LANGIT sudah merah, Rojali baru datang. Lelah melingkar di
wajahnya, berat ia bernapas. Duduk pada sebuah kursi kayu bercat kuning, Rojali
menuang air ke dalam gelas, cepat ia meraihnya dan meneguk sampai habis. Sesaat
kemudian, ia membuka lembar demi lembar kertas dalam map yang sejak semula
dilemparkannya ke atas meja. Gigi Rojali bergemerutuk, kesal sedang mendera
hati lelaki muda itu.
Rojali memukul meja, disertai desah yang kasar dari mulutnya.
Kedua tangannya memegang kepala, diremas-remas rambutnya. Rojali berserapah
yang entah ditujukan kepada siapa. Haji Usin, Babenya yang mendengar dari
tempat salatnya langsung turun. Kewajiban salat Magrib selesai dikerjakan,
sunnah salat tak ditunaikan karena Rojali sedang memaki-maki tidak jelas,
teriakannya mengganngu Haji Usin.
“Lekas salat. Jangan banyak menggerutu!” Haji Usin berdiri di
dekat anaknya. Lelaki bertubuh kurus serupa batang lidi itu berkacak pinggang.
Rojali bergeming.
Hampir lima menit, Rojali tak menanggapi apapun ucapan Babenya.
Ia tetap pada posisinya, duduk terdiam, menundukkan wajah. Terpaksa Haji Usin
menggebrak meja, kaget Rojali dan langsung mendongak melihat wajah Babenya yang
sudah melotot matanya. Lambat Rojali bangkit dari duduknya, lesu seharian
mencari kerja di kota.
“Apa dengan salat saya bisa dapat pekerjaan?” Pertanyaan yang
dilontarkan Rojali kepada Babenya, hampir saja membuat Haji Usin menamparnya.
“Kau sendiri yang cari rumit. Sudah saya bilang, kau tak perlu
cari kerja. Urus warung saja.” Haji Usin sedikit mengeraskan suaranya.
“Jual bir pletok? Malulah saya pada gelar sarjana yang saya
dapat. ” Rojali tersenyum meledek. Haji Usin diam sambil menggelengkan
kepalanya.
Rojali tergesa-gesa menuju kamar
mandi, mengambil wudhu dan kemudian mengerjakan salat. Setelah selesai melaksanakan
kewajiban sorenya, Rojali keluar rumah, menuju ke halaman, pada balai-balai
bambu di bawah pohon kecapi. Terlentang Rojali merebahkan tubuh, berlasakan
tikar daun pandan, ke langit matanya memandang.
Sinar bulan menerpa tubuh lelaki
muda itu, angin datang mengecup daun
kecapi. Pikiran Rojali bercabang-cabang. Satu cabang memikirkan, apakah ia
harus meneruskan usaha Babenya sebagai penjual bir pletok. Satu cabang lagi
memikirkan, Rojali berhasrat sekali bekerja pada sebuah perusahaan di kota, kerja dalam
ruangan berpendingin, memakai dasi setiap hari, pergi sejak matahari muncul
hingga tenggelam di ujung barat. Rojali mendesah merenungkannya.
Haji Usin menyusul anaknya, duduk
bersandar pada pohon kecapi yang sudah ratusan tahun tumbuh di halaman rumahnya.
Rojali bangun, duduk menghadap ke arah Babenya. Haji Usin menyalakan batang
rokok, menari-nari asapnya di atas kepala. Rojali masih menekuri pikirannya
sendiri, tak menggubris panggilan Babenya dari tadi.
Haji Usin, pemilik warung kopi di
pinggir jalan besar lebih dikenal sebagai penjual bir pletok ketimbang penjual
kopi. Di warungnya, Haji Usin memang menyediakan kopi bagi para sopir maupun pembeli dari desa seberang,
tetapi mereka lebih suka dengan bir pletok racikan Haji Usin yang sudah terkenal
sejak puluhan tahun lalu. Cerita orang-orang, bir pletok Haji Usin lezatnya
luar biasa.
Orang-orang sudah datang sebelum
Haji Usin membuka warungnya, setia mereka menunggu demi menikmati bir pletok
yang tak mereka dapatkan dimanapun. Tak ada yang membantu pekerjaan Haji Usin
di warung, semuanya dikerjakan seorang diri setelah istrinya meninggal. Hal ini
kadang memunculkan pertanyaan dari para pelanggan perihal mengapa Haji Usin tak
mengajak serta anak lelakinya untuk membantu atau mengambil pembantu dari
tetangga.
Haji Usin menjawab pertanyaan itu,
samar-samar suaranya mengucap, “Saya sudah terbiasa sendiri.”
Sungguh jawaban Haji Usin tak dapat
memuaskan mereka. Kepala mereka menggeleng. Tak ada lagi pertanyaan macam-macam
dari para pelanggannya. Haji Usin cukup gesit melayani pelanggan warungnya,
meskipun waktu sudah hampir menghabiskan usianya. Haji Usin menebar senyum
pada semua pelanggan, sebuah keramahan
yang tak dibuat-buat, itulah salah satu alasan warungnya ramai dikunjungi.
Sebagai satu-satunya warung yang
menjual bir pletok sampai saat ini, Haji Usin mewarisi ilmu meracik bir pletok
yang terdiri dari campuran beberapa rempah, jahe, daun pandan wangi dan serai
didapatnya dari leluhurnya dahulu. Karena kelezatan rasa bir pletok inilah
membuat warung Haji Usin ramai dikunjungi semua orang dari semua kalangan.
Semula orang-orang yang baru
mendengar bir pletok terkejut karena mengira seorang haji menjual minuman
alkohol. Mereka menyangka, minum bir pletok akan membuat mereka mabuk. Haji
Usin menjelaskan saja apa sesungguhnya bir pletok. Khawatir bikin mabuk, mereka
mencoba segelas bir pletok terlebih dahulu.
Mereka mengangguk, mengakui bir pletok Haji Usin sangat nikmat sekaligus
menyegarkan badan.
Sebelum Haji Usin meninggal,
mengingat usia sudah senja, tak ada yang diharapkan Haji Usin kecuali Rojali
meneruskan usahanya sebagai penjual bir pletok. Tetapi apalah daya, Haji Usin
tak sanggup membujuk anak lelaki semata wayangnya untuk menggantikan posisinya
kelak apabila Izrail datang menjemput.
“Apa kau tak mau melihat Babe
meninggal bahagia?” Pertanyaan Haji Usin membuat Rojali langsung mengalihkan
pandangan ke Babenya. Berkerut kening Rojali seperti garis terombang-ambing,
jantungnya terasa akan lepas dari tangkainya mendengar pertanyan itu dilontarkan
tiba-tiba. Rojali mengerti apa maksud dari Babenya itu.
Rojali malah balik menyerang, “Apa
Babe tak mau melihat anaknya sukses?”
Keduanya sama-sama tidak memberikan
jawaban. Rojali teringat dengan Dahlia, perempuan yang ditaksirnya dan siap
menjadi istrinya dengan syarat Rojali bekerja di perusahaan, bukan sebagai
tukang warung. Sudah lama Rojali mengincar Dahlia, sejak perempuan itu duduk di
bangku semester akhir.
Kesempatan mendapatkan Dahlia tak
disia-siakan oleh Rojali. Berhari-hari Rojali mencari pekerjaan di kota, namun
nasib buruk mencekeramnya. Tak dapat pekerjaan Rojali, bayangan buruk
menghantuinya, pastilah Dahlia akan mencampakkan dirinya sebagai pecundang.
Haji Usin mulai membaca gelagat yang ditunjukkan Rojali, jatuh cinta menjadi
salah satu alasan Rojali tak ingin menjual bir pletok.
Sebagai lelaki yang pernah muda,
Haji Usin berkata tiba-tiba pada anaknya, “Sia-sialah lelaki yang mendambakan
perempuan yang memberikan syarat untuk cintanya.”
Rojali melotot tak percaya,
bertanya dalam hatinya, bagaimana mungkin Babe mengetahuinya? Rupanya, sebulan
lalu Haji Usin mendengar anaknya berbicara sendiri sambil memandang foto
perempuan. Meskipun sudah usia uzur, telinga Haji Usin tetap sempurna mendengar
suara sekecil apapun bahkan dari jarak yang cukup jauh. Dari dalam kamar
Rojali, Haji Usin mendengar anaknya tersebut berkata kalau ia akan melakukan
apaun untuk Dahlia, termasuk mejadi pekerja kantoran.
Rojali seperti memiliki ratusan
cara untuk balik menyerang Babenya, ia berujar dengan menekan suaranya,
“Sia-sia seorang lelaki yang hanya mementingkan pekerjaannya dibanding
istrinya.”
Mendengar ucapan anaknya, Haji Usin
teringat almarhum istrinya. Tak sanggup Haji usin membendung air dari dalam
mata cekungnya. Istrinya meninggal satu tahun lalu. Haji Usin tak ada di
sampingnya ketika sang istri mengembuskan napas terakhir, ia meninggal dalam
rangkulan Rojali. Haji Usin sedang melayani para pembeli bir pletok di
warungnya, kematian istrinya baru diketahui setelah ia menutup warung, pulang
ke rumah, matanya langsung melihat istrinya terbujur ditutupi kain.
Kini kesedihan itu tumbuh lagi,
Haji Usin melihat wajah anaknya yang baru saja membuatnya membuka ingatan satu
tahun lalu itu. Rojali mendekati Babenya, ia merangkul lelaki berpeci putih
itu. Haji Usin berdiri, tangannya memegang pohon kecapi. Berjalan ia masuk ke
dalam rumah, disusul derai batuk mengguncang dadanya. Menyesal Rojali telah
mengatakan itu kepada Babenya.
Sudah tidak terlihat bulan di
permukaan langit. Rojali merentangkan kedua tangannya di atas balai-balai
bambu, di bawah pohon kecapi. Gerimis jatuh tiba-tiba, Rojali bangun dan masuk
ke dalam rumah. Sebelum masuk ke dalam kamar, Rojali sempat melihat Babe duduk
di atas ranjang memandangi foto istrinya. Semakin bersalah Rojali dibuatnya.
Gontai Rojali memasuki kamar, segera ia rebahkan tubuhnya di atas kasur. Rojali
memejamkan mata, besok harus kembali mencari kerja ke kota.
***
Dua bulan berlalu, Rojali belum
diterima di perusahaan manapun. Letih sudah Rojali mencarinya. Pasrah sudah Rojali
menerimanya. Haji Usin mulai diserang sakit. Kata dokter yang memeriksanya,
Haji Usin disarankan istirahat selama beberapa hari, semata-mata agar Haji Usin
pulih seperti sediakala.
Keras Haji Usin menentang saran
dokter, ia memilih tetap berjualan di warung miliknya di pinggir jalan besar
itu. Berjalan kaki sekitar lima belas menit untuk sampai di warungnya, Haji
Usin memegang dada sepanjang perjalanan. Matahari pagi menerpa tubuh ringkih
Haji Usin. Rojali tak memikirkan Babenya, diam tercenung di teras rumah,
memikirkan nasibnya sendiri. Keresak sandal dan suara batuk Babenya tak
dihiraukannya, abai Rojali meresponnya.
Tepat satu jam
kemudian, Haji Usin dikabarkan meninggal di warung sehabis melayani pembeli.
Kabar itu sampai ke telinga Rojali setelah seseorang datang menghampirinya.
Semula Rojali tidak benar-benar percaya dengan kabar yang disampaikan oleh
salah seorang pelanggan Haji Usin. Tidak mungkin, kata Rojali dalam hati.
Rojali tergesa-gesa membawa langkahnya ke warung Babenya.
Tiba di sana, Rojali
menyaksikan orang-orang berkerumun. Rojali menguak kerumunan itu, tertuju mata
Rojali pada seorang lelaki tua berpeci putih terbaring, terpejam matanya tanpa
embus napas dari hidungnya. Rojali memegang pergelangan tangan Haji Usin,
memastikan detak nadi sang Babe. Tak ada denyut yang dirasakan Rojali. Meledak
tangis Rojali. Orang-orang membawanya ke rumah, Rojali duduk tertunduk di dekat
jasad Babenya.
Seluruh tetangga
datang, bersalaman pada Rojali. Jenazah Haji Usin sudah selesai dimandikan.
Pemakaman dilakukan sore nanti. Kubur digali di samping makam istrinya. Semasa
hidup, Haji Usin memang berpesan pada Rojali supaya disandingkan kuburannya
dengan sang istri. Rojali memenuhi permintaan itu. Satu permintaan lain dari
Haji Usin yang entah Rojali bisa memenuhinya atau tidak ialah wajib bagi Rojali
meneruskan usaha Babenya, menjual bir pletok.
Langit ditutupi
awan, orang-orang berkumpul di pemakaman. Rojali berdiri di dekat liang lahat,
matanya bergerimis melihat jenazah Babenya dimasukkan ke dalam liang kubur.
Orang-orang pulang, Rojali duduk bersimpuh di samping pusara Babenya.
Bunga-bunga ditabur di atasnya, lebur perasaan Rojali.
***
Waktu berjalan
cepat, satu tahun sudah berlalu. Sejak Haji Usin meninggal, warung miliknya tak
pernah buka lagi. Tak ada tanda-tanda warung yang dulunya ramai dikunjungi itu
akan buka lagi. Rojali selalu gagal meracik bir pletok selezat buatan Babenya.
Kegagalan yang berulang-ulang membuat Rojali menyerah, memilih menutup warung
Babenya dan tak ada lagi bir pletok terkenal racikan Haji Usin.
Kegagalan Rojali
meracik bir pletok lantaran ia memang tak pernah mau melihat, apalagi belajar
meracik bir pletok dari Haji Usin semasa hidup. Setiap kali Babenya meminta
Rojali mengamatinya, tegas Rojali menolak. Haji Usin melihat percikan api dari
mata Rojali.
Dan pada suatu
pagi, matahari baru muncul separuh, Rojali datang melihat warung Babenya yang
sudah hampir roboh, kayu-kayunya dimakan rayap. Dinding-dindingnya yang terbuat
dari anyaman bambu berantakan tak terurus, gentengnya berjatuhan. Berdiri
Rojali memandang warung itu, terbelah dadanya mengingat dari bir pletok itulah
Rojali meraih gelar sarjana.
Lama sekali Rojali
berdiri. Ia selalu mendapat pertanyaan dari para pelanggan warung Haji Usin
yang datang ke warung. Pertanyan mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu
rangkaian. Semakin lebar dada Rojali terbelah, tersiksa ia mendengar
pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya.
“Apa kau masih
jual bir pletok?
“Kenapa kau tutup
warung ini?”
“Warung ini punya
banyak pelanggan yang datang dari mana-mana. Kenapa tak kau teruskan?”
“Apa masih ada
warung yang jual bir pletok?”
“Saya sudah lama
tidak ke warung ini. Ternyata sudah tutup. Di mana saya bisa beli bir pletok
selain di sini?”
“Apa tak ada lagi
warung yang jual bir pletok selain di sini?”
“Apa ada bir
pletok selezat racikan Haji Usin?
Rojali tak sanggup
menjawab pertanyaan-pertanyan itu. Terseok-seok ia berjalan pulang seraya
mencangkuli dirinya sendiri.
Pulau Garam,
Juli 2019
*)Zainul Muttaqin Lahir
di Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Alumnus Pondok Pesantren
Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di
STAIN Pamekasan. Cerpen-cerpennya dimuat pelbagai media nasional dan lokal,
seperti; Kompas. Jawa Pos. Koran Tempo. Jurnal Nasional. Femina.
Tabloid Nova. Republika. Suara Merdeka. Kedaulatan Rakyat. Tribun Jabar.
Solopos. Padang Ekspres. Radar Lampung. Radar Surabaya. Radar Selatan. Bangka
Pos. Media Sastra Online Basabasi.co. Litera.co. nugapura.or.id. Apajake.com.
Cendananews. Harian Rakyat Sultra. Kuntum. Almadina. Majalah Simalaba.
Joglosemar. Banjarmasin Post. Merapi. Kabar Madura. Suara Madura Koran Madura. Buku kumpulan
cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019)
**Cerpen tersebut pernah tayang di Jawa Pos (TT).
0 Comments