SUPATLAH sadar
bahwa pertandingan sudah di ujung mata. Sudah tinggal satu bulan beberapa hari.
Berarti dia harus lebih hati-hati. Selalu waspada, mengurangi tidur, memberi
makanan terbaik bagi sapinya, meramukan jamu serajin mungkin, dan yang tidak
boleh terlupa mencari dukun sebanyak mungkin. Berapa pun biaya yang harus dia
keluarkan itu tidak seberapa dibanding prestasi yang selama ini dia idamkan.
Tinggal menunggu waktu sedikit lagi dan dia yakin akan berhasil. Suatu pencapaian
yang jarang orang lain mendapatkannya bahkan dalam kurun waktu sepuluh tahun
ini tidak satu pun yang berhasil.
Dia tahu
pertandingan kali ini sangat berat. Bukan melulu lawan tanding sapinya yang
lebih muda dan beberapa langsung didatangkan dari Pulau Sepudi—penghasil sapi
karapan yang cukup masyhur. Untuk urusan teknis seperti itu dia sudah sangat
paham dan bisa mengatasinya dengan mudah. Tidak hanya dia yang pengalaman
melatih pasangan sapi dan jokinya dalam pertandingan nasional yang kali ini
ditempatkan di lapangan Giling namun pasangan sapinya pun telah berpengalaman
dalam beberapa pertandingan dan sudah dua kali berturut-turut memenangkan pertandingan skala nasional itu.
Urusan
berlari, pasangan sapinya sudah cukup tangkas. Ia melesat bagai angin yang
bertiup kencang, kakinya mengentak seperti gemuruh yang menerjang dan kepul
debu yang ditimbulkan membubung gelap ke angkasa seakan ia adalah pesan yang
dititipkan kepada malaikat yang sedang menyaksikan dari pintu-pintu langit nun
jauh di angkasa raya. Beberapa teman timnya bahkan menamai pasangan sapinya angin ribut. Sebagai pemilik sapi, dia
hanya tersenyum ketika salah satu di antara mereka melontarkan argumentasinya.
“Berlari bagai
terpedo, menderap bagai gemuruh. Apa lagi yang lebih pas selain angin ribut?”
Hanya saja, pertandingan kali ini terasa berbeda. Meski dia yakin
sapinya sudah sangat kuat namun kejadian aneh dan tidak diduga sangat mungkin
terjadi menjelang pertandingan atau bahkan di lapangan. Dia meyakini
lawan-lawannya tidak akan tinggal diam. Isyarat itu dia rasakan terhadap
beberapa orang yang beberapa waktu lalu silih berganti mendatanginya. Mereka
mencoba membujuknya untuk menjual sapi andalannya bahkan ada yang hendak
membayarnya dengan sejumlah uang melimpah dengan syarat dia tidak ikut lagi
dalam pertandingan kali ini. Namun semuanya dia tolak. Dia bersikukuh
melanjutkan rencananya untuk bertanding dan memenangkan pertandingan untuk
kali
ketiga. Yang dia inginkan bukan semata uang hadiah namun prestasi
yang tidak sembarang orang meraihnya: tiga kali gubeng.
Sudah di depan
mata. Setelah ini dia telah mempersiapkan masa tuanya dalam keadaan tenang dengan
hanya memelihara sapi biasa di tengah kebun rumahnya. Sapi-sapi karapan
andalannya akan dijual semua. Matanya berbinar mengingat kemenangan ketiga yang
akan segera diraihnya. Sudah pasti dalam kemengan tersebut dia akan dinobatkan
sebagai orang yang istiewa dengan gaji selamanya dan status sosial yang tinggi
di tengah-tengah masyarakat pecinta karapan. Satu-satunya peraih tiga kali gubeng
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Satu-satunya pemilik sapi yang
dipensiunkan oleh pemerintah dengan gaji mengalir selamanya.
Dia
membayangkan setiap hari, di tengah kesibukannya memelihara sapi, akan selalu
ada wartawan yang mewawancarainya perihal kesuksesannya dalam dunia karapan,
selalu ada orang-orang yang datang untuk berguru bagaimana bisa menjadi juara
gubeng tiga kali berturut-turut hingga dipensiunkan oleh pemerintah dan
hidupnya beserta seluruh keluarga dijamin hingga akhir hayat. Dia sudah
persiapkan tempat khusus untuk menaruh piala dan piagam di tempat yang mudah
dilihat oleh siapa pun. Kelak, penghargaan itu akan dijadikan kenangan untuk
anak cucunya agar mereka juga bisa mengikuti jejaknya sebagai seorang pemecah
rekor.
Maka, sebagai
juara bertahan dan hampir mencapai purna dia sangat paham akan banyak orang
yang akan berusaha menjatuhkannya baik secara teknis atau pun non teknis. Banyak
orang tidak akan rela rekor dipegangnya. Menang satu atau dua kali bolehlah tapi
tidak untuk kali ketiga. Hal semacam itulah yang terjadi kepada
pendahulu-pendahulunya. Kesadaran seperti
itu yang membuatnya bertindak lebih cepat dan tangkas. Dia sudah
mempersiapkan beberapa orang penjaga di sekitar kandangan. Menjaga kemungkinan
pasangan sapinya diracun atau diberi makanan yang membuat kebugaran tubuhnya
menurun. Pun dia sudah mempersiapkan beberapa dukun sakti dari beberapa daerah.
Dukun khusus penjaga stamina, dukun penjaga dari guna-guna, dukun pencipta
wibawa, dan beberapa dukun lainnya yang sudah punya peran masing-masing.
Khusus
perawatan fisik, sudah sejak jauh hari dia menyewa tukang pijat dari luar
daerah yang mumpuni. Setiap pagi dia datang untuk melakukan pemijatan sekaligus
memandikan dengan air kembang yang sudah dicampur mantra dan air tujuh sumber.
Tidak hanya memijat, dia juga bertugas memberikan jamu-jamu penguat otot dan
penghalus bulu kulit secara rutin. Sesekali latihan fisik dilakukan layaknya
seorang yang sedang melakukan pemanasan. Selama perawatan dilakukan, Supatlah
tidak pernah menjauh dari sapinya. Bahkan dia rela menunda pekerjaan lainnya
hanya demi memastikan semuanya telah beres dan sempurna.
Seminggu tiga
kali Supatlah dan timnya berkumpul melingkar di kandang sapi yang disetting
seperti layaknya rumah manusia. Dindingnya dibuat dari kayu jati yang kokoh,
atapnya ditopang kayu siwalan diiris persegi empat memanjang ukuran lima kali
tujuh diperkuat usuk yang juga dari siwalan yang berwarna hitam legam. Atapnya
dari bahan keramik. Di dalam kandang terdapat dua kamar khusus untuk
masing-masing sapi, satu kamar orang, dan satu amperan yang berukuran paling
besar. Lampu petromaks dipasang di sekitar kandang dan di setiap kamarnya. Di
amper itulah timnya sering berkumpul baik untuk merencanakan strategi
pertandingan atau untuk melakukan munajat kepada Tuhan.
Meski sebagai
pecinta dan pemilik sapi karapan kehidupan Supatlah dan timnya sangat karib
dengan tayub, tanda’, lodruk, dan berbagai hiburan lainnya, mereka tetap yakin
bahwa kekuatan adikodrati sangatlah penting dan menunjang kemulusan karirnya.
Meski dia sering kali nyawer terhadap tanda’-tanda’ yang cantik dan bahenol pun
juga kalimat-kalimat yang dilontarkannya terkesan urakan dan tidak senonoh saat
melihat pinggul tanda’ bergoyang gemulai, dia tetap berusaha sekeras mungkin
dekat dengan kiai dan ritual-ritual keagamaan. Selain sebagai seorang santri,
jiwa Maduranya sungguh masih sangat kental. Meski di balik semuanya keinginan
untuk mendapatkan doa dan restulah yang sangat dia dambakan sehingga dijauhkan
dari segala musibah dan ambisinya untuk menjadi juara bertahan dan dipensiunkan
dengan gaji seumur hidup segera terwujud.
Tidak
sembarang dia menetapkan tiga malam yang dipilihnya untuk berkumpul. Dia
melakukan itu atas pertimbangan dari beberapa kiai yang berhasil didekati dan
juga beberapa dukun yang sudah dikontraknya. Malam Jumat, Malam Senin, dan
Malam Rabu. Malam Jumat adalah malam yang istimewa dan bertabur barokah, Malam
Senin malam kelahiran Nabi Muhammad dan tentu malam yang sangat istimewa, dan
Malam Rabu adalah malam kelahirannya ke dunia. Ritual yang dilakukan pun juga
beraneka. Malam Jumat mereka disuruh membaca surat yasin sebanyak empat puluh
satu kali disertai kemenyan yang dibakar dan diedarkan berkeliling kandang
sebanyak tujuh kali sesaat setelah bacaan selesai. Malam Senin mereka membaca salawat nariyah sebanyak
seribu tiga ratus kali dengan air kembang diletakkan di tengah-tengah
lingkaran. Air itu kemudian dicampurkan
dengan air sumur dan air tujuh sumber untuk dimandikan ke pasangan sapinya.
Malam Rabu mereka membaca surat Al-Mulk agar di pertandingan pasangan sapinya
menjadi penguasa di lapangan, Al-Dukhon supaya entakan kakinya mengepulkan debu
yang menghitam dan kencang pacunya seperti terpedo yang sedang mengguncang
bumi, Ibrahim agar pasangan sapinya kuat dan tegar, dan terakhir membaca
salawat taisir tiga ratus tiga puluh tiga kali.
Malam itu,
menjelang pertandingan akan dimulai, Supatlah tentu tersenyum lega. Tidak satu
pun penyusup yang berhasil masuk. Tidak sekali pun sihir menembus
pertahanannya. Semuanya telah berakhir dengan sempurna. Semua syarat telah dia
penuhi dan semua surat yang telah ditentukan beserta bacaan lainnya telah
diselesaikan dengan sangat baik. Semuanya dikerjakan secara tim dan tentu tidak
harus dicurigai karena sejauh Supatlah bersama timnya semuanya tercatat bersih.
Satu-satunya kesalahannya adalah tidak awas saat seorang kiai yang disoani
memberinya kenang-kenangan selimut lusuh yang terlipat rapi.
*****
Dua pasangang
sapi telah dipersiapkan. Lengking saronen membubung hingga ke langit.
Berdenging di setiap telinga penonton yang telah duduk riuh di tribun. Beberapa
kelompok petaruh membuat kesepakatan. Sementara beberapa kelompok lain sedang
ekstase meneriakkan yel-yel dan menyebutkan nama pasangan sapi idolanya masinsg-masing.
Supatlah tersenyum lebar. Suara guruh dari tribun yang mengelu-elukan pasangan
sapi angin ribut miliknya membahana memecah terik yang menukik, membuatnya semakin
besar harapan.
Di belakang
Supatlah, Sadellep ikut tersenyum. Senyum yang tidak satu pun dari tim Supatlah
paham maknanya. Dia tidak peduli terhadap gemuruh dan suara-suara pujian
terhadap tim dan sapinya. Yang dia tahu hanyalah sekelompok petaruh di pojok
barat laut sana. Sebentar lagi mereka akan segera bergembira dan meraup banyak
kemenangan. Dan seperti yang telah mereka janjikan, separuh adalah haknya atas
jasa-jasanya selama ini membawakan dukun pijat sapi Supatlah dari kelompok
mereka.
Dia telah
benar-benar berhasil meyakinkan Supatlah. Sebentar lagi kegembiraannya akan
benar-benar memuncak saat melihat cara berlari sepasang sapi Supatlah, saat
melihat ratusan orang terbungkam sambil menganga tidak percaya, saat melihat
Supatlah terdiam seribu bahasa dan mungkin menitikkan air mata. Dan dia
membayangkan, seseorang di tempat yang jauh akan berjingkrak girang. Seseorang
yang telah menyuruh petaruh itu datang dengan segepok uang taruhan, seseorang
yang juga telah memintanya menjadi senjata andalan, seseorang yang selama ini menyimpan dendam kepada Supatlah karena
istrinya yang sangat dicintai dibawa lari di depan matanya sendiri. Sangka,
paman Sadellep dari ibu yang tidak pernah diketahui Supatlah.
Gubeng adalah Kejuaraan
karapan sapi nasional. Pemenang tiga kali gubeng biasanya dipensiunkanoleh
pemerintah dan mendapat gaji selama hidupnya.
Tagenna Tengah, Juli 2018
*Khairul Umam adalah Sekjen MWC NU Gapura. Guru di MA Nasa1 Gapura dan Dosen INSTIKA Guluk-Guluk. Alumni
pascasarjananya UGM-FIB Antropologi. Tulisannya telah dimuat di media lokal dan
Nasional.
*Cerpen tersebut
tayang di Riau Pos Pada 24 Februari 2019
0 Comments