HELAI-HELAI daun gugur menyapa hamparan tanah
yang kering-kerontang. Daun itu melayang-layang tertiup angin kering sebelum
akhirnya benar-benar bermesra dengan tanah: berguling-guling dan menyatu.
Beberapa burung terbang rendah mencari tempat berteduh paling aman. Mereka
melindap sebelum kembali terbang. Rupanya, matahari dan udara tak cukup ramah
untuk sekawanan burung yang butuh istirahat tenang.
Di antara jejeran pohon yang mulai
tinggal batang dan cabang, Kiai Sa’dullah melihat liukan bayang-bayang
fatamorgana. Sesekali ia seperti air yang sedang menggenang namun sering kali
seperti api berkobar datar. Beberapa orang berjalan menunduk di bawah topi
jeraminya yang lebar. Langkahnya terseok dan letih. Mereka berteduh di bawah
rumpun bambu yang juga hampir tinggal batang.
Jam di dinding baru menunjuk pada angka
sepuluh. Sepagi ini cuaca sudah begitu
menukik dan menyengat. Ah, sungguh keadaaan yang langka. Batin Kiai
Sa’dullah sambil menggelengkan kepala pelan dengan mulut terus beristighfar
tanpa jeda.
Kemarau ini memang begitu kering dan panjang.
Tanda-tandanya sudah dirasa sejak awal oleh sebagian besar warga. Pada awalnya,
kemarau kering memang dianggap anugerah. Warga yang mayoritas petani
menganggapnya sebuah berkah. Sebagai penghasil tembakau yang dipasok ke semua perusahaan
rokok, tentu akan menambah pemasukan warga. Tembakau yang melimpah dengan
kualitas prima akan jadi sandaran. Namun tidak semua yang direncanakan berjalan
sempurna.
Harga tembakau melorot tanpa sebab.
Gudang-gudang begitu cepat tutup sebelum semuanya terserap. Tengkulak ingkar janji untuk membayar tembakau yang
telah ditanggap dan dipasok ke gudang. Utang menumpuk. Semuanya menyatu dan
membuat petani hampir frustasi. Harapan satu-satunya adalah hujan. Setidaknya
mereka akan segera menanam padi, jagung, cabe, dan beberapa tanaman lainnya
untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian dijual untuk dibelikan kebutuhan
sehari-hari.
Namun sampai detik ini, hujan itu
seperti enggan bertandang. Pernah sekali hujan dan setelah itu tak lagi ia
berkabar. Malah semakin hari matahari semakin terik dan panas itu semakin menghunjam.
Tanah-tanah pecah, benih jagung yang terkadung ditanam hangus, udara gersang,
dan persediaan air dalam sumur mulai berkurang.
Sudah Desember. Perkiraan BMKG tentang
hujan badai tak juga membuahkan hasil. Masyarakat mulai menggerutu. Namun pada
siapa harus dialamatkan, mereka pun tak paham. Mereka hanya bisa mengeluh
sesama warga setiap pagi di warung-warung kopi tempat biasa nongkrong. Para
istri pun mulai ngomel-ngomel tak jelas dan yang menjadi sasaran adalah
suaminya sendiri meski sebenarnya mereka juga tak tahu apa-apa.
Kiai Sa’dullah termangu sepi. Dia masih
belum bisa memutuskan apakah salat istisqo’ akan segera dilangsungkan atau
masih akan ditunda. Dia memang sedih melihat kenyataan yang terjadi di depan
matanya sendiri. Namun dia masih ragu pakah salat yang hendak dilaksanakan akan
benar-benar mustajab dan mendapat sambutan di lauhul Mahfud sana? Entahlah.
Petuah sesepuhnya yang sempat dia dengar
dari masa kemasa masih terngiang. Dia yakin petuah itu benar. Alam ini hanya merespon, semuanya bergantung
sikap manusia pada diri, alam dan Tuhannya. Maka, kemarau kali ini tentu
diakibatkan oleh manusia sendiri. Namun apakah dia harus tetap membiarkan saja?
Ini merupakan tantangan tersendiri baginya sebagai seorang yang ditokohkan.
Meski usianya terbilang sudah sepuh, dia
terus mengikuti perkembangan terkini lewat koran langganan yang tiba setiap
pagi. Sesekali dia juga ikut berdiskusi dengan beberapa orang yang sempat
bertamu ke rumahnya. Dia paham bahwa penebangan hutan kian beringas,
pembangunan gedung-gedung perkantoran dan industri juga tak jarang mengorbankan
tanah produktif warga, penambangan besar-besaran menguras habis penyimpanan air
di bawah tanah, dan manusia sudah hampir tanpa aturan agama. Kejadian-kejadian
ini tentu saling bertaut dalam perubahan-perubahan musim yang kian absurd.
Dua hari lalu perwakilan warga
mendatangi dirinya. Mereka meminta untuk segera mengadakan permohonan kepada
Tuhan agar hujan segera diturunkan. Waktu itu, dia hanya tersenyum dan
mengangguk lirih sambil menjanjikan waktu pada mereka untuk datang kembali.
*****
Dia terperanjat. Dipandanginya jamaah
Jumat yang membeludak. Tak hanya sisi dalam dan amperan yang tersi bahkan
halamannya pun hampir penuh. Dia tak menyangka kalau masyarakat akan begitu
kompak. Bagaiamana tidak, selama ini masjid itu tak pernah penuh. Ia hanya
terisi bagian dalam dan sebagian amperan. Selebihnya lengang.
Dia tersenyum tipis sambil memalingkan
wajahnya ke bawah untuk menghindari tatapan aneh dari jamaah. Dia tahu, untuk
mengumumkan salat peminta hujan ini sebenarnya tak harus Jumat namun dia juga
sangat paham bahwa masyarakatnya pemalas. Mereka lebih memilih berlama-lama di
ladang masing-masing dari pada salat Jumat. Mungkin mereka terpaksa. Ah, biarlah. Dia membatin. Kadang untuk kebaikan bersama butuh sebuah keterpaksaan
kecil. Dia kembali membatin sambil memperbaiki cara berdirinya.
“Hadirin jamaah Jumat yang saya muliakan.”
Dia menghentikan kalimatnya untuk mengambil napas dan mengedarkan pandang. Dia
ingin memastikan bahwa yang hadir benar-benar menginginkan hujan. Dia ingin
memastikan bahwa masyarakat bersungguh-sungguh dalam menjalankan ritual.
Terlebih dia ingin memastikan tak akan ada lagi kemalasan dalam beribadah
setelah ritual ini dilaksanakan dan hujan benar-benar datang.
“Sudah saya pikirkan matang-matang dan
sudah saya putuskan bahwa hujan memang sudah waktunya dimohon. Jangan sampai
kekeringan ini berlanjut hingga begitu lama. Maka dari itu, saya perlu bertanya
kepada kalian. Apakah kalian sanggup untuk melaksanakan?”
“Sanggup..!” Suara koor terdengar datar
dan sedikit bergelombang.
“Baiklah kalau begitu. Saya harap tak
usah ada pertanyaan. Ini untuk kemaslahatan kita semua. Tinggal kita laksanakan
sebaik mungkin dan sesempurna mungkin.”
Diam.
“Lima hari lagi kita harus berkumpul di
lapangan desa untuk melaksanakan salat istisqo’. Saya harap laki-laki dan
perempuan semuanya kompak. Kebersamaan kita adalah bukti bahwa kita benar-benar
butuh.”
Kembali hening. Kiai Sa’dullah
mengedarkan pandangannya pada hadirin yang duduk menunduk. Mereka menekuri
lantai masing-masing.
“Namun ada beberapa hal yang perlu
kalian kerjakan sebelum salat ini dilakukan. Pertama, mulai besok kalian harus
puasa selama tiga hari berturut-turut. Kedua, kalian harus perbanyak membaca istighfar
selama puasa. Ketiga, kalian harus rajin salat lima waktu. Keempat,
persiapkanlah bibit pohon tiga buah dalam
satu kelaurga. Kelima, datanglah ke lapangan pada hari Selasa dengan memakai
pakaian serba terbalik.”
Hening. Semuanya sibuk menekuri lantai
di depan masing-masing.
*****
Kiai Sa’dullah sadar bahwa apa yang
diperintahkan kepada warga tidak semuanya syarat salah istisqo’. Dia sengaja
menambah permintaannya untuk salat lima waktu dan membawa bibit pohon sebagai
antisipasi.
Dia tidak yakin warga yang selama ini
lebih banyak acuh untuk beribadah akan melaksanakan syarat yang agak
memberatkan seperti puasa di tengah terik yang menghunjam. Dia juga tak yakin
warganya akan memperbanyak istighfar sebagai permohonan ampun atas segala
kekhilafan mereka selama ini. Dia benar-benar tak yakin. Namun, memang masih
mungkin mereka akan melaksanakan segala permintaannya karena keadaan genting
bisa saja membuat orang tiba-tiba beriman. Dia tak memungkiri itu semua.
Salat lima waktu dia minta agar warga
yang sudah mulai asing dengan kewajibannya sebagai makhluk untuk beribadah bisa
kembali diingatkan. Tiga bibit pohon sebagai bentuk kepedulian lingkungan. Dia
sudah merancang dengan saksama bahwa setelah salat istisqo’ nanti warga akan
digiring ke ladang mereka masing-masing untuk menanam pohon tersebut. Setidaknya
pemanasan global bisa berkurang dengan semakin banyak tumbuhan yang menaungi
kampung ini. Mungkin lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Tak mengapalah. Dia membatin.
Sepagi itu, orang-orang sudah berkumpul
di lapangan yang telah ditetapkan. Udara berembus gersang dan gerah membuat
orang-orang menderita. Mereka mulai berbaris rapi dengan posisi laki-laki di
depan dan perempuan di belakang. Baju dan mukenah yang mereka pakai sudah
terbalik sejak dari rumah masing-masing. Bibit-bibit pohon yang berderet di
kiri kanan jamaah melambai indah seperti sedang tersenyum pada barisan warga
yang berdiri dengan wajah benar-benar merasa berdosa.
Kiai Sa’dullah melihat mereka dengan
cermat. Dia memastikan semuanya telah siap. Tatapan teduhnya terus saja mawas.
Sesekali dia tersenyum simpul dan berdecak kagum. Ah, hatinya menangis melihat lautan
manusia berdiri menunduk tak berdaya. Mereka sedang berbondong-bondong ingin
menghadapNya untuk sekadar meminta belas asihNya. Andai saja… Dia kembali membatin.
Namun ada yang mengganjalnya untuk
tersenyum puas. Dia coba ingat-ingat. Hingga orang-orang yang hadir memandang
heran karena berdiri tanpa gerak, dia baru sadar bahwa sebentar lagi kampunya
akan segera dilintasi pembangunan jalan tol yang diproyeksikan untuk pariwisata
besar-besaran. Ah, sawah ini, ladang ini, rumah-rumah ini apakah akan tetap
berdiri tegak tanpa diganggu siapa pun? Atau berakhir dengan penggusuran-penggusuran
seperti di tempat-tempat lain? Dia hanya bisa menggeleng pelan dan berbalik
menghadap kiblat.
Pelan-pelan air matanya jatuh saat sujud,
persis saat rintik-rintik hujan mulai menyapa tubuh-tubuh lusuh itu, menyapa ladang yang kerontang itu, dan
memeluk udara yang kering itu. Lalu deras dan semakin deras diiringi
dzikir-dzikir panjang dan penanaman bibit-bibit pohon sebagai tanda bersyukur.
Mata kiai Sa’dullah sembab di guyur hujan dan tersenyum simpul meski tak ada
yang bisa menafsirkan arti senyumnya itu.
Gapura, Desember 2019
*Khairul
Umam adalah Sekjen
MWC NU Gapura. Mengajar di MA Nasa1 Gapura dan IST Annuqayah. Menulis
sejak duduk di bangku MA dan bergabung dengan beberapa komunitas di antaranya
Komunitas Kobhung, Lentera, Kaleles, MSP, dan Biru Laut. Tulisannya telah dimuat di media lokal dan
Nasional.
*Cerpen ini
tayang di Republika pada tanggal 29 Desember 2019.
0 Comments