PUTIH, gemuk, dan lembek, seperti gajih.
Namanya belatung. Kelak, ia akan menyembul dari lubang telingamu dan
menggerogoti kenangan-kenangan di dalam kepalamu. Tanpa sisa! Semua kenangan di
dalam kepalamu lalu sempurna hilang. Bahkan termasuk nama anakmu, Gara.
Lengkapnya, Kynan Garawiksa.
“Kenapa aku kok mesti mondok, Yah?”
tanyanya di suatu malam seusai menyantap mi goreng kesukaannya yang rutin
kubuatkan.
Sekenanya saja aku menjawab—kepada anak
berusia dua belas setengah tahun, tak bijak bila kuderakan jawaban panjang
bahwa kau harus memiliki ilmu pengetahuan yang dalam dan luas agar nalarmu bisa
selalu kritis dan pula kau mesti mengasah hatimu dengan laku-laku riyadhah agar
hatimu jernih supaya kelak kau tak menjadi cebong atau kampret yang sama-sama
bebal, tengik, bacin, dan bau comberan mampat akhlaknya—“Supaya kelak jika
sudah beristri dan beranak-cucu, kamu bisa mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan
baik dan bijak.”
Gara bertanya lagi, “Di pondok ada
Indormart-nya nggak, Yah?”
“Oh, ada, ada,” jawabku cepat. Ini
pertanyaan enteng, sangat enteng, maka jawabannya pun enteng, sangat enteng.
Toh, jika pun ternyata tak ada, tak sulit bagiku untuk mengadakannya. Kau ini,
Nak, kayak lagi berurusan sama siapa to?
Sebuah tangisan pecah dari mulut seorang
lelaki sebaya Gara. Ada dua larik pekikan yang mengiris wajah langit, juga
hatiku. Semua mata seketika menyergap tubuhnya yang berguncang. Sedihnya ia
ditinggal orang tuanya, gumamku, hatinya pasti sangat tersayat. Anak baru umur
12-13 tahun, betapa masih kecilnya. Seno Gumira Ajidarma barangkali belum
pernah menyaksikan jerit pilu seorang anak sekecil itu yang menangis karena
harus tinggal di pesantren dan berpisah dengan orang tuanya. Juga dunia
kanaknya. “Tiada yang lebih sedih dari hati seorang perempuan yang menangis
karena cinta,” kata Seno. Ah, ada-ada saja Seno ini. Semoga Gara selalu
baik-baik saja, tak menangis seperti anak itu, doaku dalam hati.
Gara sekilas tersenyum kecil kepada anak
yang menangis itu dengan ekspresi wajah yang sangat kuhafal. Tiap lekuk wajah
dan tubuhnya, aku hafal. Kau tanya apa saja tentang Gara, spontan aku akan
sangat bisa menceritakannya. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya…
Orang-orang yang berkerumun di emper
Masjid Pandanaran ini, dengan memojok atau melingkar bersama anak
masing-masing, pelan demi pelan mulai beranjak seiring kumandang azan Asar.
Waktu mengingsut—pelan memang, lebih pelan dari langkah bekicot, tapi dengan
pasti selalu maju, tak pernah berhenti. Sebagian besar pergi dan tak pernah
kulihat lagi. Sebagian lain ikut salat, juga aku dan Gara.
Usai salat, usai Gara mencium punggung
tanganku, aku berbisik padanya, “Le, kerasan ya di sini….”
Ia mengangguk, dengan sedikit
tersenyum—senyuman yang kuhafal dengan hafalan yang lebih kukuh menghunjam
daripada hunjaman hafalan Al Mulk.
Di emperan, istri dan dua anakku, serta
Budhe Iis dan putrinya, Bella, telah menunggu. Gara ditawari pengin jajanan apa
oleh mama dan budhenya. Ia bilang sate ayam. Di sisi selatan masjid, sejarak
sepuluh langkah, ada pedagang sate ayam pakai sepeda motor yang sedang mangkal.
Aku pun beranjak membelinya buat Gara.
Begitu kembali bersama sebungkus sate
ayam, sekitar sepuluh menit berselang, kulihat mamanya sedang memeluk Gara.
Sangat erat. Erat sekali: helai-helai angin pun takkan sanggup menyapih jarak
keduanya.
“Sudah, sudah, Mah, nanti berat sendiri
kalau mau pamit,” ujarku. Mereka saling berlepas pelukan, lalu Gara menerima
bungkusan sate dariku, dan menyantapnya dengan lahap.
Rabu, 19 Juni 2019. Jika kau bersua
denganku sepuluh tahun lagi, itu pun bila aku berumur panjang dan kau pun
begitu, tanyakanlah padaku apa yang kukatakan dan kurasakan pada pukul 16.00
itu.
“Bagaimana perasaan Bapak ketika
melepaskan Gara saat itu….?”
Sepuluh tahun lagi, pertanyaanmu itu
masih akan sangat perkasa membuatku terdiam beberapa jenak, memaksa mataku
terlontar ke ketinggian langit malam yang jelaga, lalu ingatanku melesat jauh,
sangat jauh, ke setangkup wajah kecil yang amat kusayangi, yang tak lagi ada di
depanku. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya, maka ia adalah selalu seorang anak
berwajah kecil yang gemar merekahkan senyum dengan gigi putih berbaris di
depanku. Baju kokonya hitam. Pecinya hitam. Sarungnya agak menggembung di
bagian perut karena cara ia menggulungnya dibuntal-buntal begitu saja
sekenanya, asal nyantol.
“Ayah mau ke mana? Aku ikut….” Gara
selalu mengucapkan kalimat itu setiap aku akan pergi dari rumah, sejak ia berumur
tiga atau empat tahunan. Siang atau malam. Hujan atau terang.
“Ayah mau ketemu teman, Le.”
“Teman siapa?”
“Ada teman bisnis.”
“Di mana?”
“Jauh, di Jalan Kaliurang.”
“Aku ikut ya….”
“Jangan, Le, besok kamu kan sekolah.
Nanti saja kalau pas liburan, kamu boleh ikut.”
“Ehmm…ehmmm….” Wajahnya merengut kecewa,
lalu membalikkan badan dari hadapanku, kemudian rebahan di depan tivi atau
menjamah HP di meja.
Sepulang dari Jalan Kaliurang, nyaris
pukul 00.00, tangan Gara-lah yang membukakan pintu garasi buatku. Wajah
kecilnyalah yang kujumpai pertama kali. Suaranyalah yang pertama kali
menyambutku.
“Kok belum tidur, Le?”
“Aku nggak bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Nunggu Ayah….”
Wajah kecilnya menyunggi rekahan senyum,
deretan giginya yang putih berbanjar di kelopak depanku. Lalu… Aku tak sanggup
lagi mengeluarkan kata-kata apa saja, selain segera mengelus kepalanya,
menjamah pundaknya, dan menggandengnya masuk ke depan ruang tivi atau kursi
panjang di dekat dapur.
“Mau mi?”
“Mau…”
“Sebentar, ya, Ayah buatkan.”
Ia akan terus menemaniku hingga mi
goreng buatanku tandas dilahapnya. Kemudian ia kuminta naik ke kasur di kamar
depan, di sebelah mamanya, untuk tidur. Ia pun tidur. Bersebelahan denganku.
Kerap kutindihi, dengan sengaja, semata untuk kurasakan hangat kulit tubuhnya
menjalari kulit tubuhku. Pori-pori kulitnya hangat, selalu hangat, menyelam ke
dalam hatiku…
Kuelus kepalanya yang berpeci hitam,
kubacakan salawat beberapa kali, kutatap sekujur wajahnya dan hatiku melepas
jangkar di matanya yang jernih. ’’Le, kerasan ya di sini, baik-baik sama
teman-teman, ikuti semua aturan dan perintah guru-guru, ya…”
Sejumlah santri yang rata-rata sepantar
dengan Gara terlihat bercanda di sekitar emperan masjid ini. Suara kaki-kaki
mereka bergedebak, berlarian. Cekikikan-cekikikan berlesatan. Dan, nun jauh di
sana, di kampung masing-masing, para orang tua mereka tentulah sedang mengelus
dada dan kepala menanggung epitaf rindu yang tak terperikan perihnya.
“Sebulan atau dua bulan, Gara insya
Allah juga akan begitu, seperti mereka, kan?” gumamku seakan sedang mengajukan
pertanyaan yang tak perlu jawaban kepada Tuhan.
“Ayah tenang saja, aku kayaknya sudah
kerasan kok. Di sini banyak teman, jadi bisa enak mainnya, hehe…” Suara Gara
menerabas bukan ke liang telingaku, tapi ulu hatiku. Merobek takhtanya di dalam
sana dan terus membekas hingga berpuluh tahun kemudian begini.
“Amin, alhamdulillah,” ketika ucapan ini
keluar begitu saja dari mulutku menimpali sahutan Gara, mataku terlontar ke
seberang, ke jalanan, melintas kelindan tembus ke mana-mana, berpuluh tahun
silam kala abah dan ibu yang telah tiada mengantarku ke Pondok Denanyar,
Jombang, dan meninggalkanku di antara orang-orang asing itu.
Aku mengisak seusai salat Magrib
berjamaah. Sejumlah anak sebayaku juga menangis. Ibu, bertahun kemudian saat
aku telah jadi mahasiswa, berkisah tentang pilunya ia sampai berderai air mata
di dalam bus selama perjalanan pulang ke Madura karena harus terpisah denganku,
anaknya, dan aku tertawa ngakak seusai menyimak kisahnya.
Sekarang, Gara tak menangis, ia malah
berkata mulai kerasan, dan tepat pada desiran ucapannya itu akulah yang justru
menangis. Pondok membuatku menangis dua kali: dulu saat ditinggalkan orang
tuaku dan kini saat mesti meninggalkan anakku.
Debu-debu, sesekali, berkesiut disaput
angin. Dalam hitungan menit, senja akan sempurna tandang, lalu digulung kelam,
semakin hitam, hingga sempurna legam.
“Le, sudah sore, saatnya Ayah pulang.
Ayah pamit dulu, ya,” kataku setelah memastikan air mataku tak lagi tersisa di
kelopak mata. Bukankah sebaiknya anak tak boleh tahu bahwa ayahnya sedang
menangis karena dera nestapa hidup menjadi seorang ayah?
“Iya, Yah…”
“Nanti hari Jumat, insya Allah Ayah ke
sini lagi menengokmu.”
Ia mengangguk. Lalu kurenggut tubuhnya
ke dadaku, kupeluk dengan sangat dalam, dalam, dan dalam sekali. Beri aku kata
yang lebih tebal dari kata ’’dalam”, maka pelukanku masih lebih tebal lagi.
Mamanya lalu memeluknya. Kemudian budhenya. Lalu kakaknya, adiknya, dan
sepupunya. Mereka lantas menyeberang ke sisi kiri di depan masjid, aku melaju
ke parkiran di sisi utara, Gara tampak berdiri di ujung teras masjid.
Nyaris sepuluh menit kemudian, aku baru
berhasil melintas di depan masjid, di seberang Gara berdiri, di tempat tadi aku
menangis. Dan Gara masih setia berdiri di situ! Ia berdiri dengan tangan
melambai-lambai ke arahku di balik kemudi, berkali-kali mengecupkan jari-jari
ke bibirnya, sembari memanggilku.
“Yah, Ayah.”
“Le, dadah, assalamualaikum.” Mobilku
berhenti di tengah jalan, kemacetan sejenak mengular, hingga seseorang
melambaikan tangan kepadaku memberi isyarat supaya aku segera melaju. “Le,
baik-baik ya, Nak…”
Kalimat terakhir yang bisa kukatakan itu
merobek kembali takhta hatiku dan deraslah hujan di mataku di depan kemudi. Ini
kali ketiga aku menangis di pondok. Istri dan kerabat segera naik ke mobil di
tepi jalan, berseberangan dengan tubuh Gara yang masih tampak mematung di ujung
teras masjid.
Aku sengaja tak menolehinya lagi.
Sengaja, Le!
Ia tak boleh tahu bahwa ayahnya menangis
karena kehilangannya. Toh, tak semua hal tepat baginya untuk tahu hari ini dan
biarlah waktu yang kelak akan memberitahunya betapa melepaskannya di pesantren
merupakan peristiwa hebat yang membuatku menginsafi satu hal perihal pernah
sombongnya aku kepada Tuhan. Dulu, aku pernah berkata di depan jamaah pengajian
bahwa aku pasti tidak akan meneteskan air mata seumpama di suatu masa Tuhan
menakdirkanku lebih dahulu kehilangan anakku sebelum anak-anakku merasakan luka
kehilanganku.
“Aku ternyata sombong sekali ketika
mengatakan hal itu atas nama kukuhnya tauhidku kepada-Nya. Tapi, aku tak bohong
ketika barusan berkata padamu bahwa kepergian Gara dari rumah ini adalah
kehilangan yang masih mengandung harapan nyata untuk berjumpa lagi dengannya di
Jumat yang akan datang, yang sungguh harapan itu tak lagi ada dalam perpisahan
karena melepas kematian,” kataku kepada mama Gara.
Mama Gara terdiam, mengusap matanya yang
berlinang, dan pelan-pelan kembali melanjutkan makan malamnya dengan tidak
lahap. Kulihat ada Gara di piringnya, di setiap suapannya, di setiap
kunyahannya, di setiap kedipan matanya, di setiap tetes air matanya. Dadaku
nyeri, sangat nyeri. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya…
“Jadi, bagaimana perasaan Bapak saat
melepaskan Gara saat itu?”
Kumasuki kamar Gara yang diisi 12 anak
dengan langkah tergesa. Sungguh tak sabar ingin menatapinya, memelukinya. Ia
tak ada di kamar!
Aku pun keluar, menaburkan pandang ke
segala penjuru, mencari hatiku yang berwajah kecil itu dan senyumnya yang
kuhafal sehafal-hafalnya. Selarik suara yang amat kukenal menerpaku tiba-tiba
dari arah belakangku. Suara Gara!
“Leee…..” Kupeluk ia, kuelus kepalanya.
Sepiring nasi putih tergenggam di tangan kanannya dengan bibir piring
ditempelkan begitu saja ke baju kokonya. Beberapa butir nasi menempel ke baju
kokonya. Kau benar-benar tetap anakku yang kecil itu, Le….
“Kok makannya nggak ada lauknya, Le?”
“Iya, kantinnya masih tutup jadi cuma
dapat nasi dan sayur. Kalau lauknya kadang pakai abon, dikasih teman.”
“Pernah makan tanpa abon?”
“Ya pernah. Nasi sama sayur asem saja.”
Melepaskan Gara. Tanganku menggandengnya
menuruni tangga kamarnya, lalu melaju ke luar, ke sebelah pondok, setelah
kukatakan mamanya sedang menunggu di luar dan membawakannya banyak ayam goreng
KFC kesukaannya.
“Sebagian nanti kukasih teman-teman
kamar ya, Yah. Kasihan pada lama nggak makan ayam goreng.”
Inilah, Le, apa yang dulu ayah maksudkan
dengan gumaman betapa pintar ilmu saja, taklim, tidaklah cukup untuk
menyelamatkanmu dari pagebluk cebong dan kampret. Kau harus menarbiyahi hatimu
agar jernih dengan laku-laku riyadhah di sini sehingga akalmu, ilmumu, bisa
terpancari kejernihannya.
Gara menyantap dengan sangat lahap
setiap iris ayam goreng KFC bawaan mamanya. Sesekali terdengar suaranya
bercerita tentang sandal, sikat gigi, odol, dan gantungan bajunya yang
di-ghasab, juga ziarah kuburnya ke makam Mbah Mufid.
“Siapa?” tanyaku.
“Mbah Mufid.”
“Kamu sudah bisa bilang Mbah sekarang,
ya, Le.”
“Ya kata teman-teman semua juga
bilangnya Mbah Mufid gitu, Yah.”
“Memangnya siapa beliau, Le?”
“Pendiri pondok ini.”
Tentu aku hanya sedang mencandainya
dengan pertanyaan itu. Ia telah benar-benar menjadi santri—sebagaimana aku
dulu.
Tetapi, aku sama sekali tak secuil pun
menyelipkan candaan tatkala di sore hari, seusai asar, pamit kepadanya sembari
berdoa di dalam hati: Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
karuniakanlah mata air kasih dan sayang-Mu kepada anakku ini berupa ilmu-ilmu
yang bermanfaat; ilmu-ilmu yang mengalirkannya pada danau kesalehan, bukan
sekadar kealiman, dan lautan akhlak karimah, agar kelak ia tumbuh menjadi sosok
yang migunani tumraping liyan. Amin.
Sekarang, kau sudah berhasil merasakan
derasnya bah perasaanku saat melepaskan Gara?
Putih, gemuk, dan lembek, seperti gajih.
Namanya belatung. Ketika belatung-belatung semakin riuh keluar-masuk dari
seluruh lubang tubuhku, termasuk telingaku, makin sempurna memamah jasadku,
kepalaku, dan seluruh kenangan di dalamnya, hingga aku tak lagi berbentuk
serupamu, dan kau pasti akan jijik benar umpama menyaksikan keadaanku, di suatu
malam yang gigil dan kelam, sangat kelam. Seorang lelaki kusaksikan dari balik
awan-awan seputih kapas sedang menangis seorang diri hingga dadanya
bergelombang di teras belakang rumahnya seusai membaca cerita lama ini.
Untukmu di alam kubur, Yah, Al Fatihah,
bisiknya dalam hati sembari menyeka air mata. Dialah Gara, anak ayahnya, aku,
yang sore tadi tersayat-sayat hatinya karena mesti melepaskannya di sebuah
pesantren yang terkenal dengan amaliah salawat, yang selalu membukakan pintu
garasi untukku di malam-malam yang panjang.
“Kok kamu belum tidur, Le?” tanyanya.
“Aku nggak bisa tidur,” jawab anaknya.
“Kenapa?”
“Nunggu Ayah…”
“Mau dibuatkan mi goreng?”
“Mau…”
Lalu ia membuatkan mi goreng kesukaan
anaknya dan menemaninya makan sampai tandas. Kemudian keduanya bergandengan
tangan masuk ke kamar depan dan tidur bersebelahan sambil saling memeluk sampai
jelang subuh.
Air mata adalah bahasa kehidupan yang
paripurna.
Puisi tersebut dipahatnya di batu nisan
ayahnya yang siang malam dikiriminya Fatihah—suatu kelak, ia pun akan diberikan
pahatan itu oleh anaknya. Agar aku sama dengan ayahku, tuturnya kepada istri
dan anak-anaknya
Jogja, 1 Juli 2019
*Edi AH Iyubenu adalah cerpenis dan esais, tinggal Jogja. Bisa ditemui di jagat Twitter lewat akun @edi_akhiles
*Dimuat di Jawa Pos, edisi 21 Juli 2019.
0 Comments