Pada
awalnya, orang-orang di kampung Matsura’i mempunyai kebiasaan ngopi di warung
setiap pagi menjelang berangkat ke sawah dan sore hari menjelang magrib tiba.
Tak jarang pula di malam hari. Mereka duduk di warung sambil ngobrol hingga
berjam-jam. Tak jelas apa yang sedang diobrolkan. Bagi mereka, terpenting
adalah kedamaian dan kegembiraan.
“Hidup
ini sudah begitu ruet jadi ngopi adalah cara melepas penat.”
Begitulah
ujar orang-orang setiap ada pertanyaan mengapa duduk di warung berjam-jam
dengan tema obrolan tak jelas. Yang pasti terjadi saat mereka berkumpul adalah
gelak tawa yang lepas dan bergelombang. Mereka bisa membicarakan hal-hal lucu
bahkan kejadian yang seharusnya mengerikan menjadi sebuah lelucon yang harus ditertawakan.
Di
warung, sambil bercerita dan menghabiskan kopi, mereka sudah biasa
mengembangkan imajinasinya hingga ke berbagai penjuru. Bahkan hingga ke langit
yang ketujuh. Dalam satu cerita misalnya tentang kecelakaan yang menimpa
Markiyem karena yang menyetir motornya tidak begitu fasih mengendarai kendaraan
bermotor dan menyebabkan menyeruduk salah satu rumah warga, mereka
mengembangkan imajinasinya ke berbagai sudut pandang. Ada yang berusaha menggambarkan
proses kejadian motor itu menyeruduk rumah begitu heroik seperti dongeng-dongeng
pahalawan yang sakti mandraguna hingga salah satu pintu rumah itu bobol sama
sekali namun tak sedikit pun pada motor itu yang cidera. Ada yang berimajinasi
bagaimana Markiyem, anak Pak Mattasan yang cantik dan aduhai itu, terjatuh dan
telentang begitu saja dengan rok terangkat hingga hampir ke paha dan lekuk
tubuhnya yang molek dan bahenol mulai mengundang gairah hingga orang-orang
berebut membopongnya—lebih tepatnya, menikmati keindahan tubuhnya. Ada yang
berimajinasi orang-orang yang sibuk lalu-lalang menolong mereka yang sedang
butuh pertolongan segera dan dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun di antara
orang-orang yang sibuk itu terlihat seorang laki-laki yang mendekati Markiyem
dengan segera dan membopongnya entah ke mana. Sepertinya dia tidak bermaksud
menolong sepenuhnya, dia hanya ingin mengambil kesempatan merasakan tubuh
perempuan belia yang begitu aduhai dan mempesona. Setidaknya beberapa detik
saja. Dan entah apa lagi.
Yang
jelas, dari satu cerita itu ada banyak tanggapan dan celetukan yang pada
akhirnya gelak tawalah yang menjadi titik penghabisan. Lalu mereka kembali
menghabiskan cerita yang menimpa Markiyem dengan berbagai bayolan dan celetukan
genit khas bapak-bapak sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Memang rata-rata
imajinasi mereka hampir sama: agak seronok dan bernuansa cabul. Tapi, itu hanya
sebatas imajinasi. Bagi mereka tak boleh hal najis itu terjadi dalam dunia
nyata. Sebagai masyarakat biasa yang ditempa oleh agama dan ganasnya terik matahari,
mereka selalu hati-hati dalam bertindak yang menjadi tabu di tengah-tengah
masyarakat. Bagi mereka, tampil vulgar dengan hati sebening kapas itu lebih baik dari
pada berpura alim tapi hatinya cabul apa lagi munafik.
Jika
malam hari, mereka biasanya bermain domino atau remi. Tak jarang permainan itu
berakhir dini hari. Saat ayam mulai berkoko saling sahut atau bunyi jangkrik
semakin nyaring di telinga karena hampir semua bunyi-bunyian sudah istirahat.
Setelah
mereka pulang, pikiran dan tubuh sudah terasa lebih ringan dan lebih baik dari
sebelumnya. Seakan segala beban tak pernah ada dan keruetan hidup yang dialami karena
kesulitan mendapatkan rezeki setiap hari untuk dimakan dan jajan anak-anaknya
sekaligus perlengkapan bersolek istrinya menjadi begitu ringan.
Jika
mereka sering berolok bahkan kepada sebuah peristiwa yang mestinya perlu dikasihani,
bukan berarti mereka tak punya perasaan atau cuek begitu saja. Itu semata
hanyalah cara mereka untuk menyegarkan pikiran dan melepas segala penat yang sudah
membebani mereka selama seharian. Olokan dan lelucon yang sering mereka buat
hanyalah sebatas kalimat yang keluar dari mulut dan menghilang ditiup angin
beriring bubarnya mereka dari warung tersebut secara teratur.
Empati
mereka cukuplah tinggi. Mereka selalu merasa bersaudara terhadap warga
sekampunya bahkan kepada seorang pendatang yang baru saja mereka kenal. Maka,
tidak heran jika di kampung tersebut jarang petani menggunakan jasa pekerja.
Semuanya dikerjakan bersama dengan cara gantian. Tak ada yang merasa iri
terhadap tetangga dan teman seperjuangannya jika kebetulan salah satu dari
mereka lebih berhasil. Tak ada yang suka sombong dan menganggap dirinya paling
benar karena paling pandai atau paling berjaya. Mereka sadar bahwa hidup itu
butuh bersama dan kerja sama. Maka, menganggap semuanya sama itu adalah jalan
terbaik. Jangankan berkoar-koar di jalan-jalan yang justru menghambat urusan
orang lain yang tak berkepentingan, bagi mereka saling tolong, saling bantu,
merayakan maulid ketika Rabiul Awal tiba dan memberi sekadar sedekah kepada
warga yang hadir adalah kegiatan rutin dan sudah dianggap cukup.
Mereka
sama sekali tak pernah mempersoalkan hal-hal kecil yang dibesar-besarkan.
Apakah setiap hari Jumat ke Masjid atau tidak, apakah ikut banyak kumpulan atau
tidak, apakah salat lima waktunya bolong-bolong atau tidak. Terpenting adalah
berkumpul dan saling menggembirakan antar sesama. Mereka tak mudah saling
curiga dan menuduh. Kejadian yang aneh dan tak seluruhnya dimengerti lebih baik
didiamkan dari pada mengundang kemarahan dan keruwetan yang lebih lanjut.
Intinya, bagi penduduk di kapung itu cukuplah mencari nafkah untuk keluarga
yang dirasa ruwet, selebihnya haruslah menjadi hiburan dan pelepas penat.
*****
Suasana
ngopi di warung mulai berubah sejak hadirnya sebuah layar tipis yang mampu
menghipnotis siapa pun yang melihatnya. Setahu Matsura’i peristiwa ini
berlangsun sekitar sejak setahun lalu. Awalnya, beberapa orang laki-laki dan
perempuan datang dan menawarkan layar pipih itu sambil memberikan penjelasan
pada pemilik warung dan orang-orang yang sedang ngopi di sana dengan berbusa
dan bahasa yang indah. Katanya, di layar itu mereka akan melihat semuanya.
Jangankan sekadar sawah, bahkan kota-kota dengan bangunan menjulang tinggi dan
berbagai peristiwa yang tidak terduga bisa muncul hanya dengan memencet tombol
on dan salah satu angka yang tertera di remot kontrol.
Maka,
mulailah dipasang layar-layar itu. Hampir semua warung secara serentak
memasangnya dengan maksud membuat pelanggan bertambah betah dengan berbagai
hiburan yang disediakan seperti saat kali pertama dicoba. Hasilnya, terbukti
manjur. Orang-orang mulai semakin betah dan beberapa anak muda juga menjadi
salah satu pelanggan baru di setiap warung yang ada. Hasil penjualan kopi
meningkat drastis dan pemilik warung bisa tersenyum lega.
Namun,
sejak saat itu Matsura’i mulai mengendus sesuatu yang kurang baik. Orang-orang
memang semakin ramai dan lebih betah dengan menonton film yang dibuat
bersambung, berbagai lomba menyanyi, film silat, dan sesekali berita yang tak
disukai. Namun cerita-cerita lucu sekaligus tragis yang memaksa mereka yang
berkumpul tertawa sudah mulai menghilang. Mereka duduk dengan teratur, minum
kopi dengan teratur dan menatap layar empat belas inci dengan teratur. Sesekali
mereka tertawa namun bukan untuk semua. Mereka hanya tertawa sendiri-sendiri
saja yang kebetulan berberegan. Lalu, mereka pulang dengan teratur tanpa
meninggalkan bekas apa pun kecuali kekesalan di hati karena aktor kesukaannya
kalah dalam laga yang baru saja ditonton atau karena seorang gadis cantik yang
dielu-elukannya tak bisa lagi diihat karena fimnya telah usai. Ada juga yang
tetap ketawa-ketiwi atau tersenyum tipis saja. Entahlah apa yang sedang mereka
pikirkan. Semuanya menjadi serba individu dan tak ada boleh mengganggu.
Awalnya
Matsura’i cuek saja. Baginya ngopi adalah ritual yang tetap harus dilaksanakan
tiga kali sehari dan berkumpul dengan teman-temannya yang mengurangi komunikasi
gara-gara tontonan televisi yang selalu menarik hati dia nikmati sebagai
sesuatu yang baru dan mungkin saja dia butuh beradaptasi. Namun, dua minggu
belakangan ini dia mulai risih. Televisi selalu dipehuni gambar-gambar
sekumpulan orang yang berjubel dan mengancung-acungkan tangan terkepal ke atas
sambil teriak-teriak tak jelas. Wajah-wajah mereka memerah. Tak ada tawa. Hanya
sumpah-serapah yang keluar bagai badai. Hanya sumpah-serapah yang sesekali
diselingi teriakan lafal-lafal Alquran atau takbir.
Dia
menghitung-hitung kalimat-kalimat tayyibah yang selalu dia dengar setiap mereka
berkumpul begitu, hampir setiap hari dan itu terjadi di berbagai tempat.
Kalimat-kalimat itu sungguh begitu familiar di telinganya. Takbir itu sudah
menjadi ritualnya sejak ngaji ke Ke Nadzar di langgar dulu. Tapi semua itu dia
lakukan dengan kusuk setelah salat lima waktu atau saat tahlilan di tempat
tertentu. Sama sekali dia tak pernah berpikir bahwa kalimat-kalimat itu akan
bergaung di tengah jalan dengan kondisi wajah memerah dan penuh amarah
diselingi caci-maki dan sumpah-serapah.
Sepertinya
film percintaan dan cerita silat atau lomba bernyanyi dengan serentak ditutup. Setiap
channel di televisi menampilkan acara yang sama. Caci maki, takbir, nukilan
hadits, dan sudah tentu potongan ayat Alquran. Entah mengapa semuanya serentak
menyiarkan. Yang jelas, menurut pandangan Matsura’i, sejak saat itu suasana di
warung sangat berbeda. Tak ada gelak tawa, tak ada canda, tak ada kegembiraan
dan kekesalan yang dipendam. Pengunjung warung serentak menyaksikannya dengan
wajah terbengong, mata melotot tajam, napas memburu keras, dan dahi mengernyit
kuat.
Pelan-pelan
orang-orang mulai curiga terhadap yang baru. Keruwetan tidak hanya berada pada
nafkah tapi sudah mulai menjangkiti semua lini detak napas kehidupan mereka.
Kata kafir mulai mereka kenal dan dieja perlahan hingga mulai dilekatkan kepada
siapa dan apa pun yang baru. Mereka mulai serba waspada. Caci maki diam-diam
mulai terlontar. Pada mulanya pada orang baru yang tidak dikenal, berlanjut
kepada kepala desa mereka, berlanjut kepada camat, berlanjut kepada bupati,
berlanjut kepada presiden dan entah kepada apa lagi. Bahkan, satu keluarga bisa
saling caci karena beda pandangan dan tuduhan kafir mulai saling dilekatkan.
Sejak saat itulah tak ada lagi tawa yang terdengar renyah dan menggema.
Hidup
semakin panas, sepanas kopi yang baru saja selesai diseduh. Matsura’i hanya
terdiam dan merenung di musalah peninggalan ayahnya. Dia berpikir keras mengapa
tiba-tiba orang-orang menjadi seganas ini. Padahal tak satu pun leluhur mereka
mengajarkan cara bertengkar. Ah, dalam tafakurnya dia bersumpah, sampai kapan
pun dia tak akan pernah membeli makhluk yang bernama televisi. Ialah yang
menyebabkan semuanya kacau dan kehidupan tak terkendali. Saat ini sebagain
besar warga di desanya telah berangkat ke Ibu Kota untuk mengikuti demo akbar
menghujat pemerintah dan siapa saja yang berseberangan dengan mereka.
Dalam
kekhusuan termenungnya, tiba-tiba ada yang menguluk salam dari belakang.
Ditolehnya segera. Dua orang laki-laki dan perempuan dengan seragam yang sama
sambil menjinjing seuah layar empat belas inci sedang tersenyum indah.
Sumenep,
November 2018
*Khairul
Umam adalah Sekjen MWC NU Gapura. Mengajar di MA Nasa1 Gapura dan IST
Annuqayah. Menulis sejak duduk di bangku MA dan bergabung dengan beberapa
komunitas di antaranya Komunitas Kobhung, Lentera, Kaleles, MSP, dan Biru Laut.
Tulisannya telah dimuat di media lokal dan Nasional.
*Cerpen
ini pernah tayang di Minggu Pagi (TT)
0 Comments