RUMAHNYA tidak mewah. Hanya beralas ubin
yang mulai lapuk, berdinding anyaman bambu dengan warna yang mulai buram. Tidak
begitu besar. Hanya berukuran empat kali tiga meter. Rumah itu tidak berkamar
khusus. Tempat tidur dan tempat salatnya menyatu dalam satu ruangan. Hanya ada
satu kasur butut, tempat tidur kedua anaknya yang masih kecil beserta istrinya.
Dia cukup tidur di amben beralas tikar pandan yang sekaligus difungsikan tempat
salat.
Sudah 25 tahun menikah, tetap saja tidak
ada perkembangan. Jika dianggap ada, dia hanya mampu membeli lemari dua ruang.
Satu berfungsi untuk gantungan, satunya lagi untuk baju yang dilipat. Dia
membelinya karena terpaksa. Tidak mungkin baju kedua anak dan dirinya beserta
istri diletakkan di lemari kecil bekas peninggalan neneknya. Sudah tidak muat.
Maka, jalan satu-satunya adalah membeli meski dengan cara mengutang.
Dia baru bisa membayar lunas utangnya
setelah jaza’ dari sekolah tempat mengabdi dicairkan. Tidak banyak memang, tapi
cukup untuk sekadar membayar utang lemari. Sedang untuk biaya hidup
sehari-hari, dia mencarinya dengan menjadi pekerja lepas pada masyarakat yang
membutuhkan tenaganya.
Istrinya sesekali juga turun ke sawah
atau menggoreng keripik singkong untuk dititip ke pedagang kaki lima atau toko
kelontong di sekitar rumahnya. Esok hari istrinya baru akan meminta uang jika
laku. Jika tidak, terpaksa dia akan pulang dengan tangan hampa dan menelan
ludah bulat-bulat sebagai rasa kecewa.
Pengabdian guru Sunandar memang sudah
cukup lama. Pernikahannya sudah berlangsung 25 tahun. Dia mengabdi sebagai guru
jauh sebelum menikah. Mungkin pengabdiannya sudah berumur tiga puluh tahunan.
Bahkan, bisa lebih. Meski tidak menghasilkan cukup banyak finansial,
pengabdiannya tetap tidak tergoyahkan. Dia tetap sabar dan menjalaninya sebagai
anugerah yang patut disyukuri. Istrinya pun tidak banyak protes. Bahkan,
mendukungnya seratus persen.
”Guru itu adalah tentang pengabdian,
bukan pekerjaan,” ucapnya pada suatu ketika saat ditanya tentang nasibnya yang
tidak kunjung berubah.
”Jika kau ingin cari pekerjaan, bukan di
sini tempatnya. Tuh, di sana.” Tangannya menunjuk ke hamparan sawah membentang
hijau dipenuhi padi yang mulai melambai.
”Maka, sebagai guru ya tugas kita
mendidik murid supaya bisa memahami materi yang kita ampu.”
Mereka hanya diam dan mengangguk-angguk.
Entah mengerti atau justru heran.
”Rezeki itu bukan urusan kita. Sudah ada
yang ngatur. Yang penting kita berjuang dan berikhtiar.”
***
Hingga akhirnya zaman berubah, guru
Sunandar tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia berangkat dengan sepeda
ontel tua yang tetap tampak gagah dan bersahaja, seragam safari warna cokelat
muda yang mulai luntur warnanya, kacamata minus tebal, sepatu butut, dan sebuah
tas pinggang tempat buku pelajaran.
Ketika guru-guru yang lain mulai sibuk
pemberkasan entah menulis silabus, RPP, prota dan promes untuk sebuah
administrasi kerja dan tunjangan profesi, guru Sunandar tetap saja santai dan
terlihat tidak kerepotan. Dia memang tidak pernah membuat silabus, RPP, apalagi
prota dan promes. Baginya mengajar ya mengajar. Tidak usah diperpanjang. Titik.
Berbagai administrasi yang datang belakangan baginya hanyalah semu saja, toh
dia sudah paham seperti apa harus mengajar, seperti apa karakter dan kemampuan
siswanya dan apa yang perlu diproritaskan di dalam kelas.
Untuk teori pembelajaran jangan ditanya.
Dia sudah belajar banyak dari siswa di dalam kelas. Maka berbagai teori pun dia
ciptakan secara spontan yang kemudian diberi nama teori belajar kondisional.
Dalam teori ini tidak ada cara pakem yang perlu ditasbihkan sebagai grand
theory. Semuanya berjalan spontan dan dibiarkan begitu saja sesaat setelah
pembelajaran selesai. Seandainya ditulis, mungkin sudah ratusan bahkan ribuan
teori yang dihasilkan.
”Untuk apa lagi buat administrasi yang
menyesakkan dada itu?” Dia berkata dengan serius pada teman akrabnya yang
kebetulan bukan seorang guru.
”Toh, pada akhirnya hal yang
begitu-begituan tidak banyak berfungsi di kelas. Hanya jadi pelengkap saja di
meja untuk kemudian disetorkan kepada petugas demi sebuah pencairan tunjangan.”
Temannya hanya mengangguk pelan.
”Pada akhirnya yang menjadi korban adalah
siswa. Bagaimana mungkin guru maksimal dalam mengajar jika waktunya diluangkan
untuk pekerjaan yang tidak penting itu. Lebih baik digunakan untuk belajar saja
agar kemampuan kita sebagai guru semakin terasah dan siswa akan mendapatkan
ilmu yang memadai.”
Diam.
”Hidup ini memang terkadang aneh tapi
mengasyikkan.”
Mereka tertawa terkekeh-kekeh.
”Guru itu profesi, bukan birokrasi. Ya,
sebagai profesi harus selalu meningkatkan profesionalitasnya. Ya, belajar.
Bukan malah hanya sibuk dengan administrasi. Terus, apa bedanya kita dengan
birokrasi yang serba ngurus administrasi itu?”
”Mungkin itu cara pemerintah untuk
memastikan bahwa guru itu benar-benar profesional, Gus.”
”Ya, mestinya yang aktif mereka. Guru
sudah dibebani mengajar semaksimal mungkin malah dibebani administrasi yang
memakan banyak waktu hingga terbuang sia-sia. Terus yang harus kita kerjakan
yang mana? Tidak bisa kedua-duanya. Mesti ada yang tertinggal. Mestinya
birokrasi itu bekerja lebih aktif dan manusiawi.”
”Maksudnya, Gus?”
”Ya, masak mereka mau seenaknya sendiri.
Hanya menerima laporan yang telah kita buat, mencatatnya, dan mencairkan
tunjangan. Sedang guru, selain melaksanakan profesinya, juga harus bekerja
tambahan. Berarti kita kan hampir sama dengan pengemis namanya. Kalau memang
guru mempunyai hak karena sudah melaksanakan tugas, ya kasih saja haknya tanpa
harus kita meminta. Begitu.”
Keduanya mengangguk pelan kemudian saling
berbagi senyum.
***
Ketika pada akhirnya kepala sekolah
memberitahukan pemanggilan Guru Sunandar untuk mendapatkan tunjangan profesi,
dia menolak. Namun, karena kepala sekolah merasa kasihan kepadanya, maka sekali
lagi dia mencoba membujuk agar Guru Sunandar mau menerima. Menurutnya, dia
sangat pantas. Pengabdiannya tidak bisa diragukan lagi. Sudah puluhan tahun dia
mengajar di sekolah yang saat ini kebetulan dipimpinnya.
”Tidak usah.”
”Kenapa, Pak?”
”Berikan saja kepada yang lain.”
”Sudah, Pak.”
”Mungkin masih ada lagi.”
”Tapi bapak senior dan sangat pantas.
Lagi ula bapak sudah dipanggil.”
”Tetap tidak mau.”
Sore itu, kepala sekolah yang baru tiga
tahun menjabat pulang dengan tangan hampa. Keinginannya untuk menolong guru
sepuh itu kandas. Namun, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya.
Senyumnya sedikit mengembang. Istrinya. Bisiknya dalam hati sambil
mengusap-usap dagunya yang tidak berjenggot.
”Saya terserah suami saja. Tugas saya
hanya mendukung. Bukankah menurut pepatah di balik laki-laki sukses ada
perempuan tangguh di belakangnya.”
”Makanya, Bu, biar bapak bisa lebih fokus
ngajar saya akan usahakan beliau dapat sertifikasi. Cuma, karena bapak tidak
mau, maka saya minta ibu untuk membujuknya.”
Istri Guru Sunandar terdiam. Seperti
sedang berpikir. Tatapannya lurus ke atas-depan. Kepala sekolah tidak sabar
menunggu jawaban.
”Gimana, Bu?”
”Biar saya usahakan ya. Saya tahu betul
bagaiaman bapak. Sudah 25 tahun kami hidup bersama. Biasanya setiap keputusan
yang dia ambil selalu berdasarkan pertimbangan yang matang.”
”Siapa tahu saat ini beliau salah
prediksi.”
”Biar saya usahakan.”
”Terima kasih, Bu.”
”Sama-sama.”
***
Sampai saat ini kepala sekolah merasa
resah. Pasalnya, dia terlalu kasihan kepada Guru Sunandar yang kehidupannya
sekadar pas-pasan. Sedang pengabdiannya sudah tidak bisa diragukan. Di samping
kedisiplinannya yang ketat, dia juga telaten dalam membimbing murid-murid. Bisa
dipastikan tidak ada guru-guru muda yang pendidikannya lebih tinggi dan sudah
sarjana bahkan magister bisa menandinginya. Mayoritas dari mereka hanya sekadar
mengajar, itu pun sering telat bahkan tidak masuk.
Maka, sudah bulat tekat kepala sekolah
untuk kembali mendatangi rumahnya. Membujuk bahkan mendesak jika perlu.
”Beliau adalah guru yang rajin dan
disiplin, tidak boleh terganggu hanya karena materi.” Kepala sekolah membatin.
”Tidak usah, Pak. Saya sudah cukup diberi
jaza’ setiap semester saja.”
”Kenapa bapak begitu keras menolak.
Meskipun bapak bukan sarjana, tapi pengabdian bapak luar biasa dan itu sudah
cukup untuk pengajuan.”
”Saya tidak mau repot.”
”Maksudnya?”
”Uang itu memang cukup besar bagi
keluarga saya. Tentunya saya pun akan senang menerimanya. Namun, bisakah bapak
menjamin waktu saya akan semakin banyak untuk murid di sekolah dan
profesionalitas saya bertambah?”
”Bisa, Pak. Nanti bapak akan mengikuti
UKG selama beberapa hari. Di sana bapak akan mendapatkan banyak ilmu untuk
meningkatkan profesionalitas, meski tanpa ikut itu pun bapak sudah sangat
profesional.”
”Setelah itu?”
”Setelah itu bapak tinggal ngajar dan
menerima uang tunjangan.”
”Saya akan sibuk dengan berkas-berkas
yang tidak ada gunanya itu dan murid saya jadi telantar.”
”Berkas-berkas itu memang prosedur dan
itu akan mempermudah guru dalam mengajar baik satu materi, semester atau
setahun, Pak.”
”Bukankah guru adalah berkas yang
sesungguhnya? Dan saya sudah punya konsepnya tanpa harus dituliskan.”
”Lebih enak jika ditulis, Pak.”
”Nanti jam belajar saya jadi berkurang.
Saya seorang profesional, jadi harus mengutamakan belajar daripada melengkapi
berkas yang tidak penting itu.”
Kepala sekolah bengong.
”Biar saya menyuruh orang untuk
menuliskan dan melengkapi berkas bapak setiap pencairan.”
”Tidak usah.”
”Please…”
”Tidak mau.”
”Bapak tinggal mengajar dan dapat uang
tunjangan tanpa harus repot-repot membuat pemberkasan.”
Guru Sunandar menatapnya dalam. Kepala
sekolah bergidik. Baru kali ini dia mendapat tatapan tajam dari Guru Sunandar
yang selalu dia lihat kalem dan sejuk.
”Terus, apa kau menjamin niat mengabdiku
tetap utuh jika nanti aku dibayar?”
Diam.
”Aku hanya ingin profesional. Mengabdi.
Tanpa iming-iming apa pun. Titik!”
Kepala sekolah ternganga. Tidak ada
jawaban.
Tagenna Tengah, Oktober 2016-Juni 2020
*Khairul Umam sekretaris MWC NU Gapura. Mengajar di MA Nasa1
Gapura dan IST Annuqayah. Menulis sejak duduk di MA dan bergabung dengan
beberapa komunitas. Di antaranya Komunitas Kobhung, Lentera, Kaleles, MSP, dan
Biru Laut.
*Cerpen ini tayang di Radar Madura (Jawa Pos
Group), edisi 16 Juni 2020.
0 Comments