Dunia gaib seperti kematian menjadi parameter bagi kita untuk
mengukur antara logika dan keyakinan. Hal ini menuntut kita untuk menganggapnya
ada sebagaiamana dituliskan oleh Muna Masyari dalam kumpulan cerpen ini.
Pandangan masyarakat lokal di seluruh nusantara memiliki perspektif yang
beragam dalam memandang hal-hal gaib. Termasuk cara Muna dalam memetaforkan
kematian sebagai jalan penuh khidmat, meskipun secara logis Muna tak menelaah
lebih dalam tentang hakikat kematian, kecuali hanya demi martabat dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Tapi, memang benar apa yang diungkapkan oleh Ludwig Josef
Johann Wittgenstein bahwa ada tiga hal yang tak bisa dijangkau oleh nalar
(logika) manusia: subjek, kematian, dan Tuhan. Meskipun demikian, Muna berarti
mencoba untuk meraba atau menerabas kematian yang abstrak. Dia berusaha
menghadirkan sebuah kematian sebagai tolok ukur kemanusiaan. Memang sangat
bertolak belakang dengan pemikiran Wittgenstein, antara maut dan kemanusiaan: maut
tak akan memandang kemanusiaan, tetapi sebaliknya.
Standar normatif yang digunakan oleh Muna untuk memandang
kematian dalam konteks lokalitas di Madura, dia menggunakan sudut pandang
martabat sebagai pisau bedahnya (hlm. 2). Hal ini juga berbau normatif-relijius.
Dalam doktrin agama (Islam), ada beberapa hal yang patut dipertahankan meski
mati menjadi taruhannya: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menjaga harta
dalam konotasinya juga sangat penting, khususnya bagi lingkungan masyarakat
Madura dan tak menafikan bagi masyarakat lokal di seluruh pelosok nusantara.
Misalkan, kebiasaan carok yang menjadi pandangan
stereotip bagi masyarakat Madura telah tertancap kuat, meski oleh sebagian
kalangan berusaha dinetralisir. Keluarga: anak dan istri merupakan harta yang
juga wajib dipertahankan sebagaimana doktrin dalam agama Islam. Bahkan, harga
diri pun menjadi hal urgen untuk dipertahankan oleh masyarakat Madura, sehingga
demi memertahankan hal itu, carok pun dilakukan sebagai ekspresi pertahanan dan
ketegasan masyarakat Madura.
Kematian dan Ketentuan Tuhan
Memaknai kematian memiliki cara tersendiri dalam setiap
masyarakat di seluruh pelosok negeri. Karya ini merupakan salah satu cara yang
dilakukan oleh Muna untuk berekstase menghadapi lingkungan sosialnya yang penuh
dengan kekentalan sebuah kultur. Kemungkinan besar, masyarakat di seluruh
negeri menjumpai kekentalan sebuah kultur lokalnya yang tak jauh berbeda dengan
kultur yang dihadapi Muna. Tetapi itu sulit untuk dihadirkan dengan mudah melalui
karya tulis sebagai bentuk introspeksi diri.
Secara tidak langsung, Muna sebenarnya menggugat filsuf
sekelas Wittgenstein dengan pernyataannya bahwa tiga hal yang tak dapat
dijangkau oleh rasio manusia: subjek, kematian, dan Tuhan. Dalam karya ini,
Muna mempertegas bahwa bukan hanya hal itu yang tak dapat dijangkau oleh rasio
manusia. Tetapi, jodoh (ketentuan Tuhan) juga sama halnya dengan subjek,
kematian, dan Tuhan sebagaimana dikatakan oleh Wittgenstein (hlm. 20).
Ketentuan Tuhan memiliki makna yang lebih universal.
Universalitasnya bisa mengacu pada kematian dan jodoh, yang biasa kita sebut
sebagai takdir. Gagasan Wittgenstein tentang kematian sebagai kajian filsafat
yang tak bisa dijangkau oleh rasio kiranya sangat tidak tepat. Universalitas
maknanya masih kurang memadai. Di sinilah, dari sudut pandang filsafat, Muna
secara tidak langsung telah membantah Wittgenstein dalam memandang kematian
sebagai bagian dari takdir: ketentuan Tuhan.
Lain halnya lagi ketika dalam tradisi lokal yang dihadapi
oleh Muna bahwa kematian bisa dirayakan dengan begitu megah dan mewah dalam
konteks masyarakat pedalaman di Madura. Berbeda dengan masyarakat urban yang
hidup di perkotaan yang memaknai kematian sangat sederhana. Dalam cerpennya,
Pesta Kematian (hlm. 107), dengan tegas Muna mengisahkan tentang kesakralan
sebuah kematian agar dirayakan untuk menenangkan ruh orang yang sudah meninggal
dunia. Bahkan, sebelum seseorang meninggal, dia telah menyiapkan pesta untuk menyambut
kematiannya.
Dalam karya ini, Muna ingin menghadirkan nilai
kemanusiaan sebuah tradisi atau budaya dalam lokalitas masyarakatnya sebagai
cermin kemanusiaan untuk memaknai segala tradisi yang tentunya tak hanya ada di
Madura. Kamuflase yang dilakukan Muna dalam melihat segala tradisi atau budaya
masyarakatnya cukup baik dengan menyuguhkan intensitas bahasa yang begitu
ritmik, meskipun sebagian kisahnya tergolong absurd di dalamnya. Namun,
hal itu ternetralisir oleh paduan kisah yang berkesinambungan pada satu bagian
dalam setiap judulnya. Begitu.
Judul : Martabat Kematian
Penulis : Muna Masyari
Penerbit :
Sulur
Cetakan :
I, Februari 2019
Tebal : xii + 156 hlm., 14 cm x 20 cm
ISBN : 978-602-5803-28-4
Peresensi : Junaidi Khab*
*Peresensi asal Sumenep, sekarang sedang menempuh Pendidikan Magister Ilmu Linguistik di Pascasarjana Universitas Sebeleas Maret (UNS) Surakarta. Tulisannya
Tersebar di Berbagai Media Lokal dan Nasional.
*Resensi ini juga pernah tayang di Duta Masyarakat edisi Sabtu, 28 September 2019
0 Comments