RUMAH yang berdiri kokoh di hadapanku sekarang sangatlah
megah. Bahkan aku rasa merupakan yang paling megah dan sangat mencolok bila
dibandingkan dengan rumah-rumah kecil yang nampak kumuh di sekitarnya. Pada siang
hari rumah itu indah sekali.
Lalbatti, demikian orang-orang menyebut rumah ini.
Halamannya luas dengan banyak pepohonan berdaun rimbun yang memberikan nuansa
teduh. Sebuah
kolam air mancur di tengah-tengah, diapit dua patung Ganesh. Di sekelilingnya adalah rumput hijau yang menghampar bak
permadani dengan aneka bunga warna-warni. Ada lily, krisan, sedap malam, mawar,
dan banyak lagi macamnya. Ada juga
melati yang menebar wangi ke segala penjuru, menyemak di sisi kanan dan
kiri teras.
Pada malam hari Lalbatti juga tak kalah indahnya. Bahkan
lebih indah lagi. Cahayanya begitu terang benderang. Seakan-akan bahan bangunan
rumah itu memang ribuan bintang, atau
paling tidak zamrud, safir dan mutiara. Bila lampunya dinyalakan akan terbias
cahaya kelap-kelip. Merah, biru, kuning, hijau, seperti pelangi. ”Sayangnya,
tak akan pernah ada pelangi di malam hari”, aku membatin.
Nyaris setiap saat dari rumah itu juga terdengar denting
harpa. Bahkan suara berbagai jenis alat musik khas India. Ditingkahi suara penyanyi
yang merayu bak alunan buluh perindu. Ada pula lantunan lagu-lagu yang mengalun
merdu dari piringan hitam. Karenanya, aku juga orang-orang di desaku menamainya
Swaarg. Benar-benar bayangan surga hadir ke dunia. Terlebih jika
dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Pemandangan yang cukup
kontras bila dibandingkan dengan desa kecilku, Viraar, yang terletak beberapa
kilometer dari pusat Mumbai, tempat di mana Lalbatti berada. Semua orang yang
pernah singgah atau sekedar lewat, pasti mengakui dan mengagumi keindahan
Labatti. Meskipun keindahannya masih sangat jauh untuk bisa menyamai keindahan
Taj Mahal di tepi Sungai Yamuna, Agra, yang konon merupakan persembahan cinta
abadi Shah Jahan dari Dinasti Mughal, untuk istrinya Arjumand, atau Mumtaz
Mahal.
Suatu waktu, saat aku dan keluargaku duduk bersama di
bawah purnama, aku pernah berkata, “Alangkah indahnya Lalbatti. Aku ingin
sekali masuk dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya”.
Noura adiku menimpali, ”Kalau aku ingin bermain di halamannya.
Kata teman-temanku di sana ada kolam air mancurnya.”
Amma menjawab seraya
membelai kepalaku lembut, “Firdaus lebih indah dari itu, sayang.
Sebenar-benarnya swaarg yang insyaAllah akan kita tempati”. Surga
Firdaus, itulah yang dimaksudkan Amma.
Sekali waktu Bauji pernah mengatakan padaku agar
aku menghapus keingin-tahuanku tentang Lalbatti, apalagi masuk ke dalamnya.
Lalu beliau memberitahuku dan Noura, bahwa Lalbatti bukan rumah yang pantas
dikunjungi orang baik-baik. Sebenarnya akupun tahu dari cerita orang-orang,
bahwa Lalbatti adalah sebuah rumah prostitusi yang sangat terkenal dan memang sudah
ada sejak puluhan tahun yang lalu.
Tapi kini aku benar-benar tengah berada di teras rumah
itu. Satu hal yang tak pernah ku alami walau hanya sebatas mimpi. Meski aku ingin
mengunjunginya, tapi ujaran Bauji sempat memupus keinginanku.
Ah, aku tak bisa menebak apa kata Sapna bila aku
bercerita tentang kunjunganku ke ’surga’ ini. Sapna si gendut yang selalu
memonyongkan bibirnya ke arahku, hanya karena makan spaghetti murahan oleh-oleh
ayahnya yang seorang pedagang minyak eceran di pasar desa. Apa kata Arjun,
Sunil, Gauri, Rima, dan Pinky? Bukankah aku hanya Aisha yang mereka juluki Putri
Abu. Julukan yang mereka berikan karena Amma-ku hanya seorang tukang
cuci, dan Bauji-ku tercinta hanya seorang buruh kasar di Chandi Chowk,
sebuah pusat perbelanjaan tradisional yang cukup ramai di Mumbai.
Oh, aku ingat. Rasanya ada juga yang tidak akan
menghinaku. Fathiya. Gadis manis berkerudung ikat. Dia tak pernah
mengolok-olokku. Mungkin karena aku dan dia sama-sama muslim. Dibandingkan
teman-temanku yang Hindu, Fathiya sangat baik. Hm, akan herankah ia bila aku
ceritakan padanya tentang pengalamanku di rumah ini? Rasanya begitu. Malahan
aku yang bagaikan tak percaya, karena
aku datang bukan hanya untuk melihat-lihat, melainkan mencari pekerjaan,
seperti yang ditawarkan Laksmi padaku seminggu yang lalu.
Aku melangkah masuk mengikuti Laksmi yang membawaku ke
rumah ini sambil menyapukan pandang sekeliling. Ayunan kakiku serasa tak
menjejak lantai. Mengambang. Laksmi sepertinya sudah mengenal seluk beluk rumah
ini, jadi aku hanya ikut seperi kerbau dicocok hidung, kemana saja ia menyeret
lenganku.
Kami berhenti di sebuah ruang besar ber-AC. Seorang
wanita cantik tengah duduk membaca koran di sofa yang empuk. Sebatang rokok
mengepulkan asap di bibirnya. Ia mendongak. Dandanan, pakaian dan perhiasannya
membuat mataku berkunang-kunang. Gemerlapan. Kapan ya aku melihat Amma berdandan
seperti dia? Tapi tak mungkin. Sangat tidak mungkin aku bisa melihat Amma seperti
dia. Karena Amma-ku… ah, sudahlah. Aku datang ke rumah ini bukan untuk
melukis imaji tentang Amma. Aku mencoba menepis kepiluan yang sesaat
tiba-tiba menyergap hadir tanpa ku undang.
“Namesti,
Shanti Bhai” Laksmi bersalam. Apakah dia
pemiliknya? Shanti Bhai. Aku mencatat namanya dalam hati.
“Hm…” Wanita itu hanya berdehem. Ih, kok begitu? Tapi
pandangannya berubah ketika ia melihatku. Ajeeb? Aku tak mengerti.
“Koi mil gaya, Shanti Bhai. Mere dosti”.
Laksmi berkata setengah berbisik. Ia menggamit lenganku, dan aku memahaminya
sebagai isyarat agar aku memperkenalkan diri.
“Mere nam, Aisha”, aku sedikit membungkuk. Kata
Amma begitu caranya menghormat yang lebih tua. Kalau kata Bauji sih,
asal sopan sudah cukup.
“Bagus, Laksmi! Temanmu ini cantik sekali. Kau cukup pintar
dan jeli juga”.
Cantik? Hidungku kembang-kempis. Selama ini yang mengatakan
aku cantik hanya Bauji. Katanya aku mirip Hema Malini bintang film
idolanya ketika muda. Tapi kata Amma, aku seperti Aisyah binti Abu Bakar.
Karena bila tersipu malu pipiku bersemu merah jambu.
“Kau sudah siap bekerja di sini?” Ia langsung berkata
tanpa lebih banyak basa-basi.
“Ji. Saya siap”.
“Bawa dia ke ruangan Pooja. Dia akan lebih cantik jika
bajunya diganti”, perintahnya, dengan pandangan yang seolah-olah sedang menilai
seluruh penampilanku.
Laksmi membawaku ke sebuah ruangan yang lebih besar lagi
dari yang tadi. Dinding kanan adalah kaca. Sedangkan di sebelah kiri
lemari-lemari besar berjejer. Ruangan ini, bisa tiga kali luas rumahku. Ada
banyak wanita cantik di sini. Ada yang merokok, memperbaiki dandanannya,
mengepas bajunya, anehnya kebanyakan baju mereka sangat pendek. Kalaupun mereka
memakai saree, tapi transparannya itu lho, minta ampun.
“Orang baru, Laksmi?”
“Ji”
“Tetanggamu?”
“Nahin, mere dosti”
Laksmi memilihkan untukku sebuah saree yang cukup
‘sopan’ dibandingkan yang lain. Tapi tetap saja aku merasa jengah. Lehernya
terlalu rendah. Kedodoran lagi. Sepertinya saree itu untuk ukuran
dewasa. Sedangkan aku baru tujuh belas tahun kurang dua bulan. Apalagi
perawakanku kurus sekali. Lumayan, saree ini harum sekali. Berbeda
dengan milik Amma yang bau asap. Amma lagi, ah….
Seorang wanita agak gendut. Mungkin dia yang bernama
Pooja, mendekat dengan membawa sebuah tas kecil. Dengan isi tas itu aku dipermak.
Bibirku diberi lipstick. Berat. Di kepalaku, tangan dan leherku, juga diberi
perhiasan. Kemudian ia menjelaskan tugasku. Cukup mudah. Hanya mengantar
minuman bagi para tamu yang tadi kulihat di ruang tengah, yag hampir seluas
gedung bioskop, waktu melintas menuju ruangan Pooja. Aku harus ramah, murah
senyum, sopan, lincah, dan memperlakukan para tamu dengan baik.
Beberapa saat berselang aku memulai pekerjaanku. Kagok
juga awalnya. Melangkah gemulai dan anggun, melempar senyum, menyuguhkan minum,
aku jadi ingat peran Aroona Irani sebagai pembantu genit dalam film Qayamat Se
Qayamat Taak yang ku tonton di rumah Pinky. Satu perasaan menyusup ganjil.
Pandangan tamu-tamu itu seperti menelanjangiku. Tamunya banyak sekali. Tidak
seperti Bauji yang jarang dapat tamu. Paling-paling Paman Khan dan Paman
Aamer. Tamu-tamu disini kebanyakan lelaki setengah tua, bahkan ku rasa ada yang
sebaya kakek Ahmed tetanggaku.
“Au!” aku memekik kaget. Seorang laki-laki tambun
berewokan berusaha menjawil daguku. Sebagian minuman tumpah ke kepalanya yang
botak karena elakanku. Sialnya, ia masih bisa menarik ujung saree-ku dan
menciumnya. “Harum”, desisnya seperti serigala. Aku tak habis pikir, kenapa
tamu-tamu yang lain malah tertawa?
“Pagal!” makiku dalam hati. Memangnya mereka tak
punya anak perempuan di rumah?
“Sabar, Takur Pratabh. Dia baru hari ini kerja”.
Syukurlah, Shanti Bhai tiba-tiba ada di belakangku. Aku segera beralih memberi
minum pada tamu yang lain tanpa menunggu percakapannya dengan si Tambun
selesai.
Hari-hari berikutnya, itulah pekerjaanku. Menjadi waitress
di Lalbatti. Tamunya tak henti. Tapi aku melihat Shanti Bhai selalu tersenyum,
apalagi bila ramai pngunjung. Sepertinya dia tak pernah merasakan capek.
Kalau boleh jujur, aku merasa tak nyaman bekerja disini.
Ini bertentangan dengan pandangan hidupku, agamaku, nasihat orang tuaku, ...
tapi aku harus bagaimana lagi? Gaji yang kudapatkan cukup lumayan untuk hidup sehari-hari bersama Noura. Walau
terpaksa, ku jalani saja. Aku tak punya pilihan lain.
Lama-lama aku pun terbiasa dengan ulah para tamu.
Terbiasa, maksudnya aku sudah bisa mengelak dengan sopan. Paling-paling mereka
mencoba pegang tangan. Mungkin mereka mulai mengerti karena aku hanyalah
pelayan. Tidak seperti gadis-gadis lain yang memang bekerja untuk menemani dan
memenuhi apapun yang mereka minta dengan imbalan sejumlah uang yang diterima
Shanti Bhai. Naudzubillah, semoga Allah selalu menjagaku, dan mengampuni
keterpaksaanku.
***
Sebenarnya aku bukanlah penduduk asli Virar. Aku
terlahir dari sebuah keluarga muslim di
Ayodhya. Ayahku berasal dari Lahore. Tahun 1989 kami pindah ke desa ini karena
menghindar dari kerusuhan antara pemeluk Islam dan Hindu. Islam memang agama
minoritas. Pemeluknya hanya sekitar 11,41 persen dari keseluruhan penduduk
India.
Orang-orang Hindu di India mengklaim masjid Babri Ayodhya
yang didirikan oleh Sultan Babur dari Dinasti Mughal pada tahun 1528 sebagai
milik mereka. Ini bermula dari izin
Perdana Menteri Rajiv Gandhi yang mengizinkan orang Hindu mendirikan kuil
disana. Kabarnya lokasi masjid adalah lokasi kelahiran Rama.
Di Viraar, orang tuaku mencoba membangun kehidupan baru.
Meski tidak berkecukupan, kami hidup bahagia.
Hingga sebuah peristiwa tragis terjadi. Aku dan Esha sedang
di sekolah ketika Bauji dan Amma mengalami kecelakaan. Mereka akan berkunjung
ke rumah Bibi Sayeeda di Poona. Namun belumlah samapi di tempat tujuan, sebuah
truk gandeng menabrak bis yang mereka tumpangi. Lima belas orang meninggal,
mereka diantaranya , dan lainnya luka parah. Tak ada purnama di kanopi langit
ketika jenazah mereka sampai di rumah. Esoknya, di tengah angin mousun yang
menderu, mereka dikebumikan dengan cara Islam. Kami yatim piatu dalam sekejap
mata.
Maka alunan symphonipun berubah elegi. Aku harus berhenti
sekolah. Karena itu jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Aku harus bekerja,
dan mengalah pada Noura untuk meneruskan cita-citanya. Bermacam-macam kerja ku
coba. Buruh cuci, tukang masak, tukang sapu,... hingga Laksmi menawariku pekerjaan
di Lalbatti. Katanya, ada lowongan untuk gadis muda sepertiku. Asal bukan
sebagai penghibur, aku menyanggupi, yang diiyakan Laksmi.
Hampir dua bulan aku bekerja di Lalbatti. Sampai sekarang
Noura belum tahu di mana aku bekerja. Aku hanya mengatakan aku hanya menjadi
pelayan di sebuah toko pakaian. Selama ini aku tidak mendapatkan kesulitan
berarti. Aku bekerja dari jam 1 siang dan pulang ke rumah menjelang tengah
malam. Aku bersyukur karena di Lalbatti aku bisa melakukan shalat `Ashar dan
Maghrib sehingga tak perlu pulang. Meski tak ada tempat khusus, aku bisa
melakukannya di kamar Bibi Reshma, tukang masak di rumah itu yang sudah
menganggapku sebagai anak sendiri. Mushalla tidak akan pernah ada di sana. Yang
ada hanya tempat ’sembahyang’. Tempat
yang ku maksud adalah sebuah altar pemujaan dengan patung Dewa Siwa. Pada
hari-hari tertentu aku melihat Shanti Bhai berdoa dihadapannya dengan khusuk.
Aku tak tahu, apakah prostitusi dihalalkan dalam agama hindu.
***
Pada suatu hari, aku merasa tidak enak badan. Aku
memutuskan untuk tidak masuk kerja. Tadi aku sudah minta izin melalui Laksmi.
Kepalaku benar-benar pusing. Pandangan berkunang-kunang bila aku melangkah, ulu
hati terasa nyeri dan rasanya selalu mual dan ingin muntah.
Aku beristirahat di kamar. Tapi tak bisa memejamkan mata.
Ada foto Bauji dan Amma tergantung di dinding, tersenyum manis sekali. Aku
rindu.
Di bawahnya, tepatnya di atas meja kecil tempat aku
menyimpan buku-buku pelajaranku dahulu, ada fotoku dan Noura.
Noura. Adikku yang cantik itu tentu sedang belajar di
sekolah. Ada rasa rindu datang tiba-tiba. Sepertinya sudah lama sekali aku
tidak punya waktu lama untuk berbincang dengannya. Pagi ketika aku di rumah, Ia
harus berangkat sekolah. Siang ketika Ia pulang, aku sudah berangkat kerja. Malam
ketika aku datang, ia sudah terlelap di kamarnya. Setelah mencium keningnya
lembut, biasanya aku shalat Isya` dan langsung tidur. Begitu terus. Pun hari
minggu, aku tidak libur. Bahkan hari minggu itu tamu sedang banyak-banyaknya.
Shanti Bhai tidak akan mengizinkanku minta libur. Katanya sih, aku pelayan yang
paling disukai di sana. Bagiku suka atau tidak, tidak terlalu penting. Asal
dibayar sesuai kerjaku saja. Walau sakit, sekarang aku bersyukur karena bisa
istirahat. Bekerja di Lalbatti juga sangat melelahkan.
Matahari tepat di atas rumah. Cahayanya menerobos celah
atap yang bolong. Perutku terasa lapar. Tadi pagi aku tidak memasak dan hanya makan
sedikit prata sisa semalam. Mencari makanan ke dapur akan sia-sia saja. Noura belum bisa memasak.
Aku paksakan diri keluar menuju warung terdekat untuk
beli makanan. Di sana aku banyak membeli makanan jadi. Mumpung aku di rumah,
aku ingin makan bersama Noura. Sebentar lagi ia akan pulang.
Aku meletakkan makanan di meja. Sambil menunggunya aku
putuskan untuk shalat dan tilawah terlebih dahulu.
Brakk! Suara gedubrak di luar menghentikan tilawahku.
Noura berdiri tegak dan menatapku tajam begitu melihatku
keluar dari kamar.
“Kya hua?” tanyaku heran. Matanya berkilat
memendam amarah yang tak pernah ku temui selama ini.
“Apa yang salah, Noura? Kenapa menatap Didi begitu?”
aku bertanya tak mengerti.
“Didi bohong”.
“Bohong apa?? Kamu baru pulang dan marah-marah. Didi
tak mengerti”
“Didi bilang menjadi pelayan di toko. Ternyata di Lalbatti.
Itu kan rumah prostitusi? Seumur-umur Bauji dan Amma tidak akan
memaafkan Didi jika tahu pekerjaan Didi”. Aku benar-benar kaget
dengan kalimat-kalimatnya.
“Didi tidak seperti yang kau kira, Noura. Didi
memang berbohong dengan mengatakan bekerja di toko pakaian. Tapi tugas Didi
benar-benar sebatas pelayan yang mengantarkan minuman. Tidak lebih”.
“Dengan membiarkan tubuh Didi disentuh
lelaki-lelaki tua itu?” Noura tersenyum sinis. Tas sekolahnya dilempar begitu
saja.
“Percayalah pada Didi, Noura. Semua ini pun
terpaksa Didi lakukan untuk kelangsungan hidup kita. Didi tidak
sekotor itu”.
“Sama saja. Didi menyaksikan maksiat itu setiap
hari. Bukannya mencegah, malah sengaja menyaksikannya setiap hari”.
“Didi bisa menjaga diri”.
“Menjaga diri? Lalu siapa yang kemarin malam bersama
Takur Pratabh? Sashi, anaknya adalah temanku. Tadi dia mencaci maki aku di
sekolah. Dia bilang, Didi perempuan murahan. Ayahnya pulang setiap malam
dengan mabuk dan menyebut-nyebut nama Didi. Ibunya sakit-sakitan”.
Rabb! Aku tidak
pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Takur bernama Pratabh itu memang
paling berambisi mendekatiku. Pada suatu malam ia mabuk berat. Hampir sepuluh
botol minuman keras yang kuhidangkan habis ditenggaknya. Ia mencoba menarik
pakaianku sehingga aku nyaris terjatuh dalam pelukannya. Untungnya aku mencoba
mempertahankan keseimbangan dan nampan berisi botol dan gelas lebih dulu jatuh
mengenai kepalanya yang botak. Aku segera berlari ke kamar, ganti baju dan berlari
pulang. Jika Sashi anaknya adalah teman Noura, itu bukan mauku.
“Aku menyesal makan dari uang haram selama ini. Tahu
begitu lebih baik Esha mati kelaparan. Aku malu, Didi. MALU PUNYA KAKAK
SEORANG PE.... !”
Plakk! Aku menampar Esha sebelum ia sempat menuntaskan
kalimatnya.
“Uang haram katamu? Kau akan mengatakan kakakmu seorang
pelacur?”
Kata-kataku meluncur begitu saja tanpa dapat ku tahan.
Aku tak pernah bisa menyangka bisa menamparnya. Tapi sakit ini terlalu
menyesaki hati. Aku menyayanginya. Mencintainya setulus hatiku, dan rela
berkorban apa saja untuk kebahagiannya. Tapi haruskah ini balasannya? Rabb,
mere ishq ko aise na tadpayee….
”Aku benci, Didi. AKU BENCI”. Noura menghambur ke
kamarnya.
Lupa pada sakitku, aku melangkah ke luar dengan marah
bercampur luka. Dukaku meruah membentuk aliran sungai di pipi tirus yang tak
sempat ku hapus. Aku berjalan tak tentu arah tanpa menoleh lagi. Di depan Noura
aku merasa statusku sebagai kakak tercampakkan
begitu saja. Tak dihargai, apalagi dihormati. Padahal segenap kasih sayangku
telah kucurahkan untuknya.
Tujhe har kushi dadhi laboon ke haseen dadhi. Mere dadhkan ko samjho? Tum bhi mujhse pyar
karta hoon., Noura…
Sia-sia saja rasanya apa yang aku lakukan. Untuknya aku
rela putus sekolah dan bekerja, dan untuknya pula aku menabahkan diri di Lalbatti.
Meskipun benar apa yang diketahuinya tentang Lalbatti, tapi tidak pernah merelakan diriku sendiri
menjadi pemuas nafsu di Lalbatti. Semua terpaksa. Tapi kenapa Noura tak bisa
memahami? Tuhan, Kau tidak akan pernah mengizinkan hamba-Mu menjadi pelacur,
bukan?
Saat gundah seperti ini, rindu rasanya pada Bauji dan
Amma. Kalau saja Bauji dan Amma masih hidup, mungkin semua luka tak akan terasa
sakit aku derita. Tapi menghadapi situasi seperti ini, bertengkar dengan adikku
sendiri, maka sungguh… kelelahan kini tak hanya mendera raga, tapi juga jiwa.
Entah sudah berapa jauh aku berjalan. Senjapun mulai berganti
malam.
“Hei, Aisha!” satu suara membangunkan aku dari lamunan.
Fathiya.
“Mau kemana sendirian? Kau tahu kan kalau Viraar di malam
hari tidak cukup aman untuk gadis secantik kamu?” Aku tersenyum. Lucu juga
mendengar pertanyaannya yang beruntun.
“Aku tak tahu harus kemana”
“Lho, kenapa bisa begitu? Kau kabur dari rumah? Sejak kau
berhenti sekolah kita lama tak bertemu, dan aku tak pernah mendengar kabarmu”
“Tak ada yang menarik dariku untuk kau dengar. Aku kotor,
aku tak ada harganya…”
“Hei, stop! Rupanya kau sedang suntuk, Kawan. Mau ikut ke
rumahku saja? Nanti kau bisa cerita gundah yang kau bawa jika itu kau rasa
perlu. Daripada berjalan tak tentu arah? Barangkali aku bisa membantu.
Setidaknya menjadi seorang pendengar yang baik.”
Akhirnya ku putuskan ikut Fathiya saja. Aku masih tak
bisa bertemu Noura dalam keadaan seperti ini.
Di rumahnya Fathiya menjamuku. Aku teringat makanan yang
kubeli tadi tadi. Orang tua Fathiya sangat ramah. Mereka nampaknya juga
sangat perhatian pada Fathiya, pada Royhan adiknya, atau juga pada Iqbal, kakak
Fathiya yang kuliah di Agra.
Setelah makan dan shalat, aku menceritakan semua yang
kualami sejak tak bertemu dengannya. Sejak kedua orang tuaku meninggal,
pekerjaanku di Lalbatti, dan pertengkaranku tadi siang dengannya.
“Aku tak menyalahkanmu, Aisha. Semua orang bisa saja
melakukan hal yang sama jika berada di posisimu”.
“Kalau aku tak sepenuhnya bisa disalahkan, kenapa Sashi
mengatakan aku pelacur? Dan adikku juga mengucapkannya padaku? Aku tidak
menjual diri, Fathiya. Percayalah, aku masih Aisha yang bersih”
“Aisha, kita sama-sama muslim, kan? Maka akan lebih mudah bagiku untuk mengingatkanmu bahwa Allah
melarang kita mendekati zina, apalagi melakukannya”
“Tum… kau juga menganggapku begitu?” Aku bangkit
tersentak.
“Nahin. Jangan salah mengartikan kata-kataku. Kau
ingat kata Ustadz Mahmood guru mengaji kita? Zina bukan hanya persetubuhan
antara laki-laki dengan perempuan. Ada zina panca indra, juga zina hati. Tidak
melakukan zina tapi berada di sekitar lokasi timbulnya zina, juga bisa membuat
kita digolongkan sebagai pelaku zina”. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan
uraian Fathiya yang panjang lebar.
“Lalu aku sebaiknya bagaimana? Di sana aku mendapatkan
gaji yang cukup lumayan. Kalau aku berhenti bekerja, bagaimana kehidupan kami?”
“Tanyakan pada hati nuranimu, Aisha. Tenangkah kamu
bekerja di sana? Ingatlah bagaimana sikap Noura setelah tahu pekerjaanmu.
Senangkah dia?” Aku terdiam.
“Jika perkataanku ada benarnya, kenapa tidak pindah kerja
saja?” Fathiya menambahkan setelah beberapa detik kami sama-sama terdiam.
“Di mana aku bisa cari kerja? Kau tahu, sekolahku saja
terputus”.
“Di mana, ya? Hmmm… aku ingat. Kemarin teman Amma-ku
mencari seseorang untuk menjadi penjaga tokonya. Teman Amma-ku itu
muslim juga. Keturunan Pakistan. Kerjanya paruh waktu, kok. Jadi kalau kamu
mau, kamu kan bisa kerja sambil meneruskan sekolah. Di Mumbai juga sih. Tapi
jaraknya jauh dari Lalbatti”. mata Fathiya berbinar-binar setelah merasa telah
memberi solusi terbaik atas kebingunganku.
Yup! Tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan. Malam ini
aku tertidur lelap di rumah Fathiya.
Esoknya Ia dan Ammanya mengantar aku ke rumah Zahra, nama
pemilik toko itu. Benar-benar toko pakaian. Tanpa banyak basa-basi, dia setuju
mempekerjakan aku di sana. Bahkan sekiranya aku tidak mempunyai tempat tinggal,
aku juga boleh tinggal di paviliun rumahnya. Rabb… mere syukriya.
Menjelang `Ashar, selepas shalat Dzuhur kamipun pulang.
Sesampai di rumah Fathiya aku tidak mampir dulu meski mereka menawarkan. Aku
ingin segera pulang dan bertemu Noura. Pasti adikku akan senang mendengar kabar
ini. Ah, semoga ia mau memaafkan kesalahan dan tamparanku kemarin.
Sore yang indah. Langit Viraar cukup cerah. Di ufuk barat
berhias rona merah saga. Pasti Noura sudah ada di rumah. Aku akan datang
meminta maaf padanya. Adikku sayang, hari ini Didi-mu mendapatkan
pekerjaan yang halal dan insya Allah penuh berkah seperti yang kau inginkan.
Langkahku terayun ringan. Atap rumahku terlihat dari
jauh. Semakin dekat. Sekilas Lalbatti melintas dalam ingatan. Cepat aku
menepisnya. Langkahku semakin ku percepat. Setengah berlari aku pulang. Tak
sabar ingin memeluk Noura dan menuntaskan rindu yang terpenggal karena
kesalahanku selama ini.
Aku melangkah dengan hati berbunga-bunga. Senyumku terus
merekah. Di perempatan jalan, seratus meter menuju rumahku, aku menyeberang
tanpa menoleh kiri-kanan. Tak ku sadari, sebuah mobil melaju kencang ke arahku.
Aku merasakan tubuhku membentur benda keras. Kemudian segalanya terasa begitu
ringan. Ku lihat Bauji dan Amma melambai penuh cinta ke arahku,
diantara kumpulan awan tipis yang berarak seperti kapas.
Keterangan:
Swaarg (India): Surga
Amma: Ibu
Bauji: Ayah
Namesti: Salam
Ajeeb: Aneh atau ajaib
Koi mil gaya: Saya menemukan seseorang
Mere dosti: Teman saya
Mere nam: Nama saya
Ji: Ya
Saree: Sari (pakaian khas India)
Pagal: Gila
Prata: Nama salah satu makanan khas India
Kya hua?: Ada apa?
Didi: Kakak
Rabb: Tuhan
Rabb, mere ishq
ko aise na tadpayee: Tuhan, ternyata
cintaku sarat kepedihan
Tujhe har kushi
dadhi laboon ke haseen dadhi: Telah ku
berikan kebahagiaan dan senyumku
Mere dadhkan ko
samjho?: Bisakah kau fahami getar jiwaku?
Tum bhi mujhse
pyar karta hoon, Noura: Aku mencintaimu,
Noura
Tum: Kau/kamu
Nahin: Tidak
Rabb… mere syukriya: Terima kasih, Tuhan
*Ida Ar-Rayyani memiliki nama pena Ar-Rayyani. Lahir di Lenteng Barang, Sumenep,
Madura, 20 Desember 1979.
*Cerpen ini adalah pemenang lomba menulis cerpen yang
diadakan oleh FLP Pamekasan yang bekerjasama dengan FKMSB (Forum Komunikasi
Mahasiswa Santri Banyuanyar) (circa 2009).
0 Comments