BUDAYA Komentar
orang awam tidak dibarengi pengetahuan yang kukuh dan data valid. Senjakala kepakaran
ini bisa dirunut pada sumbernya: Perguruan Tinggi.
Salah satu tanda
matinya kepakaran adalah bermunculannya komentar orang-orang awam di media
sosial atas berbagai persoalan Karlina Supeli (2013) menyebut “Budaya Komentar.”
Masalahnya,
budaya komentar orang awam tidak dibarengi pengetahuan yang kukuh dan data
valid. Akhirnya informasi yang terpapar di dunia virtual adalah pendapat
orang-orang asal bunyi.
Persoalan tersebut
dinarasikan Tom Nichols dalam risalahnya Matinya
Kepakaran: Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Dalam
buku tersebut, Nichols melukiskan massa Amerika yang tidak percaya lagi kepada
para pakar. Kehilangan kepercayaan tersebut bukan lantaran para ahli tidak kompeten,
melainkan karena massa merasa tahu segalanya.
Kemahatahuan orang
awam diteropong Nichols dengan Efek Dunning-kruger. Secara singkat Efek
Dunning-Kruger menjelaskan semakin bodoh seseorang, semakin yakin bahwa ia
sebenarnya tidak bodoh. Ketidakahlian orang-orang itu menutupi kemampuan
menyadari kesalahan.
Kesombongan
yang tidak pada tempatnya tersebut, salah satunya, disebabkan banjir bandang
informasi di internet. Mobilisasi informasi yang tak terbendung bukan justru
menambah pengetahuan yang benar terhadap suatu isu, melainkan menjerumuskan
massa ke dalam kubangan berita daif dan kian mendorong bangkitnya era pasca
kebenaran.
Obesitas
informasi di internet mempermudah akses ke "pengetahuan" yang
digunakan orang-orang untuk melegitimasi keyakinannya. Nichols menyebutnya
"bias konfirmasi. "Istilah ini mengacu pada kecenderungan mencari
informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang
hanya memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang
suatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran" (hlm 56). Bias konfirmasi
mencegah kemampuan seseorang memfilter dan menyeleksi mana informasi yang benar
dan yang mana data yang salah.
Kehadiran
google sebagai mesin pencari data
membantu orang-orang narsis dan sok tahu untuk mengomentari sesuatu yang bukan
keahliannya. Kemudahan tersebut juga dimanfaatkan para selebritas dan social climber untuk menarik pengikut.
Pengaruh figur publik tersebut tentu saja berbahaya jika mereka memberikan
informasi yang salah. Massa sering kali percaya kepada idolanya yang menolak
vaksin daripada dokter.
Senjakala
kepakaran juga Nichols runut dari sumbernya: Perguruan Tinggi, bagi dia,
perguruan tinggi di Amerika tidak lagi melahirkan cendekiwan. Hal itu
disebabkan komodifikasi perguruan tinggi. Hubungan antar-civitas academica menjelma pedagang-pembeli.
Mahasiswa
adalah klien yang keinginan-keinginannya harus dipenuhi kampus. Disorientasi
lembaga pendidikan tinggi terjadi jika birokrasi kampus, dosen, dan kurikulum
disesuaikan dengan keinginan mahasiswa yang menghendaki kenyamanan -untuk
menghindari kata manja. Dampak kapitalisasi universitas mencetak para sarjana
yang tidak memiliki kemampuan dasar di bidangnya.
Inkompetensi
lulusan perguruan tinggi menambah ketidakpercayaan publik kepada para para
pakar. Dampaknya, para ahli yang benar-benar berkompeten turut tersingkir.
Kasus-kaus malapraktik para pakar juga kerap mempertebal keengganan massa
kepada kaum ahli. Ibarat nila setitik rusak susu sebelangga, massa menghapus
seluruh sumbangsih yang telah para pakar abdikan sepanjang hidupnya hanya
karena satu kesalahan.
Membaca
Matinya Kepakaran terkadang
mengesankan bahwa penulisnya agak feodal dan elitis. Namun menyerahkan persoalan
tertentu kepada orang-orang yang bukan ahlinya tidak hanya kurang tepat, tetapi
juga menimbulkan chaos.
Matinya
kepakaran merupakan residu demokrasi yang harus dimaknai ulang bahwa setara tidak
berarti sama dalam semua hal. Egaliter dalam demokrasi hanya kesetaraan dalam
ruang politik dan hak-hak warga negara.
Nichols
cukup rendah hati dengan mengemukakan bahwa objek pengamatannya dalam ruang
lingkup publik Amerika saja meski fenomena tersebut, barangkali juga terjadi dimana-mana.
Di indonesia yang tingkat penggunaan masyarakatnya terhadap media sosial amat
tinggi, riset Nichols begitu relevan. Di Facebook,
misalnya, tiba-tiba semua orang menjadi pakar. Persoalan freeport dan utang
negara dikomentari para social justice
warrior yang memuaskan bias konfirmasi massa. Fatwa para ustad seleb
dadakan lebih didengarkan daripada pendapat para ulama yang telah belajar di
pesantren dan perguruan tinggi agama bertahun-tahun. Disitulah otoritas kaum
awam menduduki kursi kekuasaannya.
Judul :
Matinya Kepakaran
Penulis : Tom Nichols
Penerjemah : Ruth Meigi P
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal :
xviii+293
Peresensi : Royyan Julian
*Royyan Julian.
Dosen bahasa & Sastra di Universitas Madura dan Sivitas Kotheka
*Resensi ini juga pernah tayang di Jawa Pos Edisi Minggu 24 Februari 2019.
0 Comments