Satu
Atlanta
18
hari lagi
Orang-orang
berbicara, berjalan, berlari, melihat, menyentuh, tapi tidak mendengarkan. Mereka mendengar, tapi tidak
mendengarkan. Dunia selalu bising. Kebisingan itu
berlalu begitu saja tanpa pernah didengarkan.
Aku tidak bisa
mengendalikannya, juga tidak bisa membiarkannya. Yang bisa kulakukan hanyalah:
memperhatikan. Lalu apa yang kudapat?
Sebuah
pemikiran, mungkin? Pelajaran? Pengalaman? Tidak, bukan salah satu dari itu,
melainkan hal yang lebih mendalam—lebih menyentuh ke dasar. Aku tidak menemukan
jawabannya sekarang. Mungkin nanti, besok, atau lusa. Yang penting tidak akan
lebih dari 18 hari lagi.
Karena 18 hari
lagi, tepatnya, 1.555.200 detik lagi, aku tidak akan di sini. Karena 18 hari
lagi, semua akan baik-baik saja, mungkin juga tidak. Tapi, masa bodoh dengan
itu.
Sekarang, aku
sudah menghabiskan beberapa ratus detik untuk memperhatikan buku bersampul
putih bersih di depanku. Jadi, jutaan waktu itu semakin lama semakin berkurang
(secara perlahan)
Tanganku
menyentuh pulpen hitam dengan ujung yang tidak terlalu runcing di depanku. Aku
menulis dengan lembut di atas sampul buku itu.
Untuk
Mama
Tolong jangan menyebarkannya kepada siapa pun, termasuk Paman Gin, polisi,
tetangga, teman-temanmu, pembantu, atau siapa pun. Hanya Mama yang boleh
membacanya.
Bibirku terkatup
rapat.
Pada umur 7
tahun, aku berpikir kenapa aku hidup.
Pada umur 17
tahun, aku berpikir untuk mengakhiri hidup.
Dua
Asteria
Aku terbangun
karena mendengar bunyi langkah kaki dari luar kamar. Risa masih tidur saat aku
mengambil tas di sudut ruangan. Aku menggendong tas berukuran sedang itu lalu
menyelinap keluar dari jendela kamar mandi. Kakiku mendarat di tong sampah, lalu
terperosok dan berguling di tanah. Tidak ada jeritan karena aku sudah terbiasa.
Tapi, telapak tanganku tetap terasa perih.
Setelah bangkit
dan membersihkan sampah yang melekat di baju, aku berjalan dengan pelan
melewati bagian belakang rumah Risa. Ibunya sepertinya sudah pulang tadi malam,
dan aku tidak menyadarinya.
Aku melompati
pagar dengan cepat. Udara jalanan yang baunya sudah kukenal sejak beberapa
bulan ini menyambutku. Bibirku gemetar karena kedinginan. Tangan dimasukkan ke
dalam saku celana, kakiku berjalan seperti robot.
Tidak pernah ada
kehangatan di jalanan.
Beberapa
kendaraan bermotor masih terlihat di jalanan bahkan saat dini hari. Lampu-lampu
di beberapa bangunan yang kulewati tetap bersinar terang, tapi ada beberapa
lampu jalanan yang mati, sehingga aku harus berhati-hati saat melewatinya.
Sewaktu sampai
di depan toko roti yang sudah sangat kukenal, aku melemparkan tas ke bangku
semen di depan toko itu dan duduk dengan merapatkan kaki. Sebenarnya aku masih
mengantuk, tapi sekarang sepertinya sudah pukul 4 pagi, sebentar lagi pemilik
toko ini akan datang untuk membuka tokonya. Dia tidak pernah suka jika ada
orang tidur di sini.
Jadi, sembari
menunggu matahari terbit, aku mengeluarkan buku dari dalam tas. Kali ini aku
punya The 100-Year-Old Man Who Climbed
Out of the Window and Disappeared. Novel ini milik Robin. Aku mengambilnya
sewaktu cowok itu sedang sibuk bermain game.
Lagi pula dia tidak terlalu suka membaca buku. Dia hanya menjadikan
buku-buku itu pajangan di rak sebagai bahan pamer. Jadi, secara teknis, aku
tidak mencuri.
Angin terus
menerpa seluruh tubuhku saat aku membaca bagian pertama buku ini.
Manuver
ini membutuhkan sedikit usaha keras karena Allan berumur 100 tahun. Tepat pada
hari ini, bahkan.
Pasti akan
sangat menyenangkan jika orang tuaku bisa bernasib sama seperti Allan. Berumur
100 tahun, sehingga mereka bisa bersamaku selama hampir seabad. Tapi, hidup
tidak pernah selalu menyenangkan.
Kalau saja manusia
bisa melewati penyakit, musibah, bencana alam, dan sebagainya, mungkin mereka
akan bertahan lama. Seperti Allan.
Aku menutup
buku. Memandang langit yang berwana hitam kelam, tak berbintang, dan tak ada
setitik pun cahaya di atas sana. Persis seperti aku.
Entah kenapa aku
bertahan, atau untuk apa. Mungkin karena
aku Asteria, atau karena aku keras kepala.
*Dipetik dari novel "Pantomime" (Bhuana Sastra, 2019), karya Sayyidatul Imamah, novelis muda kelahiran Sumenep, Madura.
0 Comments