PARADE Teater Jawa
Timur, Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jatim
27-28 September 2019
[Penyaji; pengecer jasa
ide kreatif Lumajang, “Buto” sutradara: Ferry Aw. Teater Tobong Surabaya,
“Kerebritis (kisah Trimo dan seekor kucing bernama Viola)”. Teater Extra
Gresik,” Grafito” Naskah: Akhudiat Sutradara: Irfan Akbar P. Teater HMPT
Surabaya,” Bila Malam Bertambah Malam”, Naskah: Putu Wijaya sutradara:
Abdurrahman Satrio. Rumah Seni Lalonget Sumenep,” Retorika Kerinduan”,
naskah/sutradara: Hamzah Fanzuri Bazar. Abi ML dan Dayu Prisma Project
banyuangi, “Xati/Xuicide”, Peiset/ sutradara: Abi ML]
“Kalau perlu tahun depan
kita undang juga kelompok-kelompok teater dari luar Jawa Timur, juga akan kita
adakan lomba penulisan naskah teater.”
Pidato ini seperti
harapan besar setiap seniman teater. Seperti sejak tahun 2016, Afrizal Malna pada sesi diskusi
hasil pengamatan menyatakan hal yang sama, bahwa saatnya parade teater
mengundang kelompok dari luar Jatim. Namun kenyataannya, kita seperti bermimpi
siang bolong, alih-alih janji masa depan teater yang gemilang semacam itu,
justru kegiatan yang sedang berlangsung rasanya seremonil dan menghabisi
anggaran saja.
Saya
percaya, teater mempunyai cara pandang lain dalam melihat dan menampilkan realitas.
Sebuah cara pandang yang intim dalam memandang kemungkinan kebenaran realitas
yang absurd. Sebuah kebenaran yang tidak melulu kebenaran ilmu, tetapi
menyangkut manusia dengan seluruh tubuh, ruang dan imajinasinya.
Menampilkan
6 penyaji dari beberapa daerah (yang beberapa dipertanyakan, kualitas,
penjelajahan artistik, pengalaman estetik dan dramaturgi teaternya) Kegiatan
parade teater Jawa Timur kali ini seperti berjalan tanpa rel. Parade teater
hanya mementaskan tema teater Jawa
Timur. Sebab, keragamaan
budaya Jatim, dan mimpi besar
pertanyaan ‘apa itu teater jatim?’ seperti lenyap ditelan arogansi acara
(kegiatan) yang tidak terprogram dengan baik. Tentu saja ini seperti tegangan
perdebatan tidak ada habisnya teater dan negara. Walaupun juga tidak semestinya
kita hanya berpikir regulasi tentu saja. Sebab kemajuan teater justru berada di
tangan totalitas setiap pelakunya.
Dengan
dibuka dengan pertunjukan ‘Buto’ oleh komunitas pengecer jasa ide kreatif,
sebuah cerita carangan
wayang dengan tema semar dan para buto. Sebuah pertunjukan yang membawa Konteks
seperti hanya dipahami sebagai medan kontruksi pertunjukan. Sehingga
kehadirannya masih masa lalu (romantis) walaupun dengan susah payah mereka
berusaha menjangkau cerita-cerita yang lagi trend. Konteks kejadian tidak
beranjak, ia hanya berputar diseputaran tema wayang masa lalu. Disebabkan
kontruksi tokoh yang sudah kuat, sehingga pertunjukan terkesan tidka serius dan
asal. Semua berlomba untuk unjuk kebolehan.
Model
pertunjukan yang mendekati tradisi ketoprak, khususnya matraman jawa tengahan
terasa hambar. Pilihan dramaturgi posttradisi semacam ini, ketinggalan tubuh
ludiknya. Sehingga artistik hanya persoalan memakai kostum wayang, sedang teks
tidak berjalan sebagai tubuh yang realitas. Seperti kita tahu, tradisi selalu
mengeksplor kehadiran panggung dengan adaptasinya pada ekologi dimana ia
tinggal. Pertunjukan buto terkesan ditempelkan kedalam situasi kekinian dan
dipaksa menjadi kontemporer. Pemusik yang dipakai sebagai penjaga cerita
terkesan terlalu cerewet dengan beban estetika tradisi yang setengah hati.
Tentu semangat menjaga tradisi dengan alasan pelestarian dan kecintaan saja
tidaklah cukup. Semua itu harus ditopang oleh ilmu dan wawasan artistik dan
estetik yang berkwalitas.
Tidak
jauh berbeda dengan Buto, pertunjukan Grafito karya Akhudiat yang sudah
sangat populer di Jawa Timur. Siapa yang tidak
kenal kenakalan Akhudiat
dalam naskah-naskahnya. Ibarat sebuah kerja menerobos batas-batas realisme
hingga kesisi-sisi gelap irasionalitas. Grafito juga memainkan strategi
penceritaan yang khas ‘realisme magis’ (seperti disebut halim HD). kisah
percintaan lain agama dengan modus cindrelelacomplek
khas anak millenial namun terbentur oleh perbedaan agama. Dan pertemuan mereka
di jalanan seperti menegaskan tentang wacana jalan raya sebagai ruang tanpa
afirmasi. Sehingga setiap hal bisa bertemu dan klik. Namun dalam kenyataannya
‘jalanan’ akan tetap berakhir kedalam institusi rumah tangga, sehingga
pertentangan perkawinan mereka tetap terjadi. Dan untuk menghadirkan penolakan
akan perkawinan lain agama itu dihadirkanlah mitos.
Persoalan
yang terjadi, artistik pertunjukan terasa datar. Dimana kenakalan yang
dihadirkan oleh teks diat tidak muncul. Pertunjukan seperti acara perpisahan
sekolah dengan nalar pelajar yang masih menganggap proses melulu trial and error.
Bila
Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ditangan
sutradara Abdurrohman Satrio seperti macet. Ia
hanya diproduksi sebagai presentasi kisah (naskah). Dengan hampir menghilangkan
seluruh aspek kemungkinan teater yang menarik. Pertunjukan malam itu hanya
berusaha menghadirkan peristiwa sosial masyarakat Bali sebagai integral
kehidupan mereka. Sementara kita tahu Putu
Wijaya dengan meta
narasi-nya membuka peluang untuk keluar dari jebakan naskahnya sendiri. Seperti
kita lihat di dalam
seluruh garapan Teater
Mandiri. Tapi apa yang
terjadi dengan “Bila
Malam Bertambah Malam” Abdurrohman kemarin sungguh anti klimaks.
Disamping pendekatan tekstual Bali
dengan mencoba memaksa aktornya memakai dialek Bali justru membuat dialog mereka tidak
jelas. Pemahaman ruang (seperti diungkap Wani Darmawan) selaku pengamat tidak
dapat diterobos, sehingga dialog mereka gagal meresonansi pesan yang tidak
artikulatif itu. Ditambah musik, yang hadir sebagai musik komposisif. Musik
seperti menderek seluruh kegiatan peristiwa. Monoton dan kurang menghadirkan
suasana.
Rumah
Seni Lalonget dengan pertunjukan
Retorika Kerinduan karya Hamzah Fansuri, seperti
terjatuh kedalam romantisme tradisi tidak ada dasarnya. Tradisi yang mati
karena dipandang melulu sebagai nostalgia. Tema (madura) tiba-tiba
berganti-ganti, tera’ bulan, permainan, tandak, dan carok disambung seperti sebuah cerita yang lurus.
Tradisi hanya dikolase kedalam sebuah narasi besar kemaduraan yang arogan.
Pertunjukan ibarat igauan orang tidur yang terbangun dalam situasi perubahan
yang dahsyat, dan semua telah hilang.
Identitas
kemaduraan seperti diiris-iris kedalam ritus, bahasa dan ekonomi. Akan tetapi
justru di dalam
pertunjukan secara artistik, modus pengucapannya terpenggal-penggal. Sutradara
lupa pada spontanitas dan kekakuan (keseharian) orang madura yang unik dan
khas. Sehingga adegan hanya melompat-lompat dari satu peristiwa ke situasi
rumit tekhnik dan tematik.
Berharap
pada Kerebritis Teater Tobong, sebagai kelompok
teater yang sudah senior tentu kelihatan artistika dan estetika garapan mereka.
Dengan mengusung suasana black komedi yang coba dihadirkan lewat kisah kelompok
miskin kota, Teater
Tobong menggarap
wilayah-wilayah komedi pinggiran kota sebagai modus pengucapan teaternya. Tema
tempe dan kekekalan “kemiskinan” seperti sebuah medan resistensi tanpa ujung.
Kegelapan
tematik seperti terpatri dalam suasana gelap lighting, dan permainan silouet
yang menyilet kesadaran kedalam neurotisme kota. Kecemasan akan hidup
benar-benar hadir sebagai sisi gelap dari modus kekuasaan kota. Manusia sebagai
aktor utama dalam seluruh tragedi kota dimanifestasi sebagai ruang kehadiran
aktor. Sehingga kekuatan aktor adalah tumpuan utama dari pementasan.
Arsitektur
ruang panggung cak durasim (malam itu) juga menjadi masalah pada pertunjukan Kerebritis, rupanya
seperti disebut oleh Dody
Yan Masfa sang sutradara,
justru model panggung prosenium dengan deretan bunga-bunga di depan telah
menyeret jarak penonton terlampau jauh, sehingga komunikasi menjadi terhambat.
Saya pikir itu benar adanya. Setelah dua kali saya menonton Kerebritis, yang pertama
di Pekan Teater Nasional 2018 Taman
Ismail Marzuki
Kakarta, terasa ada yang
hilang, sebuah narasi percepatan kota dengan persoalan jarak dan pengadeganan
yang dilakukan oleh sang sutradara Dody
Yan Masfa.
Persoalan
teater sekarang, para pelaku teater selalu berusaha menerabas batas-batas
teater. Difinisi teater kembali dipertanyakan dan melahirkan model-model
pertunjukan yang memproduksi pertunjukan
persilangan, dengan merobohkan batas genre; lintas
disiplin. Begitulah pertunjukan Xati/xuicide abi ML. Dengan mengambil modus
bunuh diri 270 istri cerita tawang alun II, ia berusaha membaca kejadian bunuh
diri hari ini. Akan tetapi penting saya pikir mengamati isu-isu yang
berkembang, dengan tetap juga penting melihat pergulatan artistik yang
berkembang, menghadapi fenomena sosial yang terjadi antara masa lalu dan masa
kini dan masa depan setiap daerah dan kota-kota.
Praktek
teater sebagai teater kekinian, sudah mendifinisakan penontonnya sendiri. Namun
persoalan teater kita masih kehadiran. Sebagian besar mereka memposisikan riset
sebagai kegagahan data. Tetapi bagaimana kerja riset diposisikan dalam
pertunjukan, dan bagaimana kerja riset juga dipahami sebagai praktek estetika,
masih berlangsung riset sebagai kerja menduga-duga, data sebagai imajinasi juga
hasil hipotesis data sebagai drama.
Seorang
teaterawan mesti akan berada dalam tegangan antara bentuk dan isi. Seiring
seorang seniman memiliki gagasan artistik yang brilian namun dalam eksekusinya
kedodoran. Sebaliknya ada yang dari sisi pemikiran sederhana namun
perwujudannya di atas
pentas mencengangkan. Dalam tegangan bentuk dan isi ini, seringkali sebuah
pertunjukan menjadi klise. Dan dalam upaya mengejar kebaruan itu, seringkali
sang teaterawan terjebak kedalam situasi ‘klise dirinya sendiri’ yang tidak
berkembang. Sebab seni sejatinya tidak hanya mengejar dirinya melainkan sebuah
realitas yang terus berkembang.
Jawa
Timur seperti tidak
menemukan kebaruan pengucapan teaternya. Sehingga mereka coba mengais kembali
ludruk sebagai bahasa ungkap teater. Sementara ludruk sebagai canon tradisi ia
masih bercokol dan terus diproduksi. Bahkan dalam beberapa hal ludruk juga
berusaha keluar dari pakem mereka. Merambah dunia teater yang lebih luas.
Anehnya justru teater diseret-seret kedalam ludrukan. Kenapa bisa terjadi
semacam itu? tentu saja peran lembaga (institusi) pemerintah dengan taman
budaya seperti berdiri dalam romantisme masa lalu. Seperti banyak kita lihat,
di dalam
kerja pariwisata saat ini yang berlomba-lomba memproduksi tradisi melulu
sebagai kerja meromantisasi masa
lalu.
Di sana
katarsis seperti ruang melepas lelah setelah seharian berjibaku dengan
kehidupanan yang semakin seret. Teater (seni pertunjukan) pada akhirnya
hanyalah ruang bernostalgia dan menina bobokan masyarakat semata.
Begitulah
yang terjadi dengana parade teater Jatim kemarin (27-28 setember 2019). Ia
seperti sebuah praktek tanpa platform. Kurasi hanya dibaca sebagai memilih penampil
tidak lebih. Meminjam istilah Luhur Kayungga, teater tanpa masa depan.
Platform
apa yang dipakai? Dan strategi pemanggungan apa yang menjadi acuan, semua
terasa tidak jelas dan terkesan seremonial dan settingan (ibarat fenomena artis
sekarang). Tabik!
Language
theatre 29 september 2019
*Mahendra lahir di Sumenep,Madura. Penggerak Teater di
sumenep. Menyelesaikan S1 di jurusan Theology dan Filsafat IAIN (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Sekarang Tingga di Sumenep.
0 Comments