BILA senja rebah dan malam datang
menjemput petang seperti malam ini, aku serasa hidup menjelajahi peristiwa
silam sewaktu bersamamu.
Waktu kita habiskan untuk bermain-main
di tepi sawah; mengejar burung-burung kecil yang terbang menyisir tanaman padi,
menangkap capung-capung yang berduyun-duyun, lalu bergelantung di dedaunan padi.
Tetapi, ah, kenapa senja kali ini tak
lagi sama seperti beberapa tahun silam, Nia?
Kalau masih kau ingat, dua puluh tahun
silam, di gubuk kecil ini, kau kerap kali datang tatkala senja tiba. Mengetuk
pintu. Melempar seulum senyum, mengajakku menikmati pemandangan sawah di senja
yang amat indah.
Tentu aku tak bisa menolaknya saat kau
meringis sambil menyeret tanganku untuk keluar rumah.
Di samping rumah gedek beratap jerami
inilah, daun-daun hijau menari, seperti tarian tanganmu saat kita main kejar-kejaran.
Mengejar burung dan capung-capung.
Di tepi sawah ini pulalah ramai dengan
cericit burung-burung yang tengah kelaparan mencari makan di tengah padi yang
sudah menguning.
Dan, ketika kau sedang berlari memburu
burung dan capung-capung itulah, kakimu tersandung, lalu terpelanting, jatuh ke
bawah tanggul sawah yang tinggi itu.
Pergelangan kakimu luka. Patah! Sekujur
tubuhmu penuh dengan lumpur sawah. Tentulah saat itu aku menjadi orang paling
panik-celikungan saat melihatmu.
Aku takut, aku khawatir, aku tak tega
melihat tubuhmu yang terkapar! Spontan aku langsung menggendongmu, dan kuantar
kau pulang ke rumahnya.
Dan tahukah kau, Nia, di rumahmu yang
bagai istana itulah akhir perjumpaan kita. Bila masih kau ingat, saat aku
mengantarmu pulang sore itu, betapa ibumu memarah-marahiku, ketika melihatmu
tengah diperaduanku.
Ia memaki-makiku, mengusirku untuk
segera pergi dari rumahmu. Aku pun diam-diam melangkah, meninggalkanmu pergi
meski perasaanku sangat berat kala itu.
Rintik-rintik hujan turun menemani
perjalananku. Di tengah jalan pesawahan itu, aku seperti disergap perasaan
benci. Benci akan keindahan sawah yang telah membuatmu terjatuh, dan kakimu
patah! Karena sebab itulah kita juga akan berpisah.
Bagaimana tidak, kalau semenjak
peristiwa itu, ibumu telah tahu kalau kita diam-diam sering bertemu, bermain
bersama. Padahal ia melarangmu untuk tidak bergaul denganku.
***
Selama beberapa bulan dari perpisahan
itu, aku lebih senang duduk meringkuk di samping rumah, melempar pandang ke
sekitar. Dalam penantian ini, barang kali kamu masih ingat dan meluangkan
waktunya untuk sekadar berjalan-jalan menikmati senja seperti biasanya.
Setelah sekian bulan, bahkan hampir satu
tahun kau tak ada kabar. Entah, kau telah pergi ke kota atau hanya sengaja tak
keluar rumah lantaran takut pada orang tuamu.
Sontak, aku terperanjat saat melihat
sosok perempuan yang tiba-tiba muncul menyusuri semak-semak rerumputan yang
menumpuk di tepi sawah itu. Dengan khidmat kuperhatikan, kuteliti lebih dekat
lagi, untuk memastikan siapa sebenarnya perempuan itu?
Dari arah berlawanan, terlihat gemulai
tangannya yang lembut, sebentuk tubuhnya yang seksi, dan gerambai rambut
lurusnya yang panjang, seolah perempuan itu memang benar-benar dirimu, Nia. Dan
mungkin itu memang dirimu, pikirku disergap keganjilan dalam hati.
Namun sayang, sesaat setelah aku mencoba
diam-diam mendekati, kekecewaanku malah kembali merajuk. Perempuan itu bukanlah
dirimu. Perempuan itu adalah perempuan lain yang mungkin menjelma seperti sosok
dirimu, seperti keanggunan wajahmu.
Perlahan aku memalingkan wajah.
Melangkah meninggalkan perempuan itu. Tetapi ia tetap saja terus berlari,
memburu burung dan capung, menari-nari sendiri, melambaikan tangannya dengan
indah, seindah kepak sayap burung tersebut yang terbang pulang ke sarang.
Ah, mungkin ini hanyalah kebetulan,
elakku, teringat saat awal-awal mengenalmu, bermain-main denganmu, sampai
saling menjalin cinta kita berdua.
Keesokan harinya, seperti biasa ketika
matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Aku beringsut dari dalam kamar. Duduk
meringkuk.
Memandang ke sekitar, ke belataran
pesawahan. Dan tanpa kuduga, sosok perempuan itu muncul kembali dari balik
rerumputan, melangkah.
Langkahnya terhenti tepat di tengah
pesawahan. Berlari-lari, mengejar burung dan capung-capung. Tepat di areal
sawah yang pernah menjatuhkan dirimu, dan mematahkan kakimu.
Spontan, aku beranjak sembari berteriak,
mencegahya untuk tidak berlari-lari di tempat itu. Aku langsung menyambar
lengan tangannya, menyeretnya, membawanya ke samping rumah. Takut, kalau-kalau
perempuan itu bernasib sama seperti dirimu.
Ia terdiam. Aku mematung. Setelah
sejenak, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Aku bergeming, baru ingat kalau
tindakanku terlalu berlebihan. Padahal aku belum kenal perempuan itu.
***
Hari demi hari kulalui bersamanya,
berbagi cerita dengan dirinya; cerita tentang dirimu, cerita tentang perjalanan
kita, Nia. Dan entah, terkadang aku merasa sangat bimbang dan kebingungan.
Hatiku tetap tidak bisa singgah darimu,
pikiranku tetap berjalan untuk keberlanjutan hubungan kita.
Tetapi, kenapa di lain sisi aku juga
merasa nyaman ketika bersanding bersamanya, Nia. Bersama Novela, perempuan yang
kuanggap jelmaan sosokmu.
Perempuan itu begitu perhatian kepadaku.
Setiap waktu ia tak pernah lupa menemaniku. Menemani kesedihanku lantaran
kehilanganmu.
Dan dia pun juga telah kuceritakan
tentang kisah kita. Ia juga menerimanya. Menerima keadaanku apa adanya. Lalu
salahkah bila aku suatu ketika terperosok pada jurang hatinya yang lembut itu,
Nia?
Semenatara sampai detik ini penantianku
untukmu selalu berujung kesia-siaan.
***
Hampir genap tiga bulan pernikahanku
dengan Novela. Betapa perhatian dan kasih sayang perempuan itu begitu besar
kepadaku. Tentu setiap lelaki akan berandai-andai untuk memiliki seorang istri
yang seperti itu.
Namun sayang, kasih sayang dan
kelembutan hatinya tetap tak bisa merubah perasaan cintaku kepadamu, Nia.
Setiap dekapan dan pelukan hangat dari perempuan itu tak sehangat dekapanmu di saat-saat
kita berdua di tepi sawah, menikmati sunset
sore itu.
Aku termangu di depan rumah. Seperti
biasa bila kulihat area pesawahan itu, ingatanku pulih kembali akan perjalanan
kita beberapa tahun silam.
Kadang
aku ingin tersenyum. Tetapi air mata sulit kubendung bila ingat akan
ibumu yang memaki-makiku ketika itu. Ah, entahlah di manakah kau sekarang,
Nia...?
Malam tiba, aku dan perempuan itu duduk
di beranda. Mengurai cerita tentang kita. Cerita layaknya seorang keluarga yang
sudah kita jalani hampir genap satu tahun.
Di mana bermacam peristiwa telah kita
jalani bersama, kita tanggung bersama. Dia bilang senang punya suami sepertiku.
Aku pun menjawab senang bisa hidup bersamanya. Dia mengulum senyum. Aku
membalasnya dengan ciuman.
‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan
Nia, Mas?’’ lenguh perempuan itu merekatkan bibirnya di telingaku.
‘’Benar, Sayang, aku sudah melupakan
semua tentang dia. Kini aku benar-benar mencintaimu,’’ ia terharu.
‘’Kalau suatu saat dia datang menemuimu,
apa kau yakin tetap mencintaiku?’’ dia merajuk.
‘’Iya, Sayang...’’
‘’Benarkah?’’ tanyanya lagi meyakinkan.
‘’Iya, Sayaaaang...’’ jawabku. Lalu
kupeluk ia dengan erat. Erat sekali!
***
Aku merasa rumah ini seperti istana.
Kebahagiaanku dengan perempuan itu semakin hari semakin tumbuh, berkembang
bagai bunga-unga mekar di pagi hari.
Dengan semerbak harum yang menyeruak.
Dan setiap orang akan iri bila menyergah keharuman bunga itu. Apa lagi saat ia
sudah benar-benar dinyatakan hamil oleh dokter.
Aku seperti menemukan kebahagiaan yang
tak pernah aku peroleh sebelumnya.
Pada suatu senja, aku dan istriku
berjalan menikmati sunset di samping rumah, di mana dulu aku sering
menikmatinya bersama Nia. Berlari-lari, memburu burung kecil dan capung-capung.
Ketika matahari beranjak telah
tenggelam. Lantunan adzan mulai berkumandang. Aku bergegas pulang. Sesampainya
di pekarangan rumah, aku dikagetkan dengan sosok perempuan yang duduk tepat di
beranda.
Tak seperti biasa orang bertamu waktu Magrib
begini, pikirku.
Perlahan kudekati perempuan itu. Sontak,
aku benar-benar terkejut saat melihat raut wajahnya yang memana perhatianku.
Aku tak yakin, itu adalah dirimu, Nia.
Tetapi ketakyakinan itu lenyap setelah
kau mulai berdiri, mendekatiku, menatapku dengan sorot mata tajam.
‘’Maafkan aku, Mas!’’ kau berdiri. Aku
mengalihkan pandang pada istriku. Dia hanya bergeming.
‘’Untuk apa kau datang ke sini?’’
tanyaku. Istriku tertunduk, seolah ada yang ia sembunyikan, namun tak bisa
untuk ia ungkap.
‘’Aku datang ke sini atas kabar istrimu,
yang memberitahuku bahwa kamu telah benar-benar berhasil melupakanku. Dan
memberikan cintamu kepada Novela,’’ jelasnya.
Aku diam sejenak. Sejak kapan Novela
kenal Nia?
‘’Dan terimakasihku pada Novela. Kau
benar-benar sahabatku yang tak bisa kulupakan jasamu. Tak bisa kubalas
kebaikanmu,’’ lanjutnya, ia menatap istrku lekat. Sementara aku hanya mematung
melihat wajah mereka berdua.
Malam larut, gerimis semakin deras
menjadi hujan lebat. Aku semakin tak paham apa yang terjadi di antara mereka.
Kupikir ini hanyalah sandiwara.
Namun, selang beberapa menit setelah
kamu pulang, dengan dipapah menggunakan tongkat oleh seseorang yang mungkin itu
pembantumu.
Barulah istriku menjelaskan: kalau kamu
dengan istriku adalah sahabat karib semenjak kecil. Dan, kehadiran Novela,
istriku saat itu ternyata atas permintaanmu untuk menggantikan posisimu karena
kakimu harus diamputasi sebab kecelakaan di sawah itu, dan lagi pula kau juga
dilarang keras untuk berhubungan lagi dengan diriku.
Sontak, disela-sela gemeretak air hujan
yang deras. Sesekali suara petir menyambar bubungan rumah, aku hendak beranjak
keluar rumah, mengejarmu. Menyatakan perasaan cintaku untuk menerimamu apa
adanya.
Namun, saat aku mulai berdiri, istriku
cepat menyambar tanganku, dan bertanya, ‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan
Nia, Mas?’’ lenguhnya melekatkan bibirnya di telingaku. Sesekali mengelus-elus
perut buncitnya di hadapanku.
Aku bergeming, lalu mengangguk. Di luar
rumah, hujan semakin deras, disertai gumuruh. Seperti gumuruh hatiku yang tak
bisa diredam untuk terus mengejarmu dan mengutarakan kekecewanku terhadap
istriku, yang ia hanyalah sebagai jelmaan dari perempuan kekasihku.
Yogyakarta, 08 Oktober 2012
*Marsus Banjarbarat, menulis cerpen di
berbagai media lokal dan nasional. Saat ini sedang menjadi pegiat buku di
Penerbit Sulur.
*Pernah dimuat di Riau Pos, edisi 10 Maret 2013.
0 Comments