu begitu terlambat. Dan engkau
menyadarinya hari ini. Hari di mana masa tuamu sepi.
Selama satu minggu itu hatimu didesak pilu. Matamu
lumur sayu. Engkau menyamai bunga-bunga yang seharian dipanggang terik dan tak
mampu bangun dari layu. Ketiga anakmu yang sukses tak mampu menepikan hampa dan
sepi di sudut hatimu, di lubang matamu. Rumah besar ber-AC tak mampu mengendapkan
segala kenangan yang semakin hari semakin dingin. Cucu-cucumu yang gembul tak
mampu mengusir hampa di matamu yang kian menganga.
Satu minggu itu, engkau lebih berdiam, lebih
merenung, hingga dalam kemurungan engkau tersentak dari tidur. Anakmu, cucu-cucu
lucu yang kau sayangi, yang ingin kau peluk satu-satu, tiga menantumu datang
dengan wajah layu, dan engkau melihat laki-laki renta itu sedang terpejam,
terbaring lemah di atas ranjang mengenakan baju koko putih dengan rambut juga
memutih. Barangkali itu adalah dirimu. Bisik seseorang di telingamu, yang entah
siapa. Engkau tak sempat memperhatikan siapa yang membisikimu hal itu, engkau
tak peduli karena engkau lebih rindu anak-anakmu. Engkau melihat mereka yang
terduduk dengan wajah sayu. Anak-anakmu yang tak sempat kau peluk dalam keadaan
senang. Anak-anakmu yang, kau berikan segalanya semenjak kecil. Lalu engkau
sadar betul, sedari kecil engkau tidak punya saudara kembar. Engkau adalah
satu-satunya lelaki di antara dua kakak perempuanmu yang sudah meninggal.
Engkau sadar betul, laki-laki itu begitu mirip denganmu. Baju koko itu, sarung
kotak-kotak dan kopiah putih itu. Engkau juga sadar betul, engkau adalah
laki-laki pertama yang lahir dari rahim ibumu. Bahkan, engkau tidak tahu,
bagaimana Izroil memungut nyawamu.
Annuqayah, Juni 2019
*Nisa Ayumida Merupakan nama pena dari Roydatun
Nisa’. Mahasiswa Instika Guluk-guluk Sumenep. Tinggal di PP. Annuqayah Lubangsa
Putri-Frasa. Salah satu nominator 12 cerpen pilihan Festival Sastra Bengkulu
2019. Alamat lain: taniyanlanjhangblogspot.com.
*Cerpen tayang di Basabasi.co 23 Januari 2020
0 Comments