“Ayah,
apa itu koruptor?” Tanya anak pada bapaknya.
Entah
dari mana anak itu mendengar kata sedemikian. Kata koruptor seperti
terngiang-ngiang di kepalanya. Mungkin dia mendengar dari perbincangan
orang-orang dewasa. Akhir-akhir ini kasus koruptor memang kian menumpuk. Para
koruptor sudah seperti tikus-tikus yang menyerang lumbung. Jadi wajar, bila di
tongkrongan-tongkrongan koruptor menjadi topik yang cukup hangat.
Bapak
anak itu memandang bingung anaknya. Dia tak tahu harus menjelaskan mulai dari
mana. Anaknya terlalu muda untuk mengerti tentang koruptor. Sebegitu
berpengaruhkah koruptor? Hingga anaknya pun terpancing keingintahuannya pada
sosok penjahat di depan meja.Namun sebagai seorang bapak, sudah sepantasnya dia
menjelaskan secara sederhana.
“Koruptor
adalah pelaku korupsi, Nak.”
Raut
muka anak itu masih menggambarkan kebingungan. Dia masih sukar memahami
kata-kata bapaknya. Guru di sekolahnya tak pernah sesekali menyebut nama
koruptor, apalagi korupsi. Gurunya hanya mengajarkan tentang hitung-menghitung,
membaca sejarah, dan cara berbakti. Dia masih tak bisa membedakan, mana yang
koruptor dan mana yang korupsi. Dua-duanya berasal dari kata ‘korup’.
Membuatnya beranggapan koruptor dan korupsi adalah saudara kandung.
“Kalau
korupsi itu, apa Ayah?” Tanya kembali anak itu. Jawaban singkat bapaknya, membuat
otak kecilnya menjadi pelik. Dan untuk mengusir perihal tersebut, dia harus
bertanya lagi dan lagi.
Pertanyaan-pertanyaan
anaknya itu telah menguras pikiran bapak. Mana mungkin anak berusia 5 tahun
akan cepat mengerti, pikirnya.
“Kamu
tahu tikus, Nak?” Bapak balik bertanya pada anaknya. Barangkali dengan cara
mengaitkan binatang, akan lebih muda menjelaskan sosok koruptor.
“Aku
tahu Ayah, tikus adalah binatang jelek dan kecil yang suka berkeliaran di
lumbung,” dengan tangkas anak itu menjawab.
Bagi
anak itu, tikus bukanlah perihal yang baru. Ayahnya yang seorang petani,
membuatnya kerap menyaksikan beberapa tikus. Sering kali dia mendengar ayahnya
menghardik tikus-tikus yang menyerang lumbungnya. Sebab itulah, dia sangat
membenci tikus. Menurutnya, tikus adalah binatang jelek yang pemalas. Sehingga
tikus suka mencuri padi untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
“Lalu
apa hubungannya tikus dan koruptor, Ayah?” lanjut anak itu. Dia kembali
bertanya sebab ayahnya tak kunjung menjawab. Dia seperti melihat ayahnya sedang
memikirkan jawaban yang pas.
“Kamu
tahu. Sebenarnya koruptor itu adalah tikus,” jawab bapaknya. Membuat anak itu
melongo heran.
“Tapi
kata orang-orang, koruptor itu manusia, Ayah.” Anak itu kian sigap,
bertanya-tanya soal koruptor. Hatinya makin penasaran pada sosok koruptor.
“Iya
benar. Koruptor adalah tikus berwujud manusia,” dengan santai bapak menjawab.
Sepertinya, dia telah mempersiapkan jawaban-jawaban berikutnya.
“Jadi
koruptor itu adalah tikus yang memiliki kekuatan seperti power rangers, Ayah.”
Anak itu
kembali membayangkan tentang power rangers,
yang sering dia tonton di TV. Seolah-olah sosok yang berubah-ubah dan
menyelamatkan dunia, benar-benar nyata. Namun bedanya, yang ini adalah tikus.
Dia tak
habis pikir, bila tikus bisa berubah menjadi manusia, maka lebih leluasa tikus
mencuri padi di lumbung. Ayahnya tak bisa lagi mengusir tikus dengan sapu lidi.
Butuh peralatan pembasmi yang lebih canggih, untuk mengusir tikus yang sudah
menjelma manusia. Kepala kecil anak itu terus bersikeras untuk berpikir pada
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, bila tikus sudah menjadi manusia.
“Aku
takut, Yah.” Rengek anak itu pada bapaknya. Setelah dia berpikir, tentang tikus
yang bisa berubah menjadi manusia. “Tikus akan makin jahat, Ayah. Tikus tak
boleh berubah menjadi manusia. Nanti Ayah kesusahan mengusirnya.”
“Anak
laki-laki tak boleh nangis, Nak. Nanti kalau sudah dewasa, kamu harus mengusir
tikus-tikus itu dari dunia ini,” bujuk bapak pada anaknya. Dia menyakinkan
anaknya agar tak menangis lagi. Dia tahu, anak-anak akan lebih suka diberi
semangat daripada diberi permen dan balon.
Dengan
cepat, anak itu mengusap sisa-sisa air mata. Dia berdiri dan membusungkan dada
sambil berkata, “Aku akan menjadi power
rangers merah agar dapat mengusir tikus-tikus jahat itu!”
Si bapak
tersenyum melihat anaknya sebegitu bergairahnya. Dia berharap, sosok power rangers yang anaknya khayalkan,
adalah sosok kucing yang akan menerkam habis para tikus, tentu tanpa terbuai
pada bujuk rayu sang tikus.
“Yah, apa menurut Ayah aku bisa menjadi power rangers merah?!” Tanya anak itu
dengan menggebu-gebu. Membuyarkan lamunan bapaknya tentang tikus-tikus yang
kian banyak di negerinya.
“Tentu
Anak Ayah pasti bisa. Malah Anak Ayah akan menjadi orang yang lebih hebat dari power rangers merah.”Bapak memberi
semangat pada anaknya, dengan mengikuti khayalan anaknya itu.
“Memang
ada yang lebih hebat dari power rangers
merah, Ayah?!”
Pertanyaan
anaknya itu membuat sang bapak mati kutu. Dia tak pernah tahu, siapa itu power rangers merah. Dia hanya
berpura-pura tahu, demi membahagiakan anaknya. Patut saja, orang dewasa
sepertinya, mana mungkin menonton tontonan anak-anak. Dia lebih suka dengan
berita-berita politik. Masa kanak-kanaknya pun, masih belum ada TV. Dia
menghabiskan masa itu bermain bersama teman-temannya, bukan nonton power rangers seperti yang
dibangga-banggakan anaknya.
“Ada
dong...,” ucap bapak untuk menutupi ketidahuannya. Anaknya memandangnya
lekat-lekat.
“Apa?!”
“Power rangers merah berhati putih,” ujar
bapak mantap. Dia tersenyum simpul pada anaknya. Anaknya yang masih belum
paham, terlihat kebingungan dengan ucapan si bapak. Entah kenapa, anaknya pun
ikut-ikutan tersenyum.
Sepertinya
masih banyak yang harus diajarkan bapak pada anaknya. Bapak memandang mata
anaknya yang menyimpan beribu-ribu pertanyaan. Matanya berkaca-kaca, sangat
bening—belum dikeruhkan oleh harta dan tahta.
Di satu
sisi, bapak ketakutan apabila anaknya terjatuh ke jurang yang melenceng. Dia
takut, anaknya tak lagi polos seperti ini. Sebab jika sudah dewasa, semua
masalah akan terasa rumit. Akan ada berjuta-juta cobaan yang menunggu. Akan ada
berjuta-juta godaan yang menggiurkan. Bapak selalu berdoa, anaknya akan selalu
berjalan di jalan yang benar.
“Yah,
ayo. ceritakan lagi tentang koruptor. Biar aku bisa mengusirnya dengan
gampang.” Anak itu masih belum puas mendengar tentang koruptor. Mungkin saja,
para koruptor lupa mengorupsi jatah pertanyaan di kepala anak itu.
Kali
ini, bapak membisu sejenak. Dia butuh gagasan, untuk berbicara sesederhana
mungkin dengan anaknya. Namun tak berselang lama, dia pun kembali berujar,
“Sangat sulit untuk menghusir tikus besar itu, Nak.”
“Aku tak
peduli, Ayah! Aku kan, akan segera menjadi power
rangers merah berhati putih. Ini sudah menjadi tugasku sebagai pahlawan.”
Anak itu tampak sangat bersemangat. Dia kembali membusungkan dadanya dan
memukul-mukul dadanya bangga.
“Koruptor
itu punya bahasa sendiri, Nak. Bahasanya...,”
Belum
sempat bapak meneruskan kata-katanya. Seorang CALEG dengan mengendarai mobil
beratap terbuka, berorasi berapi-api “Saya janji! Apabila saya menang pemilu
nanti, hidup warga akan sejahtera!”
“Saya
janji! Apabila saya menang pemilu nanti, hidup warga akan sengsara,” ujar bapak
lirih menerjemahkan bahasa CALEG yang melintas barusan. Perihal itu membuat
anaknya semakin kebingungan.[]
Aljas Sahni H lahir di Sumenep, Madura. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub
Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta salah satu pendiri Sanggar Becak.
*Cerpen ini pernah tayang di Medan Pos, 27 Januari 2019
0 Comments