“SAMPAI kapan kamu akan menutup diri, Mar? Usia sepertimu memang sudah
pantas untuk berkeluarga. Jadi wajar jika ibu dan mbahmu selalu menanyakan
kapan kamu akan menikah, kecuali bapakmu yang memang tidak pernah
mempermasalahkan perihal jodohmu.”
Kamu hanya tersenyum
mendengarkan celotehanku yang sudah sering kamu dengar dan mungkin kamu sudah
bosan. Kamu masih sibuk membereskan kertas-kertas di meja dan memasukkan ke rak
buku yang sudah mulai reot itu. Kamu diam, tidak membalas perkataanku.
Matahari sudah mulai
bersinar sempurna. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya depan
toko, sebab setelah kebijakan kerja di rumah diberlakukan karena virus korona,
jalanan menjadi sepi, warung-warung hanya melayani take away, dan banyak tempat-tempat usaha yang tutup.
Hari ini hari Senin,
dan itu adalah hari yang paling tidak aku suka, tapi tidak bagi dirimu. Jika
orang-orang benci dengan hari Senin, kamu justru mengagung-agungkan dan
menunggu hari itu tiba.
“Hari Senin adalah hari yang baik untuk memulai segalanya. Nabi Muhammad
saja dilahirkan pada hari itu. Aku rasa Tuhan akan memilih hari yang spesial
untuk kelahiran kekasih-Nya. Dan aku
percaya, hari Senin terdapat berkah yang tersembunyi,” katamu.
Ya memang, hari Senin
menjadi spesial bagimu. Selain karena hari itu adalah hari kelahiran Nabi
Muhammad, juga karena hari itu adalah hari bersejarah bagimmu. Hari Senin
adalah hari di mana laki-laki tambatan hatimu datang ke rumahmu, memintamu
untuk menjadi pendampingnya. Tentu hari itu adalah momen yang sangat
mengharu-birukan perasaanmu, karena aku tahu kamu sudah lama menyimpan rasa
kepada laki-laki itu.
Bertahun-tahun
lamanya kamu hanya mengaguminya, tanpa berani menaruh harap bahwa ia juga memiliki
rasa yang sama kepadamu, tapi Tuhan diam-diam menanamkan rasa yang sama kepadanya.
Aku lihat wajahmu begitu berseri-seri, kata “syukur” terus kau ucapkan. Aku tak
pernah melihatmu sebahagia itu.
Namun, beberapa
bulan kemudian, aku tak lagi melihat aura bahagiamu itu. Wajahmu menjadi sering
sembab dan pucat. Aku tidak bisa menanyakan apa pun kepadamu, tapi kemudian
hari itu kamu memberanikan diri untuk mengeluarkan sesak di dadamu.
“Dia pergi. Ternyata hatinya belum sepenuhnya untukku, Tik. Di dalam
hatinya masih ada wanita lain. Wanita yang tidak sempat tahu kalau dia
mencintainya, hingga akhirnya wanita itu menikah dan menjadikan sesal yang
mendalam untuk dirinya,” katamu sambil mengusap air mata yang mulai menggenangi
kedua pipimu.
“Lalu mengapa waktu itu dia berani meminangmu, Mar?” tanyaku dengan
suara pelan.
“Dia hanya menjadikan diriku sebagai cara untuk melupakan wanita itu,
Tik. Dan aku tidak bisa menikah dengan laki-laki yang hatinya bersama wanita
lain.”
Sejak saat itu kamu
tidak pernah membahas perihal cinta, jodoh, dan pernikahan. Sekarang usiamu sudah menginjak dua puluh lima tahun, dan
kamu masih enggan untuk membuka hati.
Aku tahu kamu tidak
pernah membenci laki-laki itu. Dari pancaran matamu aku melihat bahwa kamu
masih berharap dia kembali ke pelukanmu. Mencintaimu sepenuh hati, tanpa ada
bayangan wanita itu.
***
“Mbak, tolong ketikan ini ya!”
ujar seorang laki-laki tua seraya memarkir motornya di depan toko, tempat
kerjamu.
“Baik, Pak,” katamu, terkejut.
Dengan segera kamu
bergegas menghampiri bapak itu dan mengambil beberapa kertas yang disodorkan
kepadamu. Kamu duduk dengan tenang, dan mulai mengetik di depan komputer yang
masih banyak debu itu, sebab toko baru buka, dan peralatan-peralatan belum
dibersihkan.
Jari-jarimu mulai
bermain di atas keyboard komputer,
begitu lincah dan cekatan, urusan ketik-mengetik memang itu keahlianmu, dan
itulah yang selalu memikat customer.
Kamu bisa menyelesaikan pekerjaan dalam waktu singkat. Selain itu sikapmu yang
ramah dengan senyum manis juga tidak jarang membuat mereka jatuh hati padamu.
Aku lihat hari ini
kamu begitu tenang. Barangkali karena sekarang hari Senin, hari yang penuh berkah
bagimu dan tentu atas harapan yang selalu kau impikan untuk jadi kenyataan.
Sementara itu, bapak
setengah baya itu masih duduk dengan tenang di sampingmu. Dan ternyata ia adalah
seorang ketua RT di desa sebelah. Ia memintamu untuk mengetik daftar nama-nama warga
yang akan mendapatkan bantuan akibat lockdown.
“Untuk mendapatkan bantuan ini saya harus mengemis, Mbak,” ujar bapak
setengah baya itu. “Kasihan warga saya,
Mbak, banyak yang kehilangan pekerjaan. Sebagai ketua RT, saya harus membantu warga
saya untuk meringankan beban mereka. Makanya saya bela-belain mengurus bantuan
ini,” tambahnya.
“Iya, Pak. Keadaan sekarang ini memang sangat tidak mengenakkan. Jika
berlangsung lebih lama lagi tentu akan menyebabkan krisis. Semoga pandemi segera
berakhir dan semua kembali normal seperti semula,” katamu.
Kulihat kamu dan
bapak setengah baya itu berbincang tanpa canggung. Kalian membicarakan banyak
hal, mulai dari Covid-19 yang menelan banyak korban sampai kebijakan-kebijakan
pemerintah dan dampaknya yang membuat semua orang menjadi resah.
***
Keringat di dagumu
mulai terlihat, sementara bapak setengah baya itu begitu antusias mencurahkan
segela keresahan hatinya kepadamu. Bapak setengah tua itu tiba-tiba bercerita perihal
anak sulungnya kepadamu. Tiba-tiba tatapanmu menjadi nanar, namun kamu tetap
berusaha tenang dan mendengarkan curahan hati bapak setengah baya itu dengan saksama.
“Saya punya anak sulung, Mbak. Sekarang dia menjadi kepala di kantor
pegadaian. Umurnya sekarang sudah 36 tahun, tapi sampai sekarang belum menikah,”
ujar bapak setengah baya itu.
“Kok belum menikah, Pak?” tanyamu.
“Sepertinya anak saya trauma, Mbak. Dulu dia pernah punya pacar tapi
beda keyakinan. Saya hanya menegaskan kepada anak saya. Mereka boleh menikah
jika mereka sudah seiman. Dan tidak lama setelah saya bilang seperti itu pada
anak saya, lambat laun dia menjauh dari pacarnya. Dia memilih untuk mengakhiri
hubungannya dengan perempuan yang dicintainya. Katanya, perempuan itu yang
pernah dicintai anak saya itu sudah menikah,” seraya berkata seperti itu, bapak setengah baya
itu kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sepertinya ia ingin menunjukkan
sesuatu padamu. Aku lihat kamu masih tenang, dan tetap fokus pada ketikanmu.
“Ini foto anak saya, Mbak.”
“Wah anak Bapak tampan dan sudah mapan. Semoga anak Bapak itu cepat
sembuh dari trauma dan segera bertemu dengan jodohnya.”
Mendengar ucapanmu
yang begitu tulus itu, membuat aku juga mengamininya. Ucapan yang sekaligus doa
dari mulutmu itu seakan juga kamu haturkan untuk dirimu sendiri.
Baru selesai aku mengucap kata ‘amin’, tiba-tiba bapak setengah baya
itu berujar, “Saya sudah menemukan jodoh anak saya, Mbak.”
“Siapa, Pak?” tanyamu penasaran.
“Wanita itu sekarang ada di hadapan saya. Dan saya yakin anak saya akan
mampu mengobati traumanya bersama wanita di hadapan saya ini.”
Sontak, kamu
terkejut dengan ucapan bapak setengah baya itu. Tatapanmu kembali nanar,
terpaku pada titik di ruas jalan. Di sana ada bayangan, keraguan, dan pertanyaan-pertanyaan
yang kembali membuatmu membisu. Sekarang hari Senin. Dan kamu kembali menciptakan
sejarah
Malang, 18 Mei 2020
*Komariyah Arifin lahir di Pamekasan, Madura. Sedang
belajar di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang.
*Pernah dimuat di Rezim Online, edisi 30 Mei 2020.
0 Comments