Tetek-Bengek Pilkades
(Pemilihan Kepada Desa)
Kampung pun semakin tak terkendali di saat hari mulai
mendekati agenda pelaksaan pemilihan kepala desa. Sementara orang-orang makin
memanas ketika terlihat kemarin pagi, jalan-jalan pedusunan telah bertebaran
poster-poster dari ketiga calon kepala desa tersebut.
Sebagaimana yang terlihat pertama kalinya oleh Subadra
sendiri di depan toko Sanen pada pinggir jalan di dusun Jurang Ara itu.
Terpangpang poster gambar pisang dengan senyum manis yang disertai kata-kata
janji: Pilihlah saya bila kampung Sungsang ingin sejahterah, aman dan terbukti
terpercaya.
Lalu setelah Subadra menyiarkan kepada pantong-pantong
lawan, bahwa gambar pisang sudah terpajang di jalan-jalan yang rawan di tempati
banyak orang itu. Akhirnya pada malam harinya pun langsung para calon nomer
urut satu maupun nomer urut dua memasang jua poster-poster bergambar jagung dan
nyior sebesar pintu rumah kira-kira, dengan wajah semanis tebu dan kata-kata
sebijak Mario Teguh, mungkin agar tidak kalah saing pada lawan satunya
tersebut.
Lalau di malam yang sudah ke tujuh belas ini, Subadra
menghadiri pengajian yang diadakan oleh Sunento, calon kepala desa nomer urut
dua itu. Di kediamannya para bajingan, pantong-pantong serta kerabat dari
keluarga si istri maupun dari Sunento sendiri melakukan parnyo’onan kepada
yang maha kuasa, agar mendapat ijabat untuk menjadi kepala desa yang kedua
kalinya.
Karena orang-orang desa Sungsang sini masih yakin kalau
dengan melakukan ritual ngaji sebagaimana yang dilaksanakan oleh para calon
kepala desa tersebut. Biasanya menurut keyakinan yang mereka pegang teguh sejak
lalu, segala apa yang diharapkan akan segera cepat terkabulkan.
“Alfatehaaa!” seru seorang kiai kampung itu seusai
memanjatkan doa di kediaman Sunento, yang kemudian dijawab langsung oleh
sekalian para tamu dengan mendengungkan surah Fatihah sampai selesai. Seusai
itu dengan serentak para sebagian tamu bubar barisan, ada yang masih duduk
sambil merogoh satu bungkus rokok lalu dinyalakan. Ada pula sebagian pemudanya
mengambil kopi ke dapur untuk disuguhkan kepada para tamu dan sebagiannya lagi
langsung pulang dengan terburu karena ada kepentingan yang mendesak.
Sementara Subadra serta kawan-kawan sekampungnya membentuk
lingkaran di halaman rumah Sunento itu, sambil menghisap sebatang rokok
mempercakapkan seputar harga tembakau, pertanian dan ujung-ujungnya pada situasi
politik dalam rangka pemelihan kepala desa.
“Menurutmu bagaimana Badra, Sunento banyak tidak
orang-orangnya di sekitar rumah kamu?” pertanyaan Jubri, membuka percakapan.
“Iya, alhamdulillah kalau keluargaku sih masih berpihak pada Sunento.”
Jawabnya, seolah-olah tak ingin memperpanjang cerita seputar pemilihan kepala
desa, karena semua orangnya Sunento tahu bila posisi rumah Subadra sangat dekat
dengan kediaman rumah Amsuki, musuh terberatnya Sunento kini.
“Loh kok, yang lainnya bagaimana Badra! Kan kamu sebagai RT
di sana, seharusnya tahu dong kondisi suara rakyatmu berpihak ke siapa.” Baru
mau berkata, Jubri. Tiba-tiba Sulahi, pantongnya Sunento itu menimpalinya
omongan Badra dengan agak ragu. “Iya betul itu!” celetuk tiba Busawi dan
lainnya bersamaan dalam lingkaran itu, sambil menghisap rokoknya masing-masing
dengan nikmat.
“Hei, Jubri, Sulahi, kan kalian tahu sendiri bagaimana
posisiku, agar kamu tahu, aku ya! Setiap keluar entah kemana saja, selalu ada
yang memantauku, siapa lagi kalau bukan orangnya Amsuki, jadi mengertilah
posisiku saat ini, kan yang penting aku gak bersuara ke luar.” Ujarnya Subadra
panjang lebar, sambil memperjelas posisinya sebagai orangnya Sunento yang
paling banyak diawasi oleh musuh-musuhnya itu.
“Iya sih!,” ucap Jubri, sambil mengangguk-anggukkan kelapa
seraya berpikir. Bingung juga ya jadi kamu, hemm.” Kata Sahwan, setelah lama
memperhatikan pernyataan Subadra.
“Pokoknya kamu harus berusaha Badra, bagaimana caranya
orang-orangnya Amsuki berpihak pada kita. Karena kamu tahu, kalau besok kepala
desa jatuh pada Amsuki, bukan hanya kita yang malu, Sunento dan keluarganya
ikut malu juga. Lagian siapa sih yang mau kalau Amsuki jadi kepala desa, kan
dia itu rajanya maling.” Tiba Sulahi berujar sebagai pantong atau tim suksesnya
Sunento dengan mata sambil melotot penuh emosi malam itu.
“Siap Li, siap Li! Santailah tak usah garang begitu
bicaranya, hehe.” Aku pamit dulu yah, soalnya masih ada urusan di luar.” Ucapnya
dengan santai, sambil berdiri kemudian salaman untuk pamit dengan buru-buru.
Setelah Subadra pulang, hanya tinggal Jubri, Sulahi,
Mattarwi dalam lingkaran itu. Tak lama kemudian akhirnya mereka pun ikut bubar
barisan jua, lalu pulang ke rumahnya masing-masing. Karena waktu juga pun sudah
larut malam saat itu.
Waktu pun sudah menunjukan pukul 23:30 WIB, namun ternyata
masih ada yang berkumpul di halaman rumah Sunento itu, calon kepala desa saat
ini. Mulai dari pemuda sampai bapak-bapak, ada yang pula main demino sampai ada
yang pula main geme, telponan, atau ada yang juga sekadar berjaga-jaga dengan
senter dikalungkan di lehernya, takut takut ada serangan dari luar yang mencoba
memasang sarat di sekitar rumahnya tersebut.
***
Tampaknya waktu pun semakin dekat tanpa terasa, hari-hari
pun di kampung Sungsang makin riuh oleh suara-suara gaduh perihal pemilihan
kepada desa. Terdengar sudah di sana sini semua orang mempercakapkan siapa yang
menang, atau siapa yang kalah kelak. Ada pula yang mempercakapkan tentang
taruhan, sebagaimana Suri yang dikatakan kemarin malam itu.
Orang sudah tahu jika Suri adalah pantongnya Amsuki atau
yang punya simbol nyior itu, ia mengatakan sambil menantang kedapa pendukungnya
jagung, siapa lagi kalau bukan kepada calon Sunento ini. Ia mengakatan, kalau
Sunento menang, akan kupotong jari saya. Ucapnya ia kemarin malam, sewaktu
orangnya Sunento menanyakannya padanya di pinggir jalan depan toko Sanen.
Sementara kini pun waktu sudah tinggal lima belas hari lagi,
sebelum dilaksanakannya pemilihan kepala desa di kampung Sungsang ini. Namun
entah setelah peristiwa percakapan di pinggir jalan itu, pada pagi harinya
tiba-tiba terdengar kabar bila dari salah satu pendukung beratnya Sunento,
calon kepala desa itu, bahwa salah satu warganya kehilangan dua pasang sapinya.
Setelah ditelusuri lebih dalam kabar-kabar burung itu,
ternyata benar bahwa seorang warga tani yang bernama Pusani tersebut telah
kehilangan dua harta satu-satunya yang ia rawat sepenuh hati dalam kandangnya
bertahun-tahun lamanya itu. Bagi seorang petani, sapi adalah perhiasan yang
paling istimewa, bahkan sapi dianggap derajatnya sejajar dengan anak kandungnya
sendiri.
Sebab itulah warga Sungsang makin nyasar tak karuan, ada
pula yang menuduh pantongnya si A yang mencuri. Ada pula yang dengan terang-terangan
menuduh si B atau si C, meskipun semuanya itu hanya tuduhan-tuduhan ngawur
karena emosi.
Sebagaimana yang tergambar jelas peristiwa duka yang
sangat-sangat tak terduga telah menimpa keluarga Pusani pagi itu. Terlihat dari
sudut-sudut rumahnya orang-orang bergiliran bertamu ke rumah Pusani, sekadar
menanyakan kejelasan peristiwa kemalingan tersebut.
“Terakhir kali kamu jenguk sapinya di kandang jam berapa?”
tanyanya salah satu warga.
“Sebelum sapimu digondol maling, kamu gak melihat orang
asing di sekitar rumahmu?” susul kemudian RT-nya bertanya.
“Jam berapa tadi malam kamu tidur?” tak mau kalah juga,
seorang bertanya yang bernama Sumat itu.
Dari berbagai pertanyaan tersebut, Pusani dan Mol, sepasang
suami istri yang sedang berduka itu, hanya menjawab dengan apa adanya sambil
mulutnya tak henti-henti berujar makian pada maling yang berhasil mencuri kedua
sapinya, yang belum tahu jam berapa maling itu mencurinya.
Karena setahu Pusani, kira-kira jam enam pagi sewaktu mau
memberi rumput sapinya, tiba-tiba pintunya terbuka, dan ternyata setelah
memasuki kandangnya, sepasang sapinya telah hilang tanpa meninggalkan jejak
kaki, hanya menyisakan tali tongar-nya yang telah putus menjadi dua bagian,
terpisah dari moncong hidungnya.
Setelah dua hari pascakejadian tersebut, Mol tiba-tiba tidak
keluar rumah dalam seminggu, banyak orang berkabar dari mulut ke mulut ia sakit
karena depresi akibat sepasang sapinya sekaligus hilang tanpa mereka duga sebelumnya,
atau ada lagi yang mengakatan bahwa ia malu bertemu orang-orang, apalagi
orang-orangnya Amsuki, yang jelas-jelas musuh bebuyutannya sejak pemilihan
kepala desa lima tahun yang lalu.
Karena dahulu Mol sempat adu mulut dengan tim suksesnya
Amsuki, dan sampai-sampai berakhir dengan carok di lokasi pemilihan kepala desa
sewatku pemungutan surat suara dimulai. Hanya gara-gara dari pihak Amsuki kalah
taruhan, dan dengan hati panas tak terima para pendukung Amsuki pada
kekalahannya, mereka mencaci maki kemenangan Sunento, dan sampai ingin membakar
surat suaranya.
Sementara para pendukung Sunento tak menanggapi ejeken
tersebut, yang berani menentangnya pada saat itu hanyalah Mol, Mol berkata
keras-keras pada bajingan-bajingan Amsuki yang berusaha membuat gisruh suasana
kemenangan Sunento. Mol berkata sambil mengacung-acungkan guluk atau keris pada
musuhnya sambil mulutnya berujar ngawur: mon bekna tak narema, kecok sapena
engkok bei ra, patek, museng! Ucapnya lima tahun yang silam.
Barangkali awal-mulanya dari peristiwa itulah kebencian
bermula dan terus membara sampai pada pemilihan kepala desa kembali memberi
ruang bagi siapa saja yang ingin menjadi pemimpin desa Sungsang ini. Dan baru
minggu lalu kebencian itu terlunaskan pada salah satu pendukung berat calon
kepala desa nomer urut dua ini, Sunento.
Jurang Ara, 2019
1.
Serapan dari bahasa Madura untuk menyebut
pengawal atau pendukung berat calon kepala desa.
2.
Serapan dari bahasa Madura untuk menyebut ritual
permohonan melalui doa, tahlil dll, kepada Allah.
3.
Sarat itu bila dalam tradisi Madura, orang
mengistilahkannya adalah sebuah sisipan yang diberi dukun atau kiai untuk
melumpuhkan si seseorang dituju, dan itu tergantung permintaan si orang yang
minta sarat, untuk kejahatan atau kebaikan.
4.
Semacam tali yang dimasukkan ke lubang moncong
hidung sapi, sebagai pengendali sapi agar tidak lari.
5.
Guluk adalah sisipan orang Madura sewaktu ingin
bercarok atau ketika ingin bepergian jauh.
6.
Artinya, ‘kalau kamu tak menerima, curi saja
sapiku aja’ sementara ‘patet, museng ‘ itu adalah nama hewan yang menjadi
ucapan makian.
* Norrahman Alif lahir di Jurang Ara, Lahir di Sumenep
Madura. Aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ) dan sekarang menjadi
relawan Pustaka Bergerak Desa (PUSDES). Karyanya sering dimuat di media cetak
maupun online, baik media lokal ataupun media nasional. Seperti Tempo,
Republika, Pikiran Rakyat dan lain-lain.
**Cerpen ini tayang di mbludus.com
(https://mbludus.com/tetek-bengek-pilkades/?fbclid=IwAR2D2fthOwdXZSjvydJzUetJAA6PFGIxcvx86hhsQb2PzZXWA9TopuB0-aU)
0 Comments