SAYA tidak sepenuhnya yakin dan lebih
didominasi ragu, ketika Yuval Noah Harari mengatakan, “Defending freedom
will be even more urgent once government can use technology to look into our
innermost feelings.”
Pada tahun 2008, penyair kelahiran Lamongan,
Nurel Javissyarqi (NJ), mulai memperkenalkan kesusastraan Indonesia berbasis
media online, ketika zaman itu, media sastra cetak masih jadi “maha
raja”. Tujuan Nurel adalah pembebasan, atau dalam istilah Yuval, “defending
freedom”.
Ketika “rezim” sastra cetak mulai sedikit
goyah pun bergeser ke “cyber spaces”, Nurel perlahan-lahan mengundurkan
diri dari laman http://sastra-indonesia.com/, yang dikelolanya, dan
memulai memperkenalkan tulisan teman-teman jejaringnya. Ini juga masuk kategori
perlawanan terhadap keterbukaan akses, dalam istilah Yuval disebut “to look
into our innermost”.
Karena itulah, saya yakin, sekalipun
gagasan sastra pemberontakan Nurel “dikloning” oleh gerakan Organisasi Papua
Merdeka (OPM), di saat bersamaan OPM hanya menangkap sisi luar dari Nurel. Begitu
pula jika pemerintah maupun komunitas penyair hendak membaca NJ, maka akan
gagal sejak awal. Di sini saya menjadi ragu apakah benar hipotesa Yuval, bahwa
negara yang menggunakan teknologi akan mampu melihat kedalaman seorang Nurel?!
Dalam kasus populer, saya mengiyakan
pandangan Yuval yang mengatakan, “corporations and governments might be able
to hack your body and brain.” Kebenaran itu terpampang nyata di depan mata.
Bahkan saya ingin memberikan data lengkap pada Yuval, seandainya mau melihat
kasus pengalaman di Indonesia. Di sini, dengan adanya media sosial, para kiai
dan santri sudah mempunyai dunia lain: pesantren digital. Jadi, mau tidak mau,
mereka harus beli kuota internet.
Sebaliknya, pada kasus Nurel,
perjuangannya dalam membeli kuota internet, yang setiap tahun harus membayar
pajak hosting website-nya sebagai perjuangan untuk orang lain, bukan
dirinya semata. Sadar atau tidak sadar, semua penulis yang artikel-artikel
mereka dimuat di www.sastra-indonesia.com/ adalah korban Nurel, setidaknya
menjadi pion-pion yang dilemparkan olehnya ke hadapan “singa-singa” yang
bersembunyi di balik “semak-semak” untuk membaca apa yang sedang dialami,
dipikirkan, dirasakan, dan ditulis oleh para penulis.
Singa-singa tersebut bisa peneliti,
pemerintah, atau gerakan separatis OPM, bahkan pebisnis. Jadi, misalnya,
semakin banyak penulis online di medianya Nurel (juga media online
lain), maka provider jaringan kuota, berkalkulasi secara ekonomis.
Menimbang-nimbang paket internet yang paling memasyarakat atau terjangkau kelas
akar rumput, serta memenuhi seberapapun kebutuhan kelas elite.
Bagaimana dengan Nurel sendiri? Ia
bersembunyi, sesekali memperlihatkan ekor atau kepalanya. Sesekali memposting
karyanya sendiri, dan berkali-kali milik orang lain. Di sini, mampukah provider
di Indonesia menghitung kebutuhan kuota pribadi Nurel? Itu bergantung
sepenuhnya pada permainan NJ. Di setiap bulan dan atau tahunnya, membeli berapa
GB, mengeluarkan uang berapa ratus ribu, dan tentunya sesuai strategi
politik-ekonomi dirinya.
Bagaimana dengan kebutuhan kuota minimal,
agar sebuah postingan berjalan lancar? Itu pun bergantung keputusan personal
seorang Nurel. Bahkan, untuk berhenti sekali pun, peluang itu ada. Jangan
heran, sekalipun mayoritas orang terseret arus menggiurkan dunia online,
satu dua orang bertahan menjauhinya. Kebebasan serta pilihan itu masih ada,
tentulah jangan hitung soal kuantitas, karena soal kuantitas adalah soal
kesadaran, dan suatu hari nanti akan jadi bom waktu perlawanan.
Berikutnya, Yuval juga mencontohkan orang
tua yang kehilangan pengaruh dan kontrol atas anak-anak mereka, yang disayangi,
dikasihi, dan dicintai sejak kecil. Ketika dewasa, malahan sang anak tumbuh di
bawah kendali hipotesa-hipotesa ilmuwan, para pebisnis, lantas akhirnya penguasa
tiran. Bagi Yuval, fenomena ini sudah menyejarah, sehingga ia membuktikan tubuh
dan pikiran sang anak bisa dikontrol pihak tertentu, juga bisa lepas dari
kontrol pihak pertama yang lebih dulu berkontribusi.
Yuval mengatakan: “parents knew their
children well, and lovers could sometimes peer into each other’s hearts. But
the knowledge gathered by priests, merchants and tyrants always remained only
skin deep.” Di sinilah, di ranah kultural ini, Yuval tidak mengerti budaya
Timur, dimana sejak sebelum lahir, bahkan sebelum sperma memasuki rahim
bercampur ovum, takdir seorang bayi telah digadaikan. Semisal di dalam kultur
Madura, ketaatan yang tidak bisa ditawar seorang anak secara berurutan adalah,
kepada: 1. Orang tua; 2. Guru; dan 3. Raja (beppa’-bebbu’, guru, ratoh).
Nurel bagian dari kultur Timur, sekalipun
bukan orang Madura, tetapi ia representasi dari budaya Timur. Misalnya, saat
dirinya berseberangan secara politik dengan keluarga kiainya dari pesantren
tempat ia mencari ilmu, dalam ranah lain tetap tunduk, tak mau kehilangan
berkah, dan kelak saat meninggal dunia, masih berharap disebut santri.
Keterenggutan jiwa manusia Timur oleh orang tua, guru, dan raja, bukan
kehilangan kebebasan.
Dengan kata lain, pernyataan Yuval hanya
kontekstual bagi kebudayaan Barat. Sebaliknya, dalam konteks kebudayaan Timur,
orang tua serta guru ialah satu, rakyat dan raja ialah satu. Sehingga kita,
sebagaimana bangsa Timur mengenal istilah “manunggaling kawulo lan gusti”.
Jika demikian adanya, lantas kebebasan mana yang terenggut, ketika orang tua
datang ke pondok pesantren, misalnya demi menyerahkan anak-anak mereka sepenuh
hati kepada Kiai, kemudian para orang tua berpesan: “Pak Kiai, pukul saja anak
kami, jika memang tidak mau mengerjakan perintah njenengan. Anggap saja
sebagai anak sendiri?!”
Kebebasan mana yang terenggut, ketika
seorang keturunan abdi ndalem Keraton Yogyakarta bercita-cita ingin
melanjutkan tradisi, menjadi abdi ndalem kraton, sebagaimana ayah, kakek, dan
buyutnya yang juga abdi ndalem?! Tidak ada, “tuan” Yuval! Di sini, di kota
kami, pada kebudayaan kami, tak ada kebebasan yang terenggut. Inilah
nilai-nilai kami yang harus dibaca dari hati dan pikiran kami, bukan dari apa
yang Anda inginkan!
Terakhir sebagai penutup, Yuval, kau
mengatakan: “Your elders have provided you with the knowledge and values
necessary to solve this problem. But they cannot solve it for you; they don’t
know how. You will have to do it for yourself—and for the whole of humankind.
We are all counting on you”. Dan saya akan berkata dengan cukup singkat:
“Saya menikah dengan istri saya itu lantaran diperkenalkan oleh teman saya,
dijodohkan Kiai saya, dan diputuskan tanggal nikahnya atas keluarga saya.
Sekarang saya sudah punya anak. “Apakah saya, menurutmu, contoh manusia yang
kehilangan kebebasan? Jangan terlalu terburu membusungkan dada, dan mengira
nilai-nilaimu mengatasi nilai-nilai orang lain”.
Keterangan:
Yuval Noah Harari, lahir 24 Februari
1976, seorang sejarawan Israel yang menjabat profesor di Departemen Sejarah
Universitas Ibrani Yerusalem. Penulis buku: Sapiens: A Brief History of
Humankind (2014), Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), dan
21 Lessons for the 21st Century (2018).
Nurel Javissyarqi, lahir di Lamongan,
Indonesia, 8 Maret 1976, diantara buku esainya: Trilogi Kesadaran; Kajian
Budaya Semi’, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak (2006), dan
buku terbarunya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” (2018).
*Imam Nawawi santri dan pecinta kebudayaan Madura. Kini
tinggal di Yogyakarta.
*Pernah tayang di sastra-indonesia.com,
edisi 4 Mei 2020.
0 Comments