Aku suka
bermain-main dengan maut. Manakala kalian percaya pada malaikat maut, maka
kalian percaya akan adanya aku. Aku tak memiliki sayap dan wajahku tak
seram-seram amat. Bila malaikat maut yang kalian bayangkan membawa cangkul
bernama trisula, aku hanya membawa pistol dan bedil beserta pelurunya yang siap
membawamu ke alam baka. Akulah malaikat maut modern yang akan mati ditangan
malaikat maut.
Apabila
kembali kuingat-ingat, sudah sekitar ratusan orang yang aku jemput nyawanya
dengan pistol dan puluhan orang yang aku jemput melalui bedil. Aku memang lebih
sering menggunakan pistol. Sebab dengan begitu, aku bisa menyaksikan maut lebih
dekat. Tatkala jari telunjukku telah menarik pelatuk, peluru melesat menembus
pelipis, darah akan mengalir dan maut pun datang dengan sendirinya. Di
saat-saat itulah, aku akan tertawa seperti membanggakan diri.
Kendati
aku sering menggunakan pistol, bukan lantas aku tak bisa menggunakan bedil.
Malahan aku adalah penembak jitu jarak jauh. Hanya sajabila kugunakan bedil,
aku tak leluasa melihat darah segar dan ekspresi orang ketakutan yang
sakrakatulmaut.
Menggunakan
bedil pun aku terpaksa. Sebab, orang yang menyuruhku tak mau bila ada jejak
sedikit pun.
Tentu
saja, orang yang aku bunuh, dan orang yang menyuruhku membunuh, sama-sama orang
penting. Aku suka membunuh. Namun orang yang aku bunuh beberapa hari yang lalu,
nyaris membuatku bergidik.
Tak ada
yang istimewa darinya, dia hanya sekadar orang biasa dengan penampilan
biasa-biasa saja. Bahkan aku membunuhnya dengan tidak sengaja. Ya, aku tidak
sengaja. Kenapa tidak? Walau aku pembunuh profesional, aku juga manusia yang
tak lepas dari salah.
Seseorang
berjas hitam mendatangiku kala itu. Dia bersikap seperti Tuhan, memberi tugas
padaku yang dianggapnya malaikat maut. Jelas aku akan segera bergerak, asalkan
DP jasaku terbayar lunas. Aku akan bekerja apabila sudah ada uang. Kalau tidak,
ya aku akan diam saja. Justru, aku akan membunuh dia yang berani main-main
denganku. Emang dia siapa? Sok memerintah.
Menurut
data, orang yang akan kubunuh adalah seorang mata-mata. Tak mudah bagiku, dapat
membunuh orang yang bermata jeli. Maka ketika pekerjaan menyenangkan ini sudah
selesai, aku akan meminta bayaran tambahan. Perihal itu sudah seringkali
terjadi, kalau orang yang memberi tugas tak mau, terpaksa aku juga harus
mencabut nyawanya.
Tugas
yang satu ini sangat menyiksaku. Kata orang, mata-mata itu suka menyamar. Coba
saja kalian bayangkan, betapa sukarnya aku mencarinya. Aku harus mencari satu
persatu orang yang seperti gambaran—kurus, berjenggot, dan hitam pekat. Aku
harus memasuki kerumunan orang dan memeriksa postur tubuhnya. Sungguh membuatku
kesal.
Sebab
jengkel, aku banyak membunuh orang. Hasrat membunuhku tak bisa aku tahan lebih
lama lagi. Dengan bengis, aku membunuh satu persatu orang yang mirip dengan
postur mata-mata itu. Dari pemulung hingga penjual koran, aku intai mereka,
lantas aku bunuh di tempat sepi.
Beberapa
foto orang yang kubunuh, kusuguhkan kehadapan orang yang memberiku tugas. Tapi
lagi-lagi dia memberi jawaban yang tak kuharapkan. Dia menggelengkan kepala.
Sontak aku beranjak dari sofa, kemudian kembali mencari orang yang akan
kubunuh.
Sungguh
aku kesulitan mencari mata-mata itu. Hampir semua orang berperawakan seperti
gambaran yang dijelaskan, telah kubunuh
dengan sia-sia. Dalam waktu dekat, aku sudah terlalu sering membunuh orang.
Darah bercucuran, mata terbelalak, dan mulut menganga penuh kepanikan yang aku
saksikan, nyaris membuatku bosan.
Dan
pengemis itu adalah orang ke empat puluh sembilan yang berhasil aku curigai.
Dia terlihat ringkih. Tubuhnya kering kerontang, berjenggot dan berkulit hitam
pekat. Tak salah lagi, mungkin dia mata-mata itu, pikirku.
Bila
kulihat lebih saksama lagi, dia tampak seperti pengemis biasa-biasa saja. Dia
meminta-minta pada orang yang berlalu lalang. Raut wajahnya juga menampakkan
sebuah kesedihan menahan lapar. Sejauh ini, dia masih tampak seperti pengemis
pada umumnya. Namun tak aku hiraukan apa yang kulihat. Hatiku berkata, mungkin
dia sudah tahu kehadiranku, sehingga dia berpura-pura menjadi pengemis yang
meyakinkan. Bukankah mata-mata itu
pintar menyamar? Jadi aku tak mau ambil resiko. Aku akan menghampirinya dan
membunuhnya.
Pelan-pelan
aku mengikutinya dari belakang. Aku akan membuntuti hingga ke rumahnya, dan
disanalah aku akan menembak pelipisnya dengan bengis. Entahlah, aku setengah
tak percaya. Dia seperti memberi peluang bagiku untuk membunuhnya. Dia berjalan
melewati lorong sempit, seolah-olah dia tahu aku mengekorinya dari tadi. Apa
mungkin dia memang ingin mati. Sudahlah, aku tak perlu memikirkannya. Tugasku
adalah membunuhnya, itu saja.
“Apakah
di sini adalah tempat yang pas?” Ujarnya seketika.
Ucapannya
membuatku melongo heran. Apakah ini sebuah kebetulan? Pengemis itu seperti
sudah tahu niatanku. Tidak mungkin, sejak tadi aku telah menjaga jarak. Mungkin
saja dia punya maksud lain bilang seperti itu. Ah! Tapi aku tak bisa menepis
pikiranku sendiri. Lorong ini amat sunyi dan sepi, amat cocok untuk membunuh.
“Apa
maksudmu?!” Aku mencoba bertanya. Aku tak mau hidup penasaran, sebab dia
kubunuh sebelum memberi penjelasan.
“Sudahlah
tak usah berpura-pura seperti itu,” ujarnya lagi sambil berbalik arah. Tubuh
kami berhadapan dan mata kami bersitatap. “Kamu mau membunuhku kan.”
Sontak
darahku mendidih, jantungku berdegup sangat cepat dan anehnya tubuhku bergetar
dahsyat. Baru kali ini ada orang yang sudah tahu rencana pembunuhanku. Dia pun
pasrah bila kubunuh. Tak kulihat sedikitpun raut muka cemas atau bahkan
ketakutan. Tubuhnya pun tampak sangat tenang. Dia seperti telah merencanakan
kematiannya sendiri. Bukan dia yang bergidik, malah aku yang bergeming.
“Hey!
Kenapa kamu termenung?”
Dia
membuyarkan lamunanku. Aku kira ini mimpi, ternyata benar apa adanya. Ada
seorang pengemis yang sedang menawarkan dirinya untuk dibunuh.
Angin
mencekam tubuhku. Wajahku tampak pucat dan dingin. Baru kali ini tanganku
bergetar mengangkat pistol. Aku tak tahu perasaan apa yang bergentayangan dalam
batinku. Aku melihatnya tersenyum rendah. Semestinya senyuman itu tersungging
di bibirku. Malah sebaliknya, aku yang bergidik ngeri. Aku seperti bertukar
tubuh dengan orang yang pernah aku bunuh. Aku merasa dihadapkan oleh kematianku
sendiri. Padahal, aku masih memegang pistol yang diarahkan ke pelipisnya.
“Cepatlah,
bunuh aku. Bunuhlah aku seperti orang-orang yang sudah kamu bunuh!”
Dia
masih melontarkan kata-kata mengerikan yang membuat telingaku panas dan tubuhku
bergetar tanpa henti. Siapa dia? Kenapa aku jadi pengecut seperti ini? kenapa
tubuhku tak mau berhenti bergetar? Kenapa batinku tak berhenti bergidik?
“Ingatlah,
sebentar lagi malaikat maut yang sesungguhnya akan menghampirimu!”
Keparat!
Dor! Aku menarik pelatuk. Darah mengalir dari pelipisnya. Aku berhasil
menembaknya. Aku telah membunuhnya. Aku lega, namun kenapa kata-kata terakhirnya
terngiang-ngiang di kepalaku. Dia sudah mati, tapi kenapa aku merasa menyesal.
Aku
memperlihatkan foto pengemis yang aku bunuh. Barangkali, orang itu adalah
mata-mata yang dicari lelaki berjas hitam itu. Namun seperti yang telah
kutebak, bukan pengemis itu orangnya. Aku kesal. Mataku nyalang menatapnya. Aku
mendengus bengis. Sebab orang berjas itu, aku menjadi ketakutan seperti ini.
Aku merogoh pistol dengan sangat geram. Tanpa banyak bicara, nyawanya melayang
dengan sekali tembak.
Langkahku
gontai berjalan pulang. Malam tampak mencekam di tengah hiruk-pikuk kota.
Mataku menatap nyalang tangan-tanganku yang penuh bercak darah. Teriakan
orang-orang yang aku bunuh seperti tengiang-ngiang di kepalaku. Wajah ketakutan
mereka samar-samar seperti berkelabat dalam pikiranku. Maut yang sesungguhnya
akan menghampirimu, kata-kata terakhir pengemis itu masih bergentayangan dalam
dadaku. Membuatku bergidik ngeri dan bergetar dahsyat.
Hingga
kini, aku tersungkur lunglai tak berdaya. Aku benar-benar tersiksa. Kata-kata terakhir
pengemis itu telah menyakitiku. Mataku lebam sebab menahan kantuk. Aku berusaha
untuk tidak memejamkan mata. Karena ketika aku tertidur, mimpiku tak lain
adalah bayangan bengis yang siap mencabut nyawaku. Dalam mimpi, aku melihat
kematianku sendiri. Trisula yang aku lihat di alam bawa sadar, tampak
mencabik-cabik tubuhku dan mencincangnya menjadi potongan-potongan kecil nan
halus.
Aku
benar-benar sudah seperti orang gila.Hidupku malang melintang, rambutku
awut-awutan dan langkahku terseok-seok. Yang dapat kulakukan hanya memojokkan
diri sambil bergidik ketakutan. Saban hari, orang yang telah aku bunuh datang
silih berganti. Mereka seperti ingin membalas dendam. Wajah mereka yang penuh
darah, mata terbelalak, dengan pistol di tangannya menghampiriku dan
menghilang.
Malaikat
maut yang sesungguhnya akan menghampirimu, kata itu kembali terdengar di
telingaku. Kata yang seringkali bermunculan ternyata benar apa adanya. Seorang malaikat yang dikelilingi asap tampak
muncul di hadapanku. Aku kian ketakutan, hingga tak ada yang bisa kulakukan
selain bergidik. Trisulanya tampak berdenting-denting memekakkan telingaku. Aku
melihat cahaya gelap, amat gelap.
“Malaikat maut akan segera mati di tangan malaikat maut yang
sesungguhnya,” ucapku lirih. Penyesalan sudah berada di ujung tanduk. Namun,
semua sudah terlambat. Maut menyiksaku hingga aku mengerang sakit, amat sakit,
tanpa batas.
*Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub
Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta salah satu pendiri Sanggar Becak.
**Sempat tersiar
di Koran Pantura, 18-19 Maret 2019
0 Comments