SALAH kiranya jika masih ada yang mempertanyakan
eksistensi cerpenis muda Indonesia, karena hampir setiap minggu, cerpen-cerpen
mereka terpampang di media massa. Jika kita amati koran-koran, khususnya edisi
minggu, maka kita akan terkesiap melihat berlimpahnya puisi dan cerpen dengan
nama-nama penulis yang datang pergi silih berganti. Nama demi nama terus
bermunculan. Satu dua nama bertahan agak lama, namun lebih banyak nama yang
segera hilang digantikan nama-nama baru yang bagai tak putus-putus bermunculan
di sana.
Cuma pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan
kualitas tulisan, khususnya cerpen para penulis tersebut? Kualitas yang
dimaksud di sini bukan soal bagus dan tidaknya cerpen mereka, juga bukan soal
layak atau tidaknya cerpen mereka dimuat di media, melainkan lebih kepada tema
dan isinya. Karena tema-tema yang diangkat oleh para cerpenis muda kebanyakan
bertemakan cinta, seperti kisah percintaan antara si A dan si B, yang dibuatnya
dramatis dan melankolis, yang tak ubahnya seperti kisah percintaan yang ada di
sinetron atau FTV yang terkesan sangat cengeng.
Selain bertemakan cinta, para cerpenis muda saat ini
juga mengambil tema dengan topik-topik aktual seperti bencana alam, korupsi,
naiknya harga BBM, flu burung, dan topik-topik aktual lain, yang tujuannya agar
cerpen mereka cepat dimuat di media massa. Mereka pun mau tidak mau harus
menulis dalam cara tulis media massa. Bukankah salah satu unsur terkuat dalam
media massa umum adalah aktualitas pokok dan peristiwa? Setiap koran tidak bisa
lain harus senantiasa menghadirkan dirinya seaktual mungkin untuk bisa
memelihara publiknya yang senantiasa haus akan aktualitas berita.
Mungkin mereka beranggapan bahwa dengan mengambil
tema-tema dengan topik-topik aktual, para redaktur dan editor koran, tanpa
berpikir panjang akan langsung memuat karya mereka. Dan mungkin mereka tidak
akan menulis cerpen jika media massa tidak lagi menyediakan rubrik sastra.
Maklumlah, honor cerpen yang disediakan atau diberikan media sangat
menggiurkan. Seolah, media memancing mereka untuk menulis dengan honor sebagai
umpannya. Dan memang, harus diakui, kebanyakan para cerpenis muda sekarang,
menulis karena tuntutan ekonomi.
Mau tidak mau, para cerpenis muda harus mengikuti
“kehendak” atau “kemauan” media massa. Mereka akan berusaha menyajikan cerita
dengan topik-topik aktual. Dan jika tidak ada isu-isu yang hangat dibicarakan
dan dijadikan headline oleh media,
seperti kasus korupsi, semakin maraknya pemerkosaan dan pelecehan seksual di
angkutan umum, melonjaknya harga sembako, bencana alam, dll, mereka akan
menulis topik aktual yang terjadi pada diri mereka sendiri. Mereka akan
menuangkan keresahan dan kegalauan cinta yang menerpa hati dan perasaan mereka
ke dalam sebuah cerpen, tentunya selain ke Facebook
dan Twitter.
Memang, isi dari cerpen-cerpen yang kebanyakan
ditulis oleh para cerpenis muda saat ini sangat melelahkan. Tema dan isi cerita
yang ada di dalam cerpen tersebut sangat amat jauh dengan “tujuan” kepenulisan
sastra, khususnya cerpen itu sendiri. Bukankah dalam cerpen kita bisa berbuat
atau melakukan sesuatu, yang kata orang-orang mustahil dan tidak mungkin, bisa
semuanya serba mungkin. Misalnya kita bisa membuat negara kita ini yang pada
saat ini sedang diterpa badai korupsi menjadi negara yang bersih, bebas dari
koruptor. Kita juga bisa menyulap harga bawang yang pada saat ini melambung
tinggi menjadi sangat murah, bahkan gratis.
Selain tentang kritikan terhadap para penguasa, kita
juga bisa menulis tentang tradisi atau kebudayaan di suatu daerah. Daerah
tersebut namanya ‘A’ misalnya, di mana daerah tersebut memiliki tradisi dan
kebudayaan yang unik, yang belum diketahui oleh masyarakat luas. Jika kita
berhasil menceritakan dan menggambarkan kebudayaan tersebut, kita sudah
memberikan informasi dan memberitahu pada masyarakat luas kalau di daerah “A” terdapat
tradisi atau kebudayaan yang wajib dijaga kelestariannya. Jika sudah demikian,
cerita-cerita yang ada di dalam cerpen kita sudah memberikan kontribusi
terhadap khazanah kebudayaan kita.
Apa pun itu,
meski cerita yang ada di dalam cerpen-cerpen itu melelahkan, tapi kita tetap
harus memberikan apresiasi kepada para cerpenis muda. Karena di zaman yang
serba memakai bahasa ‘alay’ ini, masih ada dari anak-anak muda Indonesia yang
peduli dan mau menulis sastra, yang merupakan kekayaan bangsa yang sangat kita
cintai ini.
*Fajri Andika. Pernah dimuat di "Minggu Pagi", edisi Minggu I, April 2013.
0 Comments