SETELAH menempuh
jalan dusun yang aspalnya banyak yang kocar-kacir, akhirnya Muni tiba lagi di
gedung sekolah bercat hijau itu—tempat dirinya mengajar. Tas lusuh yang biasa
ia gendong ke sekolah mencuatkan ujung buku yang pojoknya banyak terlipat.
Meski honornya hanya 150.000 rupiah per bulan, tapi tak menyusutkan niat
dirinya untuk datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Sebagai penebus kekecewaan
istrinya yang kadang marah-marah karena uang belanja kurang, sepulang mengajar
ia akan keliling kampung, menawarkan jasa sebagai pemetik buah kelapa, melawan
cuaca, menaklukkan ketinggian dengan tubuh gemetar dan menempuh kulit kasar
pohon yang siap menggiris betis.
Seperti biasa,
setiba di sekolah, ia memarkir motor tuanya di samping kantornya yang kecil dan
rapuh. Beberapa siswa yang mengenakan seragam putih-dongker itu menyambut
kedatangannya dengan gembira, mereka berebut mencium tangannya. Sedang beberapa
siswa yang lain ogah untuk bersalaman, bahkan sebagian tetap bergurau, main
kejar-kejaran sambil berteriak-teriak dan saling lempar, tak peduli Muni
melintas di dekatnya.
Sebelum masuk
kelas, sejenak Muni duduk mengipasi wajah dan lehernya dengan selembar kertas.
Kerah bajunya dibiarkan agak terbuka, hingga terlihat keringat yang bercucur
mengkilap. Ia bersyukur masih bertahan mengabdi di lembaga swasta yang ada di
dusun itu meski harus berhadapan dengan banyak hambatan; akses jalan yang
sulit, sarana dan prasarana yang kurang memadai, ditambah lagi banyaknya siswa
yang nakal, tapi tak terasa sudah tujuh tahun ia mengajar di sana, tak peduli ada
imbalan atau tidak, niat utamanya hanya ingin mencerdaskan siswa sekaligus
mengarahkannya menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
Bel yang terbuat
dari kaleng bekas dipukul berkali-kali oleh seorang petugas. Siswa-siswi
berhamburan menuju kelas dengan langkah setengah tergopoh. Beberapa di
antaranya, tergesa menghabiskan jajan mereka hingga bibirnya naik-turun. Muni
haru melihat siswa-siswinya itu. Meski usianya sudah tingkat tsanawiyah atau
setara SMP, tapi mereka masih polos, dalam arti tak sepenuhnya tahu tentang
kerumitan dan tantangan dalam hidup yang kadang membuat air mata mengucur. Muni
hanya berdoa dalam dadanya, semoga anak didiknya itu kelak akan jadi orang
beruntung, hidupnya tidak susah dan bermanfaat bagi orang lain.
Sebelum masuk
kelas, sejenak ia berdiri di depan cermin. Menghapus titik air mata harunya
yang sebelumnya tumpah, lalu meraih tas lusuhnya, menuju kelas dengan ucap
basmalah.
Pagi itu ia
mengajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 7. Setelah mengawali pelajaran
sesuai RPP, ia lanjut menerangkan materi. Siswa perempuan yang duduk di deret
bangku kanan duduk rapi dengan mata tertuju ke depan, hanya sebagian yang
terlihat bisik-bisik di belakang. Sedang siswa laki-laki hanya sebagian yang
memperhatikan pembicaraan Muni, mereka lebih suka bergurau dengan gerakan yang
sering menggoyang bangku hingga berderit, atau dengan suara nyaring dan gaduh,
bahkan beberapa di antaranya mencibir penjelasan Muni. Muni menegur mereka
dengan cara halus, mereka pun tenang sejenak, tidak sampai lima menit kegaduhan
kembali terdengar. Kelas seperti suasana pasar: Muni berbicara sendiri seperti
penjual jamu dengan loudspeakernya dan anak didiknya juga berbicara
sendiri seperti para pembeli yang terlibat tawar-menawar.
“Anak-anak, coba
perhatikan apa yang kujelaskan. Biar kalian paham dan nanti setelah ujian tidak
kebingungan. Kamu ingin naik kelas dan ingin nilai yang baik kan?” Muni kembali
mengatur suasana sembari maju beberapa langkah hingga berdiri tepat di
tengah-tengah siswa.
“Jika
menginginkan nilai yang baik, ayo perhatikan!. Jangan berbicara sendiri dan
bergurau,” imbuhnya sambil kembali maju ke depan kelas.
“Saya tidak
ingin nilai baik, Pak!”
“Saya juga ingin
nilai buruk, Pak. Tidak apa-apa meski tidak naik kelas.”
“Saya juga
begitu, Pak!”
Muni berdiri,
memandangi mereka satu per satu. Ia berusaha meredam emosi di dadanya, seraya
menggelang dan melafalkan doa.
“Apa kalian
tidak ingin ilmu yang bermanfaat? Yang juga bisa berguna bagi orang lain dan
kelak bisa menyelamatkanmu dari api neraka?” tanya Muni menggunakan pertanyaan
yang mengacu pada prinsip hidup yang lebih dalam.
“Tidaaaak, Pak.
Ilmu tidak penting.”
“Iya. Banyak kan
orang sekolah jauh-jauh, pulangnya hanya jadi ketua kelompok tani.”
“Hahaha!.”
Muni mengelus
dada. Meredam emosinya agar ketulusannya tetap bersemi. Ia melanjutkan
pelajaran meski kelas tetap layaknya pasar. Ia kasihan kepada siswanya yang
tunduk dan sebenarnya ia juga mendoakan agar siswanya yang nakal segera insaf.
Materi terus
berlanjut, kegaduhan juga berlanjut, disertai kata-kata yang kadang menykiti
perasaan Muni, bahkan kadang ada yang melemparnya diam-diam. Tapi Muni tetap
tulus dan berusaha menyadarkan mereka perlahan, meski tak jarang ia pulang
dengan rasa pusing dan setiba di rumah, istrinya sering meminta Muni berhenti
saja mengajar dan lebih fokus bekerja.
“Guru seperti
Mas Muni tak ada yang peduli. Honornya sedikit. Kalau ada bantuan, persyaratan administrasinya
menumpuk, itu pun belum tentu Mas tidak lolos. Lebih baik bekerja saja seperti
tetangga kita itu. Mereka kaya-kaya, Mas,” ucap istrinya suatu waktu.
“Ma! Saya
mengajar tidak semata mengharap harta. Mendidik anak-anak adalah pekerjaan
mulia. Meski para tetangga kita kaya itu tidak ada artinya jika anak-anak
mereka bodoh, makanya aku mengajari anak-anak mereka, Ma.”
“Hmm, anak-anak
mereka Mas Muni yang ngajari, orangtuanya enak cari duit. Akhirnya mereka yang
kaya, kita yang miskin.”
“Ma, jangan
seperti itu. Jika kita ikhlas, surga jaminannya.”
“Surga? Hahaha.”
#
Siang itu terik
matahari nyaris menyerupai mata jarum yang binal menggores kulit. Pohonan diam
karena angin seperti raib meninggalkan bumi. Muni berjalan gontai, memikul
sepasang keranjang yang bertumpu di bahunya. Ia kerap menguap, matanya suram
dan berair, didera kelelahan, karena semalam harus tidur pukul 12.00 demi
menyelesaikan penilaian ulangan semester ganjil, sementara siang itu, sepulang
sekolah—seperti biasa—harus keliling kampung menawarkan diri sebagai pemetik
buah kelapa. Masih ada belasan pohon kelapa yang belum ia panjat.
Ketika tengah
istirahat di tepi kebun, melintaslah tiga orang anak didiknya yang kebetulan
sedang menempuh jalan setapak ke arah sungai, mungkin mereka hendak memancing
atau mandi saja. Percakapannya memecah kesunyian. Tak pernah Muni sangka,
setelah mereka melihat Muni yang duduk sambil mengipas tubuhnya dengan topi
pandan yang ia pakai, ketiga anak didik itu mendekat dengan wajah semringah dan
gerak langkah yang takzim. Muni tahu mereka termasuk siswa yang baik di dalam
kelas.
“Bapak ada di
sini?” tanya salah seorang dari mereka.
“Iya, saya di
sini. Sedang istirahat sejenak sebelum bekerja kembali memetik buah kelapa
milik tuan Hamid ini,” jawabnya lengkap.
“Jadi sepulang
mengajar, bapak masih bekerja seperti ini?”
“Iya.”
Ketiga siswa itu
saling pandang, seolah bertukar ketidakpercayaan melihat gurunya harus bekerja
seperti itu. Muni terus mengipasi tubuhnya.
“Bapak kan
guru.”
“Iya. Kenapa?
Apa tidak layak bekerja sampingan seperti ini?”
Tak ada jawaban
dari ketiga siswa itu, kecuali hanya saling pandang, seperti masih memendam
ketidakpercayaan jika seorang guru harus bekerja memetik buah kelapa. Akhirnya
mereka pamit untuk melanjutkan perjalanan, tapi wajahnya masih diliputi perasaan
kurang percaya pada apa yang dikatakan
Muni.
Sepulang dari
sungai, mereka lewat di jalan itu lagi, mereka tidak sadar jika Muni masih
belum pulang. Ia tengah mengobati rasa lelahnya dengan duduk sejenak pada salah
satu pelepah di atas pohon kelapa itu sembari menikmati angin pedusunan yang
sejuk.
“Mungkin menjadi
guru kampung yang mengajar di sekolah swasta itu gajinya tidak besar ya?”
“Katanya sih
bukan gaji, namanya honor, yang namanya honor ya ala kadarnya, Bro.”
“Kasihan Pak
Muni, padahal dia sangat rajin dan telaten.”
“Makanya kalau
kasihan hargai dia saat menerangkan pelajaran, jangan banyak ngobrol.”
“Ah, siapa yang
ngobrol. Bukan aku kok.”
Muni mendengar
percakapan anak didiknya itu dari atas pohon kelapa. Ia tersenyum sekaligus
berurai air mata. Dari percakapan itu, ia seperti melihat potret dirinya di
selembar kertas lusuh; yang kesepian di tengah hutan, tapi ia menggenggam
barang yang sangat berharga.
#
Hujan
semalam menyisakan gerimis hingga pagi itu. Jalanan dusun becek dan licin. Di
beberapa bagian jalan itu air menggenang. Sepagi mungkin Muni berangat ke
sekolah sesuai jadwal. Motor tuanya terseok-seok menempuh jalan dengan bunyi
knalpot yang memekik dan menyemburkan asap mirip orang sedang sekarat. Jas
hujan penuh sobekan yang ia pakai berkibar dikipas angin. Tapi ia bersyukur, setelah diomeli
istrinya, ia tetap bisa pergi mengajar. Baginya, mengajar sama seperti organ
tubuh, sangat sulit dan terasa sakit bila dilepaskan.
Ia
terus memacu motornya, sambil mengenang guru-gurunya dulu semasa dirinya
bersekolah. Ia baru sadar, betapa banyak tantangan seorang guru hingga harus
menyiapkan dada yang lebih kuat melebihin karang. Tak terasa air matanya menetes. Isaknya
menyaingi derai gerimis. Ia merasa kenakalan anak didiknya saat ini adalah
tunas dari kenakalan dirinya sendiri di masa lalu.
Gerimis
semakin deras, karib dengan angin kencang yang menggoyang keras pepohonan,
petir menyentak berkali-kali. Samar-samar Muni telah melihat bangunan sekolah
tempatnya mengajar itu agak kelabu dalam pelukan gerimis.
Perlahan
ia mengatur haluan motornya ke arah parkir. Sesekali sebelah kakinya harus
diturunkan demi keseimbangan ketika roda motornya berputar dalam likat lumpur.
Ketika hampir tiba di area parkir seketika; “Brakk” Muni terjatuh bersama
motornya, keduanya berguling di atas tanah, semua basah dan kotor. Anak
didiknya menertawakannya di depan kelas. Ramai sekali.
Muni
bangkit dan menegakkan motornya dengan dada yang diupayakan dingin. Ia berusaha
sabar meski emosinya nyaris meledak. Dari suasana seperti itu, ia memandang
anak didiknya masih dengan perasaan sayang, sebab ia terlanjur berkomitmen untuk
mengajar mereka dengan hati.
Gaptim, 07/11/19
A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20
Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media
Nasional dan lokal antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat,
Tribun Jabar, Bali Post, basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres,
Riau Pos, Banjarmasin
Post, Haluan Padang , Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang,
Majalah Bong-ang, Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group,
Buletin Jejak dan beberapa media on line. Juara II Lomba Cipta Puisi tingkat nasional FAM
2015. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu”
(Basabasi, 2018). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.
Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep
Madura 69472. email: waritsrovi@gmail.com. Phone 082301606877.
*Pernah
tayang di Republika, edisi 5 Januari 2020.
0 Comments