BEBERAPA jam sebelum perjalan itu, ia mengajakku
bertemu di salah satu warung kopi tertua yang ada di kota kami. Kira-kira
umurnya 20 tahun. Aku tidak perlu menyebutkan namanya di sini. Ia merupakan
kawan kecilku dulu. Rumah kami berdekatan. Setelah aku memutuskan untuk
melanjutkan kuliah ke luar kota, jarang sekali
aku mengetahaui kabarnya, sekalipun lewat telepon. Rupanya ia sudah hamil
sekarang. Jelas sekali perutnya yang buncit dibalut dengan daster warna ungu. Tapi sejak kapan ia
menikah. Mengapa pula ia tidak datang dengan suaminya?
“Bagaimana kabar kuliahmu?” Ia menimpaliku
pertanyaan untuk membuka percakapan di antara kami.
“Untuk sementara ini masih baik, tapi entah ke depan.”
Jawabku sedikit bercanda.
“Kenapa seperti itu?” ia bertanya lagi.
“Ya, begitulah mahasiswa.”
Ia tersenyum tipis. Senyum yang sama. Memang begitulah
ia, sikap pendiamnya masih melekat. Tapi ada y ang aneh dari tatapan matanya.
Pandangannya tidak lagi selembut dulu. Wajahnya pucat. Badannya kurus. Apa
karena ia sudah hamil? Aku masih tak berani menanyakan soal itu. Meski ia kawan
kecilku sejak dulu, entah kenapa aku tiba-tiba sungkan. Mungkin karena aku sudah
jarang bertemu.
Di warung kopi itu hanya ada beberapa orang saja.
Semenjak banyak warung-warung kopi baru yang dibangun di kota kami, warung kopi
tertua ini semakin sepi dari pengunjung. Kami duduk di posisi paling pojok.
Wajar saja orang-orang tidak mendengar tentang apa yang kami bicarakan.
“Kamu beruntung.” Katanya dengan nada pelan.“ Andai saja
dulu aku bisa kuliah sepertimu, mungkin nasibku tidak akan seperti ini.”
“Maksudmu?”
Ia diam sejenak. Pandangannya fokus pada jus jambu
yang sedari tadi ia aduk.
“Tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja aku menyesal tidak
kuliah dulu. Tapi.. akhk, sudahlah, itu tidak penting. Mungkin ini memang takdirku.”
Aku masih tak mengerti dengan pembicaraannya. Ia
seperti ingin menyampaikan sesuatu.
\“Ada apa sebenarnya, mengapa kamu
tiba-tiba berkata seperti itu?”
Ia diam tak menjawab. Kami hanya saling pandang.
Memang benar, pandangannya tidak lagi selembut dulu. Sorot matanya kian
memudar, seperti awan yang tiba-tiba mendung pertanda akan hujan. Soal
kehamilannya, aku masih tak berani menanyakannya secara langsung.
“Apa kamu ada masalah?”
Ia masih tak menjawab. Tangannya masih sibuk
mengaduk-ngaduk jus jambu yang ia pesan. Lalu diteguk nya jus jambu itu untuk
pertama kalinya.
“Oh, iya, berapa hari kamu disini?” Tiba-tiba ia mengalihkan
pertanyaan lain.
“Dua minggu lagi mungkin aku sudah balik. Masih
banyak tugas kampus yang harus aku selesaikan. Bagaimna
kabar ibumu. Apakah keadaannya sudah membaik.”
Ia diam dan menatapku dengan sorot mata mendalam.
Wajahnya tiba-tiba pucat. Seperti ada sesuatu yang hendak ia katakan.
“Itulah sebabnya mengapa aku mengajakmu kemari.”
Ia berkata seperti itu seraya menyodorkanku uang
yang dibungkus dengan amplop warna cokelat. Melihat ketebalanya, sudah pasti
uang itu tidak sedikit. Aku semakin tidak mengerti dengan tingkahnya. Mengapa
tiba-tiba ia bersikap aneh.
“Apa maksud dari semua ini?”
“Untuk kali ini, aku sangat membutuhkan bantuanmu.
Dan aku harap kamu tidak keberatan.”
“Maksudmu?” Aku masih bertanya, heran.
“Setelah ini aku akan pergi. Uang itu kamu gunakan
untuk mengurusi pemakaman ibu.”
Aku kaget mendengar perkataanya.
“Maksudmu? Dia sudah meninggal?”
“Tunggu dulu. Jangan salah paham. Biar aku jelaskan
semuanya. Aku tahu kamu kaget. Bahkan, mungkin tak percaya. Tapi tolong,
biarkan aku bicara.”
Ia meoleh kanan-kiri, memastikan orang-orang yang
berada di warung kopi itu tidak melihat dan mendengar pembicaraan kami.
“Mohon maaf sebelumnya kalau aku merepotkanmu. Aku
tidak akan menanggungi mu beban yang begitu
berat. Hanya saja aku meminta agar kamu bersedia untuk mengurusi pemakamannya
nanti. Ia sudah tidak ada. Aku baru saja membunuhnya.”
Aku terkejut mendengar pengakuannya. “Mengapa kamu
tega melakukan itu.”
“Aku mohon dengarkan dulu penjelasanku. Aku tahu kamu
sangat terkejut. Dan barangkali kamu juga akan sangat membenciku. Tapi itu
terserah, itu pilihanmu. Kamu mau membenciku atau tidak, yang jelas aku hanya
minta kepadamu untuk mengurusi pemakamannya nanti. Aku baru saja membunuhnya.
Tapi aku membunuhnya dengan cara halus. Aku meracuni nya saat aku mengasihnya
makan tadi siang. Sekali lagi maaf kalau aku harus merepotkanmu.
“Tapi itu tetap salah. Meskipun kau membunuhnya
dengan cara halus.”
“Sssstttt..Turunkan sedikit nada suaramu. Aku mohon.
Aku tidak ingin hal ini diketahui banyak oranag.”
Di warung kopi itu, beberapa orang melirik dan melihat
ke arah kami.
“Aku tahu aku berdosa. Dan membunuh adalah hal yang
paling aku takutkan sejak dulu. Tapi itulah satu-satu jalan agar keluargaku
tidak lagi menjadi bahan ocehan semua orang. Kamu sudah tahu bukan, ayahku
telah lama meninggal saat aku masih SMA dulu. Saat dimana kita masih satu
sekolah. Ia meninggal dengan keadaan yansg sangat mengenaskan. Dibacok oleh warga
sekampung, dan mayatnya dibuang ke tengah hutan sebagai santapan binatang buas.
Tidak ada satu orang pun yang mau menghalanginya waktu itu. Tidak ibu, tidak
juga aku. Tapi menurutku itu wajar. Karena ia sering mengganggu istri orang. Semenjak
ia hidup, ia tidak pernah pulang, seolah ia tidak mempunyai tanggungan apa-apa sebagai
kepala rumah tangga. Ia lebih memilih hidup di luar. Berjudi, dan membeli
wanita-wanita jalang demi kepuasan yang menurutku tidak mempunyai keuntungan
apa-apa. Sekali pulang paling ketika uang hasil judinya sudah habis. Padahal,
saat pulang pun ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada lagi sisa perhiasan ibu
yang bisa ia jual. Semua perhiasan milik ibu sudah habis terjual untuk
kesenagan yang hanya ia nikmati satu malam saja. Ibu sakit juga karena ayah.
Ayah kandungku sendiri. Pada waktu itu, ia menyiksa ibu hanya karena ibu
melarangnya untuk menjual kalung yang hanya tinggal satu-satunya. Pada saat
itu, ia menampar ibu dengan keras, lalu mendorongnya pada pintu kaca lemari.
Kepala ibu pecah. Dan itu yang menyebabkan ibu menjadi pikun selama dua tahun.
Setelah pulang dari perawatan seorang dokter, ia hanya terbaring di atas
ranjang. Ibu sudah tidak bisa mengingat apa-apa, sekalipun mengingatku sebagai
anaknya. Semenjak itu pula, dengan kesabaranku, aku mereawat ibu sendirian. Sampai-sampai,
demi ingin mendapat uang untuk biaya pengobatannya. Aku merelakan diriku
terjerumus ke dalam dunia yang sangat hina. Aku terjun ke dunia prostitusi hanya
untuk biaya kehidupan ibu. Di sanalah kesucianku sebagai seorang wanita telah
terenggut, hingga aku menjadi hamil seperti yang sekarang kamu lihat. Jangan
salahkan aku hanya karena aku melakukan hal terlarang ini. Inilah satu-satunya
jalan agar ibu bisa tetap mendapat suapan makan.”
Aku tertegun mendengar perkataanya. Ia menangis
dalam diam. Air matanya seketika mengalir membasahi pipinya yang mulus.
“Membunuh ibu adalah jalan terbaik untuk ku, juga mungkin
untuk orang lain. Aku hanya tidak ingin merepotkan orang lain mengurusi
keadaannya yang tak kunjung sembuh itu, setelah kepergianku nanti. Melihat
keadaannya yang tua dan renta, memang mustahil ibu akan pulih kembali seperti
dulu. Maka dari itu, aku memberanikan diri membunuhnya. Meskipun sebenarnya aku
tidak tega. Semua orang membenciku semenjak mereka tahu bahwa aku hamil tanpa
seorang suami. Ocehan-ocehan buruk pun seringkali mereka lontarkan terhadapku.
Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan orang tuamu sekalipun sudah jarang
menemaniku ketika aku sendirian merawat ibu. Aku tidak punya kawan untuk mengadu
nasib ini, selain kepada mu. Sekali aku mohon, uruslah pemakamannya dengan uang
itu.”
Suasana hening seketika. Aku tak bisa berkata
apa-apa. Aku masih tertegun mendengar semua keluhan nasibnya. Sementara ia
masih menahan isyak tanisnya yang tak lagi dapat dibundung.
“Sekali
lagi aku mohon, uruslah pemakamannya, dan mohon maaf jika aku merepotkanmu. Aku pergi.” Katanya seraya
beranjak dari kursi duduknya.
“Tunggu.”
Aku menarik pergelakan tangannya. “Kamu mau pergi kemana?”
“Jangan
halangi aku. Aku akan mengakhiri hidupku dengan berjalan ke tempat yang paling
jauh, sampai maut mencabut nyawaku di perjalanan itu. ”
“Aku
mohon, jangan halangi aku. Uruslah pemakaman ibu, karena itu jauh lebih
penting.”
Ia
melepaskan tangannya dari genggaman ku.
Kemudian berjalan ke arah arah barat, ke tempat di mana matahari akan
tenggelam.
Kutub, 2018
*Saleojung lahir di Sumenep, Madura. Mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Lesehan Sastra
Kutub Yogyakarta (LSKY) dan Sanggar Nuun Yogyakarta. Beberapa Karyanya pernah
tayang di Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan beberapa media nasional. Gmail: saleojung@gmail.com
*Pernah tayang di Banjarmasin Post, edisi 17 Maret 2019.
0 Comments