![]() |
“DAPATKAH kau ceritakan ini padaku?” kau
menyodorkan buku garapanku sendiri yang berjudul Laki-Laki Tanpa Mata.
Aku menerimanya, menatap buku yang
sekarang berada di genggamanku dengan mata nanar. Aku menoleh pada laki-laki tanpa
mata di sampingku, menggenggam
tangannya. Ia
mengangguk lembut. Aku membuka buku itu sebentar, lalu
menutupnya kembali.
Mendekatlah, kau akan kuberitahu
tentang ke mana perginya mata-mata itu...
Kalau kau berkunjung ke pulau M,
begitu tiba di dermaga, kau akan disuguhkan pemandangan kota S di ujung barat
pulau yang amat menakjubkan. Apalagi kalau kau melihatnya ketika separuh bagian
matahari tenggelam di pangkuan kaki langit sebelah barat. Pula kau akan melihat siluet gedung-gedung tinggi yang seolah tengah mencakar-cakar dengan taringnya—dan
berdiri kokoh seolah pula menantang
makhluk langit. Senja dengan
siluet gedung-gedung tinggi itu, andai saja seorang pelukis menuangkannya dalam
sebuah kanvas, tak pelak akan menjadi lukisan terindah sepanjang masa. Atau kalau
saja seorang pemotret datang menyimpan pemandangan itu dalam kamera, tak akan bosan
setiap orang memandangnya.
Namun, seperti yang telah diketahui
sebelumnya, tak boleh membawa sesuatu apa pun selain kenangan, dan tak ada seorang
pun keluar dari pulau membawa sesuatu apa pun selain kenangan, dan memang tak
seharusnya membawa sesuatu apa
pun
selain kenangan.
Kalau kau berkujung ke pulau M, begitu
tiba di dermaga, kau akan duduk menunggu bus di halte dekat dermaga. Kau sudah
tentu akan naik bus jurusan kota S, sebab tak ada bus lain yang lewat dermaga
selain bus jurusan kota S, sebab kalau kau berkunjung ke pulau ini, tak akan ada
tujuan lain selain ke kota S, sebab memang tak ada kota lain di pulau ini
selain kota S. Dan begitu tiba di kota S, kau akan mendapati betapa pada
kenyataannya kota S teramat berbeda dari kelihatannya. Ketika kau tahu
kenyataannya, betapa kau akan bersyukur kau bukan laki-laki kota itu. Ketika
kau tahu kenyataannya, betapa kau hanya akan bisa melihat tanpa dapat dilihat oleh siapa pun.
Kalau kau melihat kota itu dengan
kemilau keindahannya dari kejauhan, maka mendekatlah, dan kau akan mendapati
tempat yang seharusnya terdapat bola mata di wajah para laki-laki di kota itu,
ternyata kosong. Beruntung, perempuan di kota itu tidak mengalami nasib yang
sama. Setidaknya kau masih bisa dilihat oleh mereka para perempuan. Setidaknya,
sekolah, toko-toko, rumah makan, rumah sakit, bengkel, kantor-kantor, pabrik
serta fasilitas umum lainnya masih tetap berjalan sebagaimana mestinya walau
tanpa satu pun karyawan laki-laki di dalamnya. Setidaknya, kota itu masih sama
dengan kota-kota lainnya.
Kalau kau telah mendapati kenyataan
itu, kau tentu akan bertanya-tanya tentang bagaimana semua itu bisa terjadi?
Kau tentu akan bertanya-tanya tentang apa yang mereka perbuat sampai membuat
wajah para laki-laki itu kehilangan kedua bola matanya? Maka pendam saja
tanyamu, sebab kau hanya akan menemui titik jenuh apabila bertanya pada semua
orang di kota itu.
Dan apabila
kau bertanya pada semua laki-laki di kota itu, mereka akan menjawabmu dengan mulut terbungkam yang teramat
rapat, lalu berlalu dari hadapanmu tanpa sepatah kata pun. Apabila kau bertanya
pada perempuan di kota itu, mereka hanya akan menjawabmu dengan bungkam pula, dan akan menatapmu dengan
nanar, ada pula yang berkaca-kaca.
Sebenarnya, kalau pun aku yang
ditanya pertanyaan seperti itu, aku akan memberi jawab demikian, siapa pula
yang ingin mengingat ingatan yang amat buruk macam itu, sebab memang tak
seharusnya kenangan yang seperti itu diingat kembali, ditambah lagi, aku
sendiri yang mengalami hal itu. Aku yang membuat mata-mata itu hilang. Aku yang
membuat mata-mata itu enggan mendiami wajah yang seringkali menyapu pandang pada
bilik mandiku setiap malam.
“Aku tak percaya padamu, Mat. Mana
ada perempuan di kota ini yang secantik dan seseksi seperti yang kamu katakan.
Kau pasti bohong. Kau tentu tahu,
hanya isteriku perempuan paling cantik di kota ini. Sejak dahulu, belum ada
yang menandingi kecantikan isteriku.”
“Sumpah! Mana ada aku membual.
Wajah perempuan itu teramat cantik, belum pernah kulihat perempuan secantik dia
di kota ini. Kecantikan isterimu tidak seberapa apabila
dibandingkan dengan perempuan itu. Ah, ya sudah. Kalau kau
tak percaya, kau boleh buktikan sendiri nanti.”
“Alaah, aku tetap tak percaya omong
kosongmu itu.”
“Terserah. Tapi kalau kau berubah pikiran, kau bisa naik
ke pohon melinjo samping kiri rumahnya itu ketika dia hendak mandi. Sebab anehnya,
dia hanya cantik ketika tengah mandi.
Kalau aku berpapasan dengannya di jalan—atau di manapun selain di kamar mandi,
dia tak secantik saat di kamar mandi. Heran juga, mengapa bisa ada orang yang
seperti itu.”
Kasak-kusuk itu, entah mengapa
hanya kuanggap angin lalu. Aku tak tahu siapa yang berkata, aku tak tahu pula
siapa yang mereka maksudkan dan aku
terus saja menuju kamar mandi dan segera melepas baju.
Sampai ketika aku baru saja selesai
mandi, kulihat laki-laki masih dengan sarung dan peci hitamnya, duduk dengan
santainya sambil merokok di salah satu dahan pohon melinjo samping kiri rumah
sembari melihat ke arahku. Tak pelak, aku berteriak sekencang mungkin hingga
mungkin tak ada yang lebih kencang dari pada itu sampai bapak dan ibuku yang
sedang asyik bercumbu di balkon rumah tergopoh-gopoh berlari ke arahku.
Ah, kalau kau mungkin tak akan
menyangka, aku yang seorang pendiam bisa berteriak sekencang itu. Laki-laki
itu—yang sudah pasti melihatku sedang mandi, jatuh bedebum ke tanah. Aku tak
tahu dari mana datangnya orang-orang yang langsung meringkus laki-laki itu dan
membawanya ke alun-alun kota untuk diadili.
Aku pun merasa telah jatuh ke paling
sakitnya jatuh kala itu. Walau orang-orang itu hanya melihatku mandi, aku
merasa betapa diriku sudah direnggut kehormatannya secara paksa, sebab belum
ada satu pun perempuan di kota ini dilecehkan seperti itu.
Bahkan saking sakitnya aku, bahwa aku
tak sadar terlalu banyak kata-kata buruk meluncur deras dari mulutku, dan
tentu, kau tahu, jika kau melihat setiap lelaki yang tanpa mata itu, jelas
sebab mereka semua telah mengintip perempuan-perempuan di kamar mandi pada
hari-hari berikutnya, dan para perempuan mengikuti apa yang aku lakukan,
mencongkel mata para lelaki pengintip yang diadili di alun-alun kota.
Karangcempaka-Sumenep 2019
*Eiffah E
Bernama lengkap Eiffah
Eizzatul Umami. Lahir di Sumenep, 27 Agustus 2001. Aktif di Sanggar Alfabet
pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka-Bluto Sumenep, dalam kelas kreatif
“Menulis Cerpen”. Penyuka musik, sastra, tumpukan buku, dan senja. Dirinya juga
tercatat sebagai mahasiswi di Program Studi Bahasa Indonesia IAIN Madura.
**Cerpen
Tersebut juga Terbit di Rakyat Sultra edisi 27 Mei 2019 (sumber foto: https://get.pxhere.com)
0 Comments