HARI esok
hujan diperkirakan turun beserta angin lebat,
sekiranya begitu kata-kata yang sempat didengarnya dari stasiun televisi
swasta. Lagi-lagi dia tak ingin percaya pada ramalan cuaca.
“Halah,
itu hanya ramalan saja, omongan mereka para pembual yang tak memiliki
penghasilan lain selain meramal dengan embel-embel ilmiah”, katanya dengan
wajah sinis sambil berdecak lidah. Namun sebenarnya bukan itu yang dibencinya.
Ada kekesalan yang masih mengganjal dalam hatinya, sehingga kata-katanya
berlepasan tak terkendali. Suatu hal tentang masa lalunya itu yang tak ingin
diingatnya kembali, lagi-lagi tentang cuaca.
Sudah
lama Sarnito merasa resah dengan keadaan cuaca di desanya. Resah kepada kemarau
yang semakin kerasan menguasai belahan bumi yang sedang ditempatinya. meskipun
belahan bumi itu tak pernah mengeluh rasa panas, tetapi berbeda dengan Sarnito,
sudah berhari-hari ia mengeluh.
Ketika
Menjelang siang, Sarnito melewati pusat keramaian di sebuah lapangan sepak
bola. kedudukan Matahari pada waktu itu semakin memuncak dan mulai merekahkan
kelopaknya yang memancarkan sinar panas. Orang-orang tampak hilir-mudik seperti
sekawanan semut. Berjalan dengan langkah tergesa-gesa, sesekali terlihat ada yang
berteduh dibawah bayangan dari pantulan rumah pemukiman warga yang terletak di
seberang lapangan ataupun mencari tempat berteduh untuk duduk di bawah
pohon rindang.
Keramaian
di lapangan saat itu sebab ada Festival layang-layang, yang rutin dilaksanakan
setiap tahun di desanya. Akan tetapi mereka lebih akrab menyebutnya dengan
istilah Arésan. Karena pada acara itu tidak hanya menjadi hiburan
semata, melainkan disematkan juga arisan-arisan seperti pada umumnya.
Akan
tetapi Sarnito tidak bermaksud untuk menyaksikan Arésan tersebut,
melainkan dia hendak menuju ke kediaman Ripin, Satu-satunya dukun sumur di
desanya. Sarnito membutuhkan jasa Ripin untuk memeriksa keadaan sumurnya yang
beberapa hari ini tidak menghasilkan air. Akan tetapi usahanya bertemu Ripin
sia-sia untuk yang kedua kalinya. Pesan yang dia titipkan kepada Ripin kemarin
itu ternyata lupa disampaikan istrinya. Dia pun pulang dengan tangan
hampa membawa kekecewaan.
Keesokan
hari di teras rumah sederhananya, Sarnito merasa sedikit lega karena siang itu
ia tak ingin beranjak ke mana-mana. Mencoba melupakan Sumur yang kering
dirumahnya itu. Betapa ia akan kecewa untuk ketiga kalinya jika kembali ke
rumah Ripin, atau mungkin betapa ia akan kebingungan di jalan sesekali
mencari tempat berteduh seperti para pejalan kaki itu. Sesekali ia ingin
sejenak merenungkan kenampakan alam yang mulai dibencinya itu: Kekeringan,
udara panas, bau keringat, dan kekurangan air. Jika kemarau terus
berkepanjangan, hal itu berarti akan ada yang terancam, akan ada yang
mati—seperti hewan-hewan ternak di kandangnya hingga pohon jagung yang telah
gagal panen di kebunya.
Warna
langit yang semakin mencolok dan awan yang tampak seputih kapas itu menandakan
bahwa sedikit harapan hujan akan turun. Sarnito beranjak dari tempat duduknya
diteras bagian depan rumah, masuk ke dalam rumah, dan kembali lagi dengan
membawa surat kabar langganannya yang selalu datang terlambat. Beberapa tahun
terakhir ini, Ia mulai bisa dan biasa berlama-lama duduk di teras selama
musim kemarau. Selain dia telah memiliki penghasilan tetap dari Warung
kulakannya di Jakarta, ia juga mendapat sedikit penghasilan dari bertani dan
berternak di desanya. Hal itulah yang membuatnya tidak begitu menghiraukan jika
hewan ternaknya mati, atau panennya gagal. Yang ia hiraukan hanyalah ketika air
benar-benar tidak dapat lagi ditemukan dan mengancam kelangsungan hidup dirinya
beserta keluarga.
Sepertinya
kemarau juga telah membuatnya mengingat lagi pada kematian. Kematian ayahnya
belasan tahun yang lalu. Ayahnya terkenal klenik yang diakui kesaktiannya oleh
warga setempat sebagai pawang hujan. pernah suatu ketika menjelang malam,
ayahnya memerintahkan untuk mencari Sapu lidi, Tiga belas buah cabai Lombok,
dan Garam yang harus diambil langsung dari tambaknya.
“Buat apa, Pak?” tanya
sarnito penasaran saat itu. namun, tanpa sedikitpun berucap ayahnya melambaikan
tangan kanannya kearah depan sebagai isyarat agar Sarnito segera menuruti
perintahnya itu.
Sikap
Sarnito yang masih lugu saat itu hanya menuruti saja perintah ayahnya. Dia pun
berjalan mencari benda-benda tesebut dengan keadaan hati yang tetap dalam
kebingungan sambil sesekali mulutnya tampak berkomat-kamit untuk mengingat
benda-benda pesanan ayahnya itu. Singkat cerita, Sarnito baru mengetahui
keperluan ayahnya atas benda-benda itu ketika ritual berlangsung. Ya, Ritual
mencegah hujan yang diketahuinya dari salah seorang tetangga.
Sarnito
baru mengingat sesuatu bahwa dua hari yang lalu, beberapa orang pria menemui
ayahnya, sepengetahuan yang didapat dari ibunya mereka adalah suruhan Bos
pemilik tempat Wisata yang membutuhkan jasa ayahnya untuk mencegah hujan turun.
Selain pada waktu itu sedang musim penghujan beberapa hari yang akan datang pun
merupakan malam tahun baru yang tentunya sebagai momen paling berkesan yang
dapat di rayakan setahun sekali. Tempat wisata yang dimaksud sangat tidak asing
lagi dalam benak masyarakat. konon, omset yang didapat pada tahun baru
sebelumnya, bisa membuat pemilik tempat wisata itu mampu membeli rumah di kota.
dan jika tahun baru kali ini omsetnya meningkat ayah dijanjikan untuk diberi
lahan tanah yang cukup luas milik bos pemilik wisata itu. Setelah melihat
ritual itu Sarnito bersikap tidak peduli sebab kepolosannya. Dia tak lagi
memikirkan apapun dan menganggap hal yang dilakukan ayahnya itu adalah hal yang
biasa.
Keesokan
harinya menjelang sore, awan terlihat kelabu seperti biasa pertanda akan turun
hujan. Dengan mata polosnya Sarnito menangkap wajah Ayahnya sedang dalam
keadaan cemas. Tanpa bertanyapun setidaknya dia mengetahui kecemasan yang
sedang dirasakan ayahnya itu. Dengan disadari dirinya pula ikut merasakan
kecemasan itu. dia menduga bahwa hujan akan turun nanti malam bertepatan tahun
baru.
Dan
ternyata dugaannya benar, lepas waktu maghrib hawa panas terasa seperti biasanya
jika akan turun hujan. Tanpa meragukan dugaannya lagi, butiran gerimis mulai
terlihat disusul dengan hujan lebat pada malam itu.
Sarnito
melihat kebingungan ayahnya menjadi-jadi. Dia mengikuti langkah ayahnya
beranjak keluar rumah menghampiri tempat ritual yang dimaksud. Sarnito
menyaksikan ayahnya yang sedang berteriak dengan penuh amarah. Tindakan ayahnya
tampak tak terkendali hingga pada akhirnya, Sarnito melihat ayahnya terperosok
kedalam selokan yang tidak jauh dari tempat itu. Sarnito menghampiri Ayahnya
yang dalam keadaan tidak sadar dan berlumuran darah dikepalnya akibat benturan
keras itu. sejak itulah nyawa ayahnya tak tertolong hingga menghembuskan nafas
terakhir. Ditambah keesokan harinya tamu-tamu yang tentunya memesan jasa
ayahnya itu datang untuk menagih kembali uang muka yang telah diterimanya.
Sebuah
maut yang disaksikan Sarnito secara langsung kini teringat kembali dalam
benaknya di masa tua. Dalam keadaan musim yang berbeda, dia merasakan kemarau
ini adalah imbas dari perilaku ayahnya itu. Dia merasa ini adalah tulah
ritual Pencegah hujan dahulu, ada kaitannya dengan kemarau panjang saat ini.
Pikirannya mulai tak terkendali. Di teras rumahnya dia melihat pohon jati yang
sudah lama meranggaskan daunnya sampai tak tersisa itu seakan murka padanya.
Diamnya seakan mencaci dirinya:
“Semua
ini salahmu, Manusia!”, “Kamu yang turut membantu menghukum kami dahulu!
“Dengan kebodohanmu itulah ayahmu Binasa!”; “Kamu yang tidak menghalangi niat
buruk ayahmu yang hanya mementingkan perutnya!”; “Dan rasakan hukum alam ini!”
Tubuh
Sarnito tegang dan gemetar, pikirannya melesat-lesat seakan tak sadar, air
matanya tumpah. Dan jika sudah seperti itu, penyesalanlah yang mungkin
dapat merubah musim. Dan satu hal lagi, berhenti untuk percaya pada ramalan cuaca
beserta peramalnya.
Yogyakarta, Desember 2018
*Amir Fiqih lahir di Jakarta, 2 Februari 1995, berdarah Sumenep, Madura. Kini tinggal di Perum POLRI Gowok Blok C2 NO.112,
Caturtunggal, Depok Sleman DI Yogyakarta. Aktif di komunitas Literasiaa IAA Yogyakarta.
*Cerpen ini masuk dalam antologi cerpen “Pasir
Mencetak Jejak dan Biarlah Ombak Menghapusnya” oleh Komunitas APAJAKE.
0 Comments