Suluk santri#2 Kemelut Manusia
(Adaptasi puisi kemelut manusia, lirik sareang, dan lirik santri karya M.Faizi)
(Adaptasi puisi kemelut manusia, lirik sareang, dan lirik santri karya M.Faizi)
Sinopsis:
MANUSIA pencari menangis. Ia seorang
diri, akhirnya meninggalkan tempatnya semula. Ia memutuskan untuk semadi
mengasingkan diri dari dunia. Katanya hendak menjauhi kemelut dalam dadanya
untuk menemukan sesuatu yang tak terlihat mata, sesuatu yang tak terdengar
telinga, sesuatu yang tak pernah terlintas di hati manusia. Hingga ia menemukan
hal itu dan tak pernah lagi meragukannya.
Inikah akhir pencarian manusia?
Ternyata tidak. Akhirnya manusia itu, ia yang penuh kemelut, masuk kembali ke
hutan kemelut, keluar ke padang kemelut, lalu mati membawa kemelut.
Selamat menyaksikan!
Seorang sareyang meneguhkan
pencariannya diantara mercusuar pengetahuan dan pencarian kesejatian hidup.
Sementara suara –suara menjelma kebenaran. Dan orang-orang berbaris dalam cara
pandang yang di gariskan.
Pencari : (mengaji surat dalam al-quran)
Sareang : Akulah sareyang.
Akulah anak kecil dekil yang berjalan sendiri di pinggiran sejarah. Tak ada
orang menghiraukanku, kecuali dengan sebelah mata memandang.
Orang 1 :
untuk apa kau berteriak bagi kebenaran sareyang?
Sareang : akulah
sareyang. Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang waktu. Air merta jiwa bagi
kemarau serabad lama. Melalui malam sunyi, yang menjadi guru dalam mengajarkan
cahaya dan kebisingan, aku menyebrangi kosmis, mencari percik api bernyala
matahari.
Orang 2 :
dimana akan kau temukan itu sareyang?.
Sareang : dengan mata menerawang,
meradai dan menghilau atas kekalahan, lindap di bawah bayang-bayang ilmu
pengetahuan, aku mencari nyanyian di antara deru bising kehidupan.
Pencari :
tetapi, masihkah para wali membisik sareyang?
Para santri : ia meraba dada bertanya.
Ia mengerutkan kening
berpikir (koor).
Pendongeng :manusia itu, ia yang
penuh kemelut, memutuskan untuk samadi. Mengasingkan diri dari dunia. Ia
bertapa, memilih diam daripada bicara. Bertaun-taun lamanya tetap tidak
menemukan apa-apa.
Sareyang terus melakukan pencarian kebenaran. Di hadang tembok
subyektifitas. Kebenaran seperti dinding tebal di lambung negeri. Siapa mencari
ia akan tersesat. Sementara kebenaran seperti mimpi buruk, beban berat bagi
sejarah.
Masa kini seperti tumpukan benda. Suara-suara
kebisingan di rumah tetangga. Dan orang-orang menghentak-hentak lantai seperti
menolak untuk di taklukkan. Dunia sepenuhnya kota, dengan keributan yang
sempurna.
Puncaknya manusia di perbudak benda.
Pengetahuan/kebenaran di packing. Di sembunyikan sebagai rahasia paling bodoh.
Siapa yang mempunyai uang ia yang mennguasai peradaban.
Di tengah kepungan benda dan
kebisingan. Sareyang meneguhkan dirinya dalam sunyi.
Berbicara dengan sepi.
Sehingga ia benar-benar berbeda. Mungkin hanya kegilaan yang bisa
menyelamatkannya. Selamat datang dunia para jadzab!
Sareyang :
eeee... eeee...eeee
Dengan sebuah batu besar. Ia tertatih
menanggung beban kehidupan. Kehidupan yang keras oleh persoalan yang di rancang
oleh kehendaknya sendiri.
Kemudian, sareyang menyelam dalam
sumur riyadlah untuk mendapatkan pencerahan. Terbayang dalam benaknya; ibnu
hajar tersenyum di tempa kerasnya batu kebebalan. Tibatiba air membasahi
kepalanya. Dan hikmah berjatuhan seperti hujan. Mengisi setiap relung seperti
sumur di musim penghujan.
Sareyang : aku seorang
santri. Seorang musyafir di negeri badai. Seorang miskin di kota benda.
Orang-orang melihatku kasihan karena tak punya, walaupun sebenarnya aku kaya,
sebab hartaku tabah dan derana.
Aku adalah seorang santri dari sebuah kampung bernama
kesederhanaan; tempat aku bertolak dan rumah untuk kembali.
Para santri (pencari) membentuk
barisan. Seperti benteng kebudayaan, meneguhkan dirinya sebagai pencari.
Mengisi setiap kampung dan kota dengan jejak uswah. Ya sebuah cermin di langit,
yang di jatuhkan ke dasar jantung terdalam.
Para Santri :nun...
Mereka terus berjalan. Hingga lunas
jerih dendam. Luka dan bisa di bawa berlari mencari siapa sejatinya diri.
Para Santri :
siiinnn......
Para Santri :
yaaaa’......
Sareyang : aku melambung lepas,
menembus atmosfer, melampaui batas dunia, lalau melepaskan diri dari hukum
bumi, tetapi pada akhirnya hinggap kembali di dasar hati. Memanjatkan doa untuk
orang tua, para guru, kawan-kawan, serta mereka yang mungkin telah terlupa;
selamatkan kami dan anak cucu kami dari kemarau panjang di dalam dada; kemarau
di luar musim, kemarau di dalam batin.
Sareyang terus saja memanjat. Walau kadang ia
terjatuh. Dan setiap kejatuhan sakit akibatnya. Namun keteguhan hati adalah
modal dari kesederhanan, sebuah perjalanan memasuki diri sendiri, menemu
mutiara dalam setiap hati. Hingga ketika sampai di puncak ia memanggil seluruh
yang berserak agar berkumpul. Memanjat ke ujung lumpuh.
Dan mereka terjatuh. Lagi dan lagi.
Bangkit. Lagi dan lagi.
Namun seperti setiap perjalan, kita
akan sampai pada lelah, pada lelap. Istirah jiwa-jiwa. Untuk kembali terjaga,
menemu yang maha segala.
Para Santri :
sareang.......!!!!
Santri :
berjalan
tertatih, menghitung langkah.
Hati merintih, pikiran
membuncah( koor).
Seperti sepasukan ababil, seperti
panah malaikat di langit gelap, para santri melangkah menerobos onak dan duri,
melewati hutan dan gunung, laut dan bukit, mereka terus menderu. Menggetarkan
hati yang beku.
Sareyang : aku adalah
santri: seorang tawanan di penjara dunia. Akan tetapi, semangatku tak bisa
dibendung, seperti angin mencari arah, menelusup melampaui sekat, berkisar,
bertiup, melesat.
Semua seperti telah di tuliskan, di
gariskan di lagit, nasib yang di julurkan ke dunia seperti jaring-jaring raksasa.
Menjerat seluruh kemauan dan hasrat.
Dan seperti meneguhkan bahwa hidup
adalah kemelut, akhirnya manusia itu, ia yang yakin kemelut adalah takdir.
Masuk kembali ke hutan kemelut, keluar ke padang kemelut, lalu mati membawa
kemelut.
Language
theatre 2016
*Mahendra
lahir di Sumenep,Madura. Penggerak Teater di sumenep. Menyelesaikan S1 di
jurusan Theology dan Filsafat IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang
Tingga di Sumenep.
0 Comments