IA menatap kertas kosong itu, begitu lama, dan
ragu-ragu meletakkan kalimat pertama yang pantas sebagai pembuka dalam kisah
yang hendak ia tulis.
“Aku ingin kalimat pembuka yang kutulis nanti
langsung menampar pembaca!” gumamnya sambil melempar senyum meski tak satu pun
orang melihatnya.
Ketika ia berhasil melukiskan apa yang ada di
kepalanya, ia menghapus lagi, dan selalu begitu setiap hari. Kemudian ia
melihat jajaran buku-buku yang memenuhi kamarnya, lantas muncul pertanyaan yang
memicu keresahannya, “Aku telah membaca buku-buku ini dan tetap tidak bisa
menulis?” Ia merasa ada yang tidak beres dengan otaknya, ada yang tidak beres
dengan hasil bacaan-bacaannya.
Pada suatu malam, ia keluar dari kamarnya yang
sempit itu, mencari tempat yang tenang, yang paling sunyi. Mula-mula ia tak
ingin ke warung kopi, tapi setelah ia melihat bagian belakang warung kopi Kopas
itu sepi, secara tidak disadari kakinya melangkah ke warung tersebut. Tepat di
pojok bagian timur ia duduk dan memulai perenungannya. Apa yang hendak aku
tulis? Selama sekian tahun kalimat itu yang selalu muncul dalam kepalanya.
Setelah kepalanya pening, ia menyeruput kopinya pelan-pelan, menyulut Sam Soe.
Setelah itu, ia ingin menulis. Menulis apa yang ia lihat. Namun ia tidak tahu
dari mana ia memulai caritanya.
Ketika ia merasa yakin, ia segera mengambil kertas
dari dalam tasnya. “Perempuan yang duduk sendirian di tengah itu,” ia mulai menulis,
“bernama Ravian. Nama yang cantik bukan? Ia tampak gelisah, kopi di depannya
itu dibiarkan dingin. Ia tidak menyadari bahwa ia jadi sorotan mata lelaki yang
haus akan kisah cinta. Sebenarnya aku ingin menemaninya, namun aku takut
mengganggunya, pada akhirnya aku memutuskan tetap diam di pojokan ini dan tetap
memperhatikannya.” Setelah mencapai satu paragraf, tanpa susah payah ia
menghapusnya. Ah, ini kebarat-baratan, keluhnya. Kerumunan orang di warung kopi
itu pun menoleh padanya dan ia merasa malu. Kemudian ia menyerah, melumat
kertasnya, dan tidur.
Setelah bangun, ia membaca buku tanpa menyempatkan
diri ke kamar mandi, bahkan jadi kebiasaan setiap hari. Ketika ia mencapai
pertengahan kisah, ia berhenti sejenak dan berpikir: Mengapa orang lain begitu
gampang menulis kisah ini? Dari mana semua idenya? Apa yang dia baca? Pada saat
itu juga ia sadar bahwa menulis kisah yang seperti itu memerlukan waktu khusus
atau stamina yang luar biasa.
Ia membuang muka ke jendela yang bersuara derik
ketika angin menerpa. Tanpa mengakhiri kisah itu, ia membaca kembali dari awal.
Ia perbaiki duduknya, menyulut rokok, menarik napas dalam-dalam, menenangkan
pikiran, dan ia ingin benar-benar menyelami kisah tersebut; menemukan suatu
yang berbeda dari yang telah diamini orang lain.
Meskipun kisah itu memberi pandangan yang berbeda,
tetap saja ia tidak bisa menulis. Namun, keadaan yang sulit ini membuat ia
semakin semangat hidup, menjalani hari-hari dengan membaca karena siapa tahu
esok, ia berpikir, lancar menulis.
Hanya di dalam kesunyian inilah ia bisa mengingat
pergulatan berbagai macam kisah yang pernah ia hadapi selama bertahun-tahun
yang suatu saat akan terlupakan atau barangkali akan terulang lagi. Dan ia
memang senagaja tidak menuliskannya karena ingin menguji ingatannya; sejauh
mana ingatannya itu mengingat. Ia mencoba menulis kisah lain yang sama sekali
tidak bersentuhan dengan dirinya. Misalkan kisah orang lain nun jauh di sana.
Tetapi hal itu mestahil dilakukan. Sementara masalahnya adalah ia tetap tidak
tahu dari mana ia memulai kisahnya. Kemudian pada dinding kamarnya ia menulis
sebuah permohonan, “Tuhan, aku ingin memulai kisah ini dari sini, dari yang aku
tahu!” dan setelah selesai menulis ia tertawa hingga tertidur.
***
Hanya sebuah kisah, mengapa aku tidak bisa menulis
sebuah kisah? Ia menuding pada cermin lusuh yang menggelantung di dinging
kamarnya itu.
Ditatapnya lagi kertas yang kosong itu. Kemudian
melalui kebun ingatannya ia mencari tumpukan kisah dan ia menemukan kisah masa
kecilnya yang mengerikan, yaitu tentang neneknya yang mati karena perutnya
buncit dan muntah pasir. “Waktu itu umurku baru tujuh tahun,” ia mulai menulis,
“entah apa penyebabnya, kematian nenekku adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Di luar wajar. Ibuku jatuh pingsan.”
Pintu pembuka yang cukup menarik, pikirnya.
Namun ia tidak segera melanjutkan kisah tersebut, ia
masih mencari tahu penyebab kematian neneknya dan kenapa ada orang punya niatan
jahat. Ia berpikir sembari menatap jajaran buku-bukunya, kamarnya pengap oleh
asap rokok, kemudian ia membuka pintu, ternyata hujan di luar sangat deras.
Ia segera menutup pintu, menyeruput kopi (kopi yang
sudah dua hari berdiam dalam cangkir), tapi masih enak. Setelah itu ia membaca
berulang-ulang peragraf pembuka itu. “Hukuman apa yang pantas bagi seorang
penyihir? Jika kasus ini diajukan kepada pihak yang berwenang. Ah, tapi siapa
pelakunya.” Tertatih-tatih, ia kesusahan menyusun kalimat, dan ragu-ragu. Ia
ingin menyerah, hari mulai gelap, perutnya merasakan sesuatu yang sangat perih,
ia butuh sesuatu, kemudian ia keluar dari kamarnya, ia berjalan pelan entah ke
mana. Di mana hasil bacaan-bacaanku, gumamnya, kemandulan otak ini tidak bisa
dibiarkan begitu lama.
Karena sesuatu yang ia pikirkan tiada kunjung
datang, maka ia membakar semua tulisan-tulisan (lebih baik mengatakan
oret-oretan) yang selama berhari-hari ia kumpulkan. Kemudian ia mengambil
kertas yang kosong lagi, menatapnya, dan tangannya gemetaran ketika hendak
menulis. Ia menoleh ke kiri-kanan, ke atas dan ke belakang. Ia merasa terganggu
ketika handphonenya berdering, ternyata bukan dari siapa-siapa, hanya bunyi
alarm. Gawai itu kemudian dimatikan lalu dilemparkannya ke atas kasur.
Ketika malam menyelimuti halaman kamarnya, kertas
itu masih kosong, bolpoin tidak beranjak sedikit pun dan masih di tempat yang
sama. Ia merasa tidak berbakat jadi seorang penulis, dan apakah harus berbakat
jadi seorang penulis? Ia mondar-mandir dalam kamarnya, terkadang menatap
jajaran buku-bukunya, terkadang becermin, terkadang telentang di atas kasur.
Tak ada yang berubah.
Dengan susah payah dan tangan yang gemetar, ia mulai
menulis, asal menulis, “Aku bangun tengah malam karena mimpi aneh. Selama
bertahun-tahun aku merasa mimpi kali inilah yang paling aneh. Mimpi itu
menceritakan bagaimana dunia ini diciptakan, mempertontonkan manusia-manusia
berkepala kera yang rakus dan tangannya yang panjang seperti bambu. Mimpi itu
terjadi dalam tidurku begitu saja, hanya sekilas.” Ia membacanya lagi,
mempertimbangkan apa yang telah ia tulis, memikirkan kelanjutan kisahnya, dan
ia tidak peduli apakah kalimat pembuka itu baik atau tidak.
Namun, karena ia tak tahu kelanjutan kisahnya, ia
merobek kertasnya itu hingga kecil-kecil. Kemudian ia mengambil kertas kosong
lagi.
Biolaska, 2018
*Rusydi Firdaus seorang pebisnis
Jamur Tiram. Tinggal di Yogyakarta.
0 Comments