19.00
Aku duduk di kursi belakang.
Yang lain telah terlelap pulas sekalipun
tak di ranjang. Barangkali karena lelah, tak kuhiraukan handphone yang tetiba
terang. Kulirik, satu pesan muncul dari makhluk yang sebenarnya telah lama
hilang.
“Berhati-hatilah, usahakan kembali ke
rumah dalam keadaan gembira, Sayang” katanya.
“Bagaimana pula bergembira, sedang kau
sumber segala derita.”
“Engkau bisa saja menganggap bahwa aku
sumber derita; tapi ketahuilah bahwa hati ini tetap saja terpelihara dengan bijak
untukmu, Perempuan.”
“Perempuan nun jauh di sana. Itu bukan
aku, Rama.”
“Pokoknya gitu lah, engkau menafsirkan
segala bentuk perempuan itu siapa saja. Tak masalah. Yang penting bagiku, itu
adalah dirimu.”
“Kalau itu aku, tentu tak ada cemburu.
Tapi aku ragu. Katamu palsu!”
19.45
Di sampingku Layla tertidur lelap
sekali. Aku beringsut duduk tegak hati-hati. Pelan sekalipun sebenarnya aku
mulai emosi. Makhluk itu masih mengirimiku pesan lagi.
“Aku memang mengharapkan engkau ragu
seragu-ragu mungkin, karena bagiku untuk menjadi yakin itu adalah harus melalui
keraguraguan.”
“Kala-kala
waktu-waktu ragu-ragu rindu-rindu, perempuan itu tetap bukan aku.”
“Amat sulit meyakinkan bahwa itu memang
benar-benar dirimu sebab engkau tak kunjung menemuiku sejauh ini.”
“Hidup macam apa itu? Aku menemuimu?
Sementara kau pergi sejauh-jauhnya dan berjanji tak akan kembali. Aku tahu kita
memang tidak untuk bersatu. Pergilah sejauh kau suka dan lupakan kita.”
20.00
Ala mendengkur keras di depanku. Cukup
mengganggu. Tapi bagaimanalah, hati dan pikiranku masih sibuk menjawab
pesan-pesan makhluk satu itu.
“Padahal beberapa waktu itu aku akan
menemuimu kembali, tapi eh, malah kau lari.”
“Jangan balik menyerang. Cukup sudah
bermain-main!”
“Namun waktu itu caranya sedikit
berbeda. Sebab bukan aku sendiri yang akan meng-utuhkan pertemuan itu,
melainkan; ….”
“Melainkan anganmu saja. Makan itu
angan! Aku tak butuh.”
“Baiklaah, sepertinya memang tidak ada
yang perlu kita perdebatkan.”
“Biar kutegaskan. Semua telah usai
bahkan sebelum semua cerita dimulai.”
20.30
Bukankah aku tak salah kalau aku marah?
Empat tahun bukan waktu sebentar untuk aku mengaku benar-benar kalah. Makhluk
yang datang tiba-tiba lalu pergi dengan alasan paling pengecut di dunia, jelas
dia yang salah.
“Beberapa tahun lalu; sebenarnya aku
akan menemuimu kembali dan memastikan semuanya akan baik-baik saja, hal yang
menurutku akan sakral nantinya. Namun saat berita itu sampai kepadamu tiba-tiba
engkau mematahkannya. Mungkin karena dendam amat dahsyat hingga semuanya tak
beraturan.”
“Dan memang benar, aku belum lupa
semuanya. Lalu dengan mudahnya kamu bilang akan memastikan semuanya akan
baik-baik saja setelah kamu pergi begitu saja? Memang perasaan itu apa? Itu
mungkin pertama kalinya aku merasa benci tak jelas sebab hubungan yang saya
kira akan indah.”
“Ahh sudahlah. Kita lanjut di episode
selanjutnya.”
“Selesaikan! Aku ingin semua ini selesai
dan jangan muncul lagi suatu hari nanti.”
“Kisah sebelum-sebelumnya memang aku
yang memulai dan aku juga yang mengahirinya. Maaf.”
“Lalu menurutmu pernyataanmu itu tak
butuh penjelasan? Bahkan bahasamu ingin memastikan semuanya baik-baik saja, apa
pula itu? mengakhiri lalu memastikan—yang kau tinggal pergi—akan baik-baik
saja?”
“Baiklaaaah, aku mengaku salah.
Maafkan.”
“Apa
pula ini? Kurang ajar!”
“Ayo lepaskan semua amarahmu selagi
malam belum larut.”
Aku terengah menahan amarah yang
memuncak. Menghempaskannya, memejamkan mata, meredam, lalu teridur.
21.45
Di luar hujan. Kulihat sebentar,
perjalanan menuju Solo, dan makhluk itu kukira masih di tempatnya semula.
Bertahan.
“Lalu?” kata kataku.
“Kemudian teriaklah biar semua orang tau
kekesalanmu.”
“Pamer. Aku tak butuh orang tau. Aku
butuh penjelasanmu!”
22.00
Aku mencoba menahan diri dengan
pembahasan yang tak jelas ke mana ujungnya. Apa sebenarnya mauku dan apa pula
maunya?
“Ngopi dulu yuk.”
“Ngulur waktu.”
“Dari sisi apa yang harus aku jelaskan?”
“Kenapa memulai? Kenapa mengakhiri
sendiri? Kenapa tiba-tiba pergi tanpa ada penjelasan apa-apa?”
“Aku memulai karena ku anggap akan
menjadi sesuatu yang menarik nantinya, dan asal kau tau; aku pergi bukan maksud
meregas segala rasa darimu. Dan kepergianku bukan tanpa alasan. Sejak itu,
karena banyak yang tau hubunganku dan kau seperti apa, jadi perlahan aku
menjauh sebab saat itu menurutku belum waktunya untuk melangkah lebih jauh
lagi.
Dan aku beranggapan suatu saat akan akan
tiba pada waktu yang tepat untuk membicarakan yang lebih serius lagi. Tapi pada
saat tiba di mana untuk membicarakan lebih serius, malah di luar dugaanku..”
“Baik. Cukup. Semua selesai.”
Tak kuhiraukan lagi sekitar. Biar di
luar hujan dan guntur menggelegar. Aku hanya ingin terlelap tenang dan
melupakan segala gejolak yang kembali muncul. Mengapa pula hati ini mesti
begini bergetar.
Surabaya-Jogjakarta, 19 November
*Lailatul Q mahasiswi INSTIKA, aktif di
komunitas sastra Cafe Latte 52 Latee 1, pernah aktif di Bengkel Teater.
*Pernah tayang di Kabar Madura (tt).
0 Comments