![]() |
MASIH melekat
dalam ingatanku pada saat Ayah ditangkap oleh polisi. Peristiwa itu terjadi dua
tahun yang lalu, pada saat aku pulang kampung dalam rangka liburan Idul Fitri.
Aku, Ibu, Ayah, dan kedua adikku yang pada saat itu baru selesai buka puasa,
tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan aparat kepolisian dan beberapa orang
yang berpakaian preman dengan membawa surat penangkapan terhadap Ayah. Sontak,
suasana di rumah kami yang sebelumnya penuh dengan canda tawa berubah menjadi
ketegangan.
“Apa salah suami
saya?” tanya Ibu.
Tanpa
menanggapi pertanyaan Ibu, salah satu polisi yang di kedua bahunya tersemat
tanda tiga bintang kebesaran memerintahkan anak buahnya untuk memborgol Ayah.
“Jangan tangkap
suami saya,” teriak Ibu. Suaranya semakin keras. Kulihat air jernih mengalir
dari sepasang matanya.
Sementara
aparat itu sibuk memborgol Ayah, aku berusaha menenangkan Ibu yang tangisannya
semakin histeris.
“Jangan sampai lupa,
bawa semua bukti yang tersimpan di laptop-nya,” perintah polisi yang yang
lain.
Para aparat itu
langsung beranjak menuju tempat kerja Ayah yang berada di lantai atas. Dan aparat
yang lain beranjak menuju bagasi mobil. Jangan lupa juga bawa semua kendaraan
yang ada di dalam bagasi itu, perintah atasannya dengan suara sedikit lantang.
“Mau dibawa ke
mana barang-barang kami?” tanya Ibu.
“Semua
barang-barang mewah ini kami sita,” jawab salah satu polisi, kecut.
“Ada apa ini sebenarnya? Jangan-jangan......,”
tiba-tiba pikiran negatif muncul di kepalaku. Aku hanya takut, Ayah mengikuti
jejak para pejabat negara yang terpaksa menjalani sisa hidupnya di balik jeruji
besi gara-gara tersangkut kasus korupsi.
“Tidak, tidak,
tidak mungkin. Ayah kan dikenal sebagai abdi negara yang baik dan bersih. Dan
setahuku, selama ini beliau tidak pernah bermasalah,” hatiku benar-benar
berkecamuk.
Setelah Ayah
dibawa oleh para aparat itu, air mata Ibu semakin mengalir deras di bahuku.
Gusti, apa
salah kami? Kenapa semua jadi seperti ini? Malam Lebaran yang seharusnya
dilalui dengan kebahagiaan, malah jadi seperti ini. Ah, aku jadi iri pada teman
kosku yang katanya akan menghabiskan malam lebaran dengan berjalan-jalan sambil
mengikuti takbir keliling di kampungnya. Ada juga teman kampusku yang bilang katanya
mau melewati malam takbiran kali ini dengan berkunjung ke rumah kakeknya yang
jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumahnya. Sepertinya aku di rumah saja
bareng Ayah, Ibu, dan kedua adikku, begitulah aku menjawab pada saat
teman-temanku bertanya perihal malam lebaran. Tapi jika melihat dengan yang
terjadi malam ini, semuanya berjalan tidak sesuai rencana.
Jam di dinding
menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Suara takbir kemenangan masih
terdengar jelas di telingaku. Sementara itu aku masih menemani Ibu yang mulai
tadi tak henti-hentinya menangis. Kedua adikku yang masing-masing umurnya belum
genap sembilan tahun sudah terlelap.
“Sudahlah, Bu, enggak usah menangis terus,” kataku pada
Ibu. “Serahkan semuanya pada Allah. Lebih baik Ibu istirahat. Malam sudah larut,”
bujukku, mencoba menenangkan.
Kuselimuti
tubuh Ibu biar tidak kedinginan. Mata beliau tampak membengkak. Kumatikan lampu
tidur. Setelah itu aku keluar dari kamar beliau.
Karena belum
mengantuk, aku menyalakan televisi. Betapa terkejutnya aku setelah alat
elektronik itu menyala. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan berita tentang
kasus yang menimpa Ayah. Aku baru sadar, ternyata kejadian yang tadi itu
diliput oleh media.
“Satu lagi,
seorang wakil rakyat yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang baik dan
bersih tersandung kasus korupsi,” begitulah kira-kira berita yang dibacakan
oleh si pembaca berita.
Mau
disembunyikan di mana mukaku ini? Betapa malunya aku jika teman-temanku tahu
kalau wakil rakyat yang pada malam ini menjadi topik pembicaraan karena
tersandung korupsi yang diberitakan seluruh media adalah Ayahku. Aku jadi tidak
semangat untuk kembali ke Yogya. Tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk
berhenti kuliah.
* * *
Beginikah
rasanya jadi orang miskin? Sudah hampir empat hari perutku tidak dimasuki
makanan. Hutangku pun pada teman-teman sudah menggunung. Dan tragisnya, hampir
tiga pekan dompetku kosong. Aku benar-benar menderita. Terkapar sendiri di
dalam kamar.
Kehidupanku
berubah seratus delapan puluh derajat celcius setelah Ayah mendekam di
dalam penjara. Aku yang dulu hidup sejahtera, sekarang benar-benar menderita.
Sekarang aku tidak bisa mengandalkan kiriman orangtua. Bagaimana Ibu mau ngirim
aku, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan menyekolahkan kedua adikku saja
beliau pinjam pada tetangga.
Kehidupan kami
benar-benar hancur. Kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Kami harus segera
beradaptasi dengan kehidupan baru kami. Ibu yang dulu kerjanya hanya pergi ke
salon dan menghambur-hamburkan uang Ayah untuk shoping, sekarang harus
rela dan ikhlas menerima kenyataan dengan aktivitas barunya, menjajakan kue di
pasar. Dan aku sendiri, yang sejak kecil dimanja dan hidup serba berkecukupan,
apalagi pada saat aku kuliah yang kiriman setiap bulan tidak kurang dari tiga
juta, sekarang harus ikhlas menjual koran di perempatan jalan, menjadi operator
warnet dan sabar menunggu honor tulisan.
Banyak hikmah
yang aku petik dari semua ini. Aku yang dulu hanya berfoya-foya dan menghambur-hamburkan
kiriman orangtua, yang kerjanya hanya mabuk-mabukan dan setiap malam selalu
dugem, kini aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk membaca buku dan menulis.
“Aku tahu pada
kondisimu sekarang. Kehidupanmu tidak seperti kemarin-kemarin yang serba
berkecukupan. Menulislah di media,” ujar salah satu temanku yang
tulisan-tulisannya sudah sering nampang di media. “Kalau kamu menulis, selain
kamu berkarya, kamu juga akan dapat honor dari hasil tulisanmu yang dimuat
itu,” tambahnya seraya memperlihatkan salah satu tulisannya yang dimuat di
salah satu koran nasional.
“Apa aku bisa
seperti temanku ini? Bukankah aku tidak pernah punya pengalaman dalam dunia
tulis-menulis!” kataku dalam hati. Itu sangat mustahil. Tapi tiba-tiba sebersit
kepercayaan tumbuh di benakku. Jika aku benar-benar serius dan semangat belajar
menulis dan juga tidak pernah bosan berdo’a, aku yakin pasti bisa seperti
temanku itu.
* * *
Lebaran sudah
tinggal beberapa hari lagi. Rencananya malam ini aku mudik. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, nanti setelah selesai shalat id, aku, Ibu dan kedua adikku akan
mengunjungi Ayah di penjara. Tiba-tiba aku sangat merindukan Ayah. Ah, aku jadi
tidak sabar untuk mudik.
Dengan uang
hasil dari honor tulisanku yang dimuat di salah satu koran lokal serta beberapa
hasil dari menjual koran, akhirnya aku mudik dengan menaiki bus kelas ekonomi.
Jika tidak ada aral melintang, besok pukul sembilan pagi aku akan sampai di kampungku.
Baru satu jam
lebih bus yang aku tumpangi meninggalkan Yogya. Kira-kira butuh sebelas jam
lagi untuk sampai di rumah. Karena mengantuk, aku pun memejamkan mataku.
“Koran, koran.
Ada berita hangat hari ini,” suara beberapa penjual koran yang mondar-mandir di
dalam bus membangunkanku. Tanpa terasa, hari sudah pagi.
“Korannya satu,
Mas,” kupanggil penjual koran yang memakai topi berwarna putih itu. “Mungkin
saja cerpenku dimuat. Hari ini kan hari minggu,” kataku dalam hati.
Betapa
terkejutnya diriku setelah nama Ayah menjadi headline di koran yang aku
pegang.
“Seorang mantan
wakil rakyat yang dua tahun lalu ditetapkan sebagai terdakwa kasus korupsi
menghembuskan nafas terakhirnya di balik jeruji besi dengan cara gantung diri,”
begitulah tulisan yang terpampang di koran lengkap dengan foto Ayah.
Aku benar-benar
terpukul. Air bening pun terus-menerus, tanpa terbendung mengalir deras dari
sepasang mataku. Kuambil ponselku yang kutaruh di dalam tas bermaksud
menghubungi Ibu. Dan ternyata setelah ponsel kunyalakan, inbox di
ponselku penuh dengan sms Ibu. Cepat pulang, Ayah sudah tiada, begitulah
salah satu sms Ibu.
Perasaanku
semakin tak karuan.
Masih tinggal
berpuluh-puluh mil lagi untuk sampai di rumah, namun aku seperti sudah berada
di samping jenazah Ayah. Aku bisa membayangkan bagaimana jenazah Ayah
dikelilingi keluarga dan tetangga-tetanggaku sambil membacakan ayat suci
Alqur’an.
Madura-Yogya, 2013
*Dipetik dari cerpen karya Fajri Andika, alumnus Sosiologi UIN Suka Yogyakarta.
*Pernah tayang di Riau Pos. edisi Ahad 13 September 2015.
0 Comments