(Malam
ke-3)
Seandainya
Waktu Bukan Perang
Ingin
kupecahkan jam di dinding kamarku itu. Akhir-akhir ini aku mulai benci
mendengar suara jam, apalagi ketika loncengnya berdentang. Sejatinya, aku benci
dengan segala hal yang berhubungan dengan waktu. Aku sendiri tidak begitu paham
dengan semua ini. Tapi, setiap kali telingaku mendengar suara jam, jantungku
berdegup kencang seolah-olah menyuruhku berlari, sembunyi dari suara-suara yang
selalu memburu itu. Aku tidak memahaminya sebagai pergeseran waktu, akan tetapi
suara itu telah menggiringku pada sebuah wilayah yang dipenuhi dengan
suara-suara bising. Suatu wilayah di mana di situ terdapat anak-anak kecil lari
tunggang langgang di antara jalanan berdebu, perempuan-perempuan bermata sayu
yang tidak dapat lagi menyembunyikan setiap luka dan amarah, mayat-mayat
terkapar dengan beberapa lubang di tubuhnya, potongan tangan, amis darah,
mesiu, serdadu, Palestina, PERANG!
Malam
ini aku mencoba memberanikan diri untuk melihat sejenak jarum jam di dinding
kamarku. Betapa aku tersentak ketika semua jarumnya berhenti tepat di
tengah-tengah angka dua belas. Entahlah. Sebenarnya aku bingung harus menyebut
apa pada waktu yang sedemikian ini. Apakah sudah pagi atau malam? Perasaanku
kembali dihantui oleh pikiran kacau tentang daerah perbatasan Palestina. Bagiku,
daerah perbatasan adalah sebuah ruang di mana setiap orang dituntut untuk
segera menentukan pilihan, apakah ia akan memilih turun ke medan perang lantas
mati sebagai pahlwan atau memilih mundur dan hidup di bawah bayang-bayang
kesia-siaan. Yang kutahu, daerah itu sama gelapnya dengan mayat-mayat yang
membusuk, burung-burung bangkai yang beterbangan, atau ibu-ibu yang kehilangan
suaminya. Di sinilah kemudian aku dituntut untuk menentukan takdirku sebagai
laki-laki, apakah kematianku harus diputuskan atau ditunda.
Di luar, cuaca masih dingin, sedingin hatiku yang risau.
Sementara Deni, anakku yang baru berusia lima tahun, sudah pulas dengan
mimpi-mimpinya. Sedangkan Jayanti, istriku, masih duduk membelainya dengan
segenap rasa kasih sayang yang dalam, yang tak mampu kuterjemahkan. Entah apa
yang ia pikirkan. Sepi. Tak ada percakapan di antara kami. Jayanti seperti
sengaja membiarkan diriku larut dalam keasinganku sendiri. Nyaris tak terdengar
suara, kecuali tiktok jam yang tak
henti-henti menterorku, seperti desau peluru yang menyesaki lubang telingaku.
Aku semakin tak tahan dengan kesunyian ini. Benar yang dikatakan K. Faizi, guru
ngajiku dulu, bahwa “dalam hal melukai, kesunyian lebih tajam dari belati.”
“Hari sudah malam. Sebaiknya kau tidur,” bisikku. Aku
mencoba memecahkan kesunyian. Tapi yang kudengar justru isak tangis yang
benar-benar tak pernah kuharapkan. Kenapa begini? Apa ada yang salah dengan
sikapku? Aku benci keadaan seperti ini.
Jayanti. Ia telah delapan tahun menemani hidupku. Ia yang
menyeka keringatku ketika aku lelah, merawatku ketika aku sakit, memberi
kehangatan setiap kali hujan datang. Ia yang mengajariku tentang banyak hal,
tentang hidup, tentang cinta, dan ketulusan. Ia memberiku segalanya, juga
Deni putraku tercinta. Aku telah benar-benar mengenalnya. Aku mengenal Jayanti
sebagai perempuan yang tabah, solehah, tegar, dan romantis. Hubungan
perkawinanku dengannya berjalan indah dan mengesankan. Nyaris tak ada
pertengkaran.
“Aku masih ingin menatapmu. Aku takut jauh darimu. Waktu
tidak banyak memberi kesempatan bagi kita untuk saling bertatap. Hanya dua
hari. setelah itu, kepergianmu akan menyiksaku,” ucapnya terseduh.
Ah, dia tidak berubah. masih seperti dulu. Romantis. Dia
selalu meneduhkan hatiku ketika aku sedang galau. Seperti malam ini, dia
kembali memberatkan langkahku untuk meninggalkannya. Aku benar-benar
mencintainya.
“Aku hanya sebentar, Istriku. Sebentar. Aku hanya ingin
menjalankan kewajibanku sebagai manusia. Kau tidak usah terlalu khawatir
begitu. Aku pasti kembali untukmu.”
“Bagaimana dengan Deni, anak kita? Kau tega
meninggalkannya? Apa yang akan kujadikan alasan ketika dia menanyakan
kepergianmu? Dia akan merasa kehilangan tanpamu.”
Kenapa aku terjebak pada percakapan-percakapan konyol
seperti ini? Pertanyaan-pertanyaannya telah membuatku kehilangan sekian
kata-kata. Semakin aku mencoba menjawabnya, semakin aku merasa ditinggalkan
kata-kata. Saat itu, barulah aku sadar, bahwa diam adalah jawaban paling
sempurna.
Sampai pada akhirnya isyarat Subuh memecahkan kesunyian
itu. Kesunyian yang pada mulanya tak pernah kuinginkan, tetapi kemudian
kesunyian itu seolah-olah menjelma sesuatu yang mesti kugenggam. Sungguh betapa
cepat berlarinya waktu di saat kita mengharapkannya berhenti sejenak.
* * *
(Malam ke-2)
Sakit itu bernama Palestina
Seharusnya bisa kupejamkan mata malam ini. Tetapi setiap
usaha yang kulakukan selalu saja sia-sia. Tak juga datang rasa kantuk yang
kuharapkan. Sepertinya ada yang sengaja memancangkan tiang penyangga di antara
kelopak mataku. Hingga kejadian-kejadian yang kualami pada malam-malam
sebelumnya terulang lagi. Kembali tiktok jam, suara bising, medan perang,
bangkai, kesunyian, dan…
Kali ini aku seperti digiring ke suatu tempat. Waktu
terus berlari mengejarku sampai aku tak lagi menemukan tempat untuk berpijak seperti
ada hantu di kepala yang merampas semua kebebasanku. Bahkan, kebebasan untuk
menikmati kesejukan wajah Jayanti sekalipun. Entah apakah ini halusinasi. Tapi
bayangan-bayangan tentang wilayah yang dipenuhi dengan suara-suara bising, tentang
sebuah wilayah di mana di situ terdapat anak-anak kecil lari tunggang langgang
di antara jalanan berdebu, tentang perempuan-perempuan bermata sayu yang tidak
dapat lagi menyembunyikan setiap luka dan amarah, tentang mayat-mayat yang
terkapar dengan beberapa lubang di tubuhnya, tentang potongan tangan, amis
darah, mesiu, serdadu, Palestina, perang, semakin nyata dalam pikiranku.
Mungkin karena rasa takut yang terlalu, sehingga aku tidak dapat lagi
membedakan antara kenyataan dan kesadaran.
Inilah perang permulaan. Dalam perang pertama ini, aku
dituntut untuk mengalahkan diriku sendiri. Entah pihak mana yang harus
kumenangkan. Apakah keinginanku untuk tetap berangkat ke Palestina sebagai
relawan, atau keinginanku yang lain untuk menjalankan tanggung jawab sebagai
kepala keluarga, sebab anak dan istriku juga sangat membutuhkanku. Aku sadar
bahwa persoalan paling rumit dalam kehidupan adalah bagaimana ketika kita
dituntut untuk segara menentukan pilihan. Begitu juga aku. Bagaimana mungkin
aku harus mengalahkan salah satunya, sedangkan kedua pilihan itu menuntut untuk
sama-sama dimenangkan.
Aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati, membuka
daun pintu secara pelahan agar tak berderit, agar tak terdengar suara. Agar tak
membangunkan Deni dan Jayanti. Di beranda, aku mencoba menenangkan pikiran.
“Kau masih tetap pada pendirianmu?” seketika aku
tersentak, Jayanti membuyarkan lamunanku. Aku melihat bening bola matanya
berkaca-kaca. Kenapa dia jadi cengeng begini? Seperti ada yang berubah dengan
ketegaran dan ketabahan hatinya.
“Kau belum tidur?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jika aku tidak lagi sebagai pilihan untuk mengubah
keputusanmu, sebagai istri aku hanya bisa pasrah. Semoga kau tepati janjimu. Cepatlah
kembali. Aku tak bisa menghadapi waktu tanpamu.” Dia menjatuhkan kepalanya di
bahuku. Aku rasakan air matanya membasahi kulitku, hatiku. Oh, kekonyolan
apalagi ini? Kata-katanya membuat jantungku remuk-redam.
“Kalau perang telah usai, aku pasti kembali untukmu dan
Deni!” aku coba menenangkan.
“Tapi kapan? Jika terjadi sesuatu denganmu?” dia kembali
memburuku dengan pertanyaan-pertanyaan. Tak seharusnya Jayanti menyurutkan
langkahku. Aku kira, sebagai perempuan yang tekun beribadah dia akan mendukung
keputusanku. Keputusan untuk berjihad. Tapi sebaliknya. Jayanti selalu berusaha
membuatku ragu akan pilihan itu. Sebagai seorang Muslim, bagaimana mungkin aku
bisa diam ketika koran-koran memberitakan kisah-kisah pembantaian yang tak
pernah beralasan? Tidak. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap teguh pada
pendirianku. Bukankah ini panggilan suci? Aku sudah siap. Kalau pun aku
benar-benar mati di sana, aku tak akan pernah menganggapnya sebagai kejahatan
perang, melainkan jalan lain untuk mendapatkan kedamaian. Dan untuk mendapatkan
kedamaian, memang harus dimulai dari perang.
“Tidak akan terjadi apa-apa denganku. Kalau pun nantinya
tubuhku penuh dengan lubang-lubang peluru, tidak akan kurelakan kematian datang
menjemput begitu saja, sebab aku hanya ingin mati di dekatmu, Istriku,” ujarku,
berusaha merangkai kata-kata sebisa mungkin, dengan harapan dia tidak terlalu
larut dalam kesedihannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. “Sudahlah,
cuaca semakin dingin, sebaiknya kau masuk saja. Kasihan Deni sendirian.”
“Seandainya aku bisa belajar
melupakanmu, seandainya aku bisa tidak mengingat kenangan-kenangan itu,
seandainya tidak terlalu sayang kepadamu. Tapi itu mustahil untuk kulakukan,
sebab semakin aku mengabaikanmu, semakin pula rasa sakit menyiksaku.” Tangisnya
semakin menjadi. Sepertinya aku telah menorehkan sepotong luka di hatinya. Luka
yang begitu dalam, asin dan nyeri.
Oh, inikah yang juga dirasakan
perempuan-perempuan Palestina yang harus merelakan suaminya pergi ke medan
perang? Rasa cemas itukah yang menghantui pikiran mereka atas segala keragu-raguan
untuk menerima kenyataan pahit, ketika mendengar kabar bahwa suaminya telah
dijemput oleh kedamaian yang abadi? Atau mungkinkah mereka sudah tidak lagi
memikirkan hal itu, sebab kematian telah begitu dekat dengan mereka? Mungkin
juga karena mereka menganggap bahwa kehilangan adalah sebuah kewajaran, meski
menyakitkan!
* * *
(Malam Penghabisan)
Kuucap Selamat Tinggal
Lagi-lagi jam dua belas pas. Tapi pada waktu yang
sedemikian ini aku merasakan ada sesuatu yang aneh, yang tak biasa kutemukan
pada waktu-waktu sebelumnya. Kali ini aku tidak lagi terteror oleh suara jam
atau pikiran-pikiranku tentang medan perang. Begitu juga Jayanti. Aku tidak
lagi mendengar isak tangisnya. Dia begitu tenang dengan duduknya dan masih
terus membaca ayat-ayat suci dengan begitu khusyuk. Meskipun demikian, aku
masih menemukan rasa takut yang sengaja disembunyikan dari suaranya yang parau.
Setelah ayat yang terakhir, Jayanti beranjak dari duduknya, kemudian melipat
baju-bajuku dan memasukkannya pada tas ransel yang akan kubawa. Apakah Jayanti
benar-benar pasrah melepaskan kepergianku? Padahal dua jam lagi aku berangkat.
Waktu tidak banyak memberikan kesempatan kepada kami untuk lebih lama
bermesraan. Atau jangan-jangan Jayanti sengaja berpura-pura tenang. Mungkin dia
takut ketahuan Deni yang juga masih belum tidur.
“Ayah. Ayah mau ke mana? Deni ikut,” ucapnya lugu.
“Ayah tidak mau ke mana-mana, Nak,” kataku. Ada rasa haru
berkecamuk dalam diriku. Rasa haru bercampur galau dan keragu-raguan.
“Ayah bohong. Mau ke rumah kakek ya?”
“Ayah hanya ada urusan sebentar, Nak,” ucapku sambil
menggendongnya. “Katanya Deni mau sekolah TK? Nanti ayah akan membelikan Deni
oleh-oleh. Deni mau apa? Mobil-mobilan, robot, pesawat, atau…”
“Asik… Belikan Deni sepatu dan tas baru saja, yah. Deni
kan mau sekolah?” Mendengar kata-kata anakku yang lugu itu, aku jadi tak kuasa
menahan air mata. Tak kuasa, karena sebentar lagi dia akan kutinggalkan.
Meninggalkan buah hati dari persemaian cinta yang tulus antara aku dan Jayanti.
“Kenapa ayah menangis? Ayah sendiri kan pernah bilang,
bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Tapi sekarang, kenapa ayah yang
menangis?”
“Ayah tidak menangis, Nak. Ayah hanya mengeluarkan air
mata. Orang yang mengeluarkan air mata belum tentu menangis. Bisa saja karena senang,
dan sekarang ayah senang melihat Deni semakin pintar. Jadilah anak laki-laki
yang kuat, tidak boleh nakal dan jagalah ibumu baik-baik, kalau ayah tidak di
rumah.”
Belum lama aku menikmati keharuan itu, tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu. Aku membukanya. Terlihat sesosok tubuh berdiri
tegap, memakai surban yang diikatkan di kepalanya. Aku kenal lelaki itu, Umar
namanya.
“Sahabat, sudah waktunya,” kalimat yang keluar dari
sela-sela bibirnya itu menjelma halilintar di kepalaku. Kalimat yang dilontarkan
dengan berat dan tertahan itu semakin mengencangkan degup jantungku. Sel-sel
adrenalinku seperti dijerang hingga mendidih. Saat itu pula aku dengar tangis
Jayanti tumpah.
Sial! Betapa cepat waktu berlari. Haruskah kutinggalkan
orang-orang yang tak seharusnya kutelantarkan? Mereka yang selama ini mengisi
hari-hariku, Jayanti dan Deni. Mungkinkah dapat kurasakan kembali
kehangatan-kehangatan cinta di rumah ini? Kembali menyaksikan Jayanti menyapu
beranda dan mengawasi Deni yang sedang bermain di halaman. Masihkah aku bisa
bangun pagi-pagi dengan tenang, menikmati hidangan di meja makan, menyaksikan
keluguan Deni ketika memakai seragam sekolah, mencangkul di sawah, dan menunggu
Jayanti datang membawa makanan.
Sementara di Palestina akan kudengar lagi suara-suara jam
yang bising, yang lebih mengerikan. Suara yang berbeda serta waktu yang
berbeda. Waktu yang beringsut pelan dan tertatih. Di sana benar-benar akan
kusaksikan anak-anak kecil lari tunggang langgang di antara jalanan berdebu,
perempuan-perempuan bermata sayu yang tidak dapat lagi menyembunyikan setiap
luka dan amarah, mayat-mayat terkapar dengan beberapa lubang di tubuhnya,
potongan tangan, amis darah, mesiu, serdadu, juga takdir buruk, seburuk
mayat-mayat, dan rasa cemas yang berkepanjangan.
Oh, Palestina. Kota tua penuh amarah!
Sumenep, 2008
*Kadarisman lahir di Sumenep, Madura, 8
Mei 1984. Sekarang masih tercatat sebagai Alumnus STKIP PGRI Sumenep jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Pernah menjabat sebagai
ketua umum UKM Sanggar Lentera STKIP PGRI Sumenep, ketua umum FORIS, menjadi
pembina Sanggar Tempor Buko SMPN I Saronggi, serta aktif di Komunitas AROUS
Pasongsongan. Pernah mendapat juara III lomba cipta Puisi se-Kab. Sumenep
(DISPARBUD), juara II lomba cipta puisi Bahasa Madura se-Jawa Timur (Balai
Bahasa JATIM). Contact Person: 0817581884.
*Juara satu Lomba Cipta Cerpen se-Madura (2010).
0 Comments