MENJELANG adzan Isya saya baru muncul di rumah. Tergesa-gesa
saya mengangkat kaki, langsung menerobos masuk di antara kerumunan orang-orang
yang sedang berdiri di depan kamar anak saya. Mereka memberi saya jalan, seraya
melihat dengan mengerutkan kening, dan saya dengar bisik-bisik mereka, serupa
suara lalat, “Kemana saja si Maksan, kok baru muncul ya?” Saya
lihat beberapa orang mengangkat kedua bahunya setelah pertanyaan macam itu
muncul dari sebagian orang.
Tubuh anak saya
dibaringkan di atas ranjang, kulit di sekujur tubuhnya mengelupas. Saya masih
berdiri tidak percaya, dalam getar tubuh yang tak karuan saya menangis,
“Ibrahim sudah meninggal?”
“Tidak bang,” kata
Maisaroh, istri saya itu menjawab dengan suara yang nyaris tak dapat saya
dengar.
Setelah saya lihat gerak
bibir Ibrahim barulah tangis saya reda. Ia berusaha memanggil saya, terdengar
lirih, terbata-bata suaranya, “Bapak.” Saat ia memanggil nama itu, tanpa bisa
mengurangi debar-debar keharuan saya menangis lagi. Bagaimana tidak. Ia anak
yang jauh dengan saya, memilih dekat dengan ibunya dengan alasan ibunya lebih
mengerti apa yang diinginkan Ibrahim.
Sejak matahari muncul
hingga tenggelam di ujung barat saya berada di tengah laut, bertarung dengan
beringasnya ombak demi menghidupi anak-bini, selain itu saya juga memang jarang
bercanda gurau dengan Ibrahim bahkan bisa dibilang saya keras terhadap anak sendiri.
Itulah mengapa Ibrahim jarang sekali memanggil Bapak pada saya.
“Kenapa Ibrahim bisa
terbakar seperti ini?” Saya bertanya pada Maisaroh. Ia diam untuk beberapa
saat. Air matanya menitik, jatuh di pangkuannya. Ibrahim mengedipkan mata pada
Maisaroh, sebuah isyarat agar Maisaroh menceritakan apa adanya tanpa perlu
takut saya akan marah.
“Ibrahim…” Saya
mendengar suara istri saya itu terputus, seakan tak mampu mengisahkan apa yang
sesungguhnya telah terjadi pada Ibrahim. Sekilas saya lihat tubuh Ibrahim
dibalut daun semak yang sudah ditumbuk sebagai obat luar. Saya tahu Ibrahim
sedang menahan sakit yang teramat di sekujur tubuhnya. Hanya saja ia tidak
menunjukkan rasa sakit itu pada saya, seakan ia mau bilang, “Saya
anak lelaki, saya kuat.”
Tak berapa lama
kemudian istri saya itu bercerita awal mula Ibrahim masuk ke dalam api. Setelah
magrib, Ibrahim pamit mengaji di langgar Kiaji Dulla sebagaimana biasanya.
Mestinya Ibrahim selalu saya antar menuju langgar itu, hanya saja barusan saya
harus ke rumah Masrakib sehingga Ibrahim berjalan sendirian menuju langgar,
dengan jarak tempuh tak terlalu jauh, lima menit berjalan kaki sudah sampai di
langgar Kiaji Dullah, satu-satunya Kiaji di kampung Tang-Batang.
Belum ada seorang pun
yang menjemput anak-anaknya di langgar Kiaji Suappak setelah isya berkumandang
sepuluh menit yang lalu. Mereka bermain di belakang langggar, mereka
mengumpulkan kayu dibentuk seperti sebuah bukit, di bawahnya ditabur dedaunan
kering. Setelah itu mereka membakarnya hingga api itu terjulur-julur ke atas,
girang sekali anak-anak itu melihatnya.
“Kira-kira kalau masuk
ke dalam api itu, terbakar gak ya?” Celetuk Jabbar sambil menepuk pundak
Ibrahim.
“Pasti terbakar,
emangnya kau sakti?” jawab Hamdi seraya melempar tanya. Api itu kian besar,
mereka mundur sedikit menghindari lidah api yang seakan hendak menghisap
bocah-bocah itu.
“Nabi Ibrahim tidak
mati dibakar api, malah ia merasa dingin berada di dalamnya. Bahkan ketika ia
keluar dari dalam api itu Nabi Ibrahim terlihat segar bugar, dan makin tampan.
Apa kau tidak ingat sama kisah nabi itu? Kiaji Dullah kan sering
menuturkannya.” Jabbar menjawab dengan tangkas.
“Itu nabi. Beda sama
kita. Itu kan salah satu mukjizat Nabi Ibrahim.” Hamdi menggelengkan kepala.
Bocah-bocah itu melemparkan kayu, serta dedaunan kering ke dalam api itu,
seperti menginginkan api untuk terus menyala.
”Kalau gak ada yang
mencoba, kan gak ada yang tahu, siapa tahu di antara kita ada yang gak bisa
terbakar oleh api.”
“Emang siapa yang mau
mencobanya? Saya gak mau, ah!”
“Ibrahim saja yang
coba. Namanya saja seperti nama nabi yang tak mempan dibakar, siapa tahu kau
benar-benar tak terbakar.”
“Jangan takut. Sebelum
masuk ke dalam api, berdoalah sebagaimana doa Nabi Ibrahim.”
“Pasti ada malaikat
yang membantumu di dalam api itu.”
“Malaikat apa?” tanya
Ibrahim. Ia berdiri di depan api itu. Jiwanya tergugah untuk mencoba setelah
kawan-kawannya mendesak.
“Malaikat api.”
“Emang ada malaikat
api?”
“Nabi Ibrahim tidak
bisa dibakar karena ia ditolong oleh malaikat api.”
Sebelum Ibrahim masuk
ke dalam kobaran api itu, ia meminta kawan-kawannya mengikat tangan dan
kakinya. Dengan tenang, sangat mencengangkan Ibrahim menyuruh kawan-kawannya
menggotong tubuhnya, memasukkannya ke dalam api itu. Hal ini dilakukan oleh
Ibrahim seakan ia mau mempertontonkan kehebatannya, bahwa betapa tubuh bocah
itu juga tak mempan dibakar api sebagaimana Nabi Ibrahim.
Berada dalam kobaran api
terdengar jeritan Ibrahim. Tak satu kawan-kawannya menggubris, malah ia bilang,
“Ah, bisa aja aktingnya Ibrahim.” Untung saja api itu segera padam.
Mereka terperangah
melihat Ibrahim hangus terbakar, kulitnya mengelupas sampai tulang belulang
tubuh Ibrahim terlihat jelas. Bocah-bocah itu berlarian, menghampiri Kiaji
Dulla, meminta laki-laki sepuh itu menggotong Ibrahim yang hampir habis
tubuhnya dilumat api.
Saya mengelus dada
berulang-ulang, jantung saya seakan mau lepas dari tangkainya mendengar cerita
ini dituturkan oleh Maisaroh, dengan air mata yang tumpah di atas pangkuannya.
Saya tidak menyangka Ibrahim bisa berbuat nekat seperti itu. Tetapi di lain
sisi, saya rasa wajar Ibrahim melakukan perbuatan tolol itu karena umur bau
kencur adalah alasan mengapa ia bisa berbuat sebodoh itu.
Bahkan masih ada
potongan ingatan dalam tempurung kepala saya, sebuah ketololan yang pernah saya
lakukan sewaktu kecil, di usia sama persis dengan anak saya sekarang ini,
delapan tahun. Saya pernah terobsesi menjadi nabi lantaran ustaz ngagi saya menuturkan
perihal mukjizat 25 nabi itu. Saya tercengang mendengar setiap mukjizat yang
dimiliki nabi, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
Uztaz ngaji saya
menjelaskan, tidak akan ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad, kalaupun ada
pastilah ia nabi palsu. Karena saya tahu tidak mungkin saya menjadi nabi, maka
saya berinisiatif bergaya, meniru seolah-olah saya punya mukjizat. Saya hampir
mati tenggelam di laut gara-gara menceburkan diri dan berpikir ikan paus
raksasa akan menelan saya, kemudian akan memuntahkan tubuh saya ke bibir laut,
sebagaimana yang pernah dialami Nabi Yunus. Untung saja seorang nelayan menarik
tubuh saya ke tepi laut.
Bukan hanya ketololan
itu yang saya lakukan, hampir semua mukjizat yang dimiliki 25 nabi itu saya
tiru kehebatanya. Namun tak satu pun berhasil saya lakukan. Barulah saya sadar
setelah hampir tewas, bahwa mukjizat para nabi itu tidak bisa ditiru. Saya
tidak menyangka jika hari ini Ibrahim, anak saya sendiri mengulang ketololan
yang pernah saya perbuat itu.
Empat hari kemudian,
saya mendengar Maisaroh menangis meraung-raung. Dengan sigap, saya berlari ke
kamar Ibrahim. Saya melihat Ibrahim menahan sesak di dadanya, napasnya berada
dalam kerongkongannya. Istri saya itu yang pernah menunggui Bapak-Ibunya wafat
tahu waktunya kapan Ibrahim akan meninggal. Tinggal beberapa menit lagi, kata
Maisaroh pada saya.
“Apa malaikat api itu
ada Pak?” Ibrahim masih sempat bertanya diantara gerak napasnya yang mulai
pendek-pendek.
“Iya ada. Malaikat api
ditugaskan menjaga api. Dia penjaga api neraka.”
“Saya ingin segera
bertemu dia.”
“Untuk apa?”
“Untuk bertanya, kenapa
dia tidak menolong saya sewaktu saya menceburkan diri ke dalam api itu
kemarin.” Saya melihat mata Ibrahim semakin redup. Saya juga mencium aroma bayi
yang baru dilahirkan.
Saya mengulang-ulang
kalimat tauhid di gendang telinga Ibrahim. Ia mengikutinya hingga selesai, dan
beberapa saat kemudian sudah tak dapat saya rasakan lagi hembusan napasnya.
Tumpah seketika air mata Maisaroh. Sementara saya berusaha tegar, menerimanya
sebagai suratan, dan hanya berharap Ibrahim tidak akan pernah bertemu dengan
malaikat api di sana.
Pulau Garam, 2019
*)Zainul Muttaqin Lahir di Batang-Batang, Sumenep Madura 18
November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional.
Meraih Juara II Lomba Cerpen
Se-Nusantara (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kabupaten Sumenep, Desember
2017). Buku kumpulan cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia
Pustaka Utama, Januari 2019). Tinggal di Sumenep Madura. Email; lelakipulaugaram@gmail.com
**Cerpen Tersebut
pernah tayang di Padang Ekspres (TT).
No comments:
Post a Comment