BAGI kami masyarakat Bandungan, Rama Kae adalah sosok lelaki sederhana, berwibawa, relegius sekaligus misterius. Kehadirannya
senantiasa menjadi panutan banyak orang. Tingkah lakunya terpuji. Tutur katanya
yang lembut menyentuh hati. Yang pasti dia tidak pernah menebar rasa benci,
iri, dengki, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang berbahaya. Dia juga tekun
beribadah dan tidak pernah bosan mengajak orang-orang untuk juga tekun
beribadah. Di samping itu, banyak pula hal-hal yang tidak masuk akal dia
lakukan, yang membuat orang-orang tercengang heran.
Begitulah
selanjutnya, lelaki yang bertubuh tinggi, berkulit putih, serta selalu senang
berjubah itu menjadi muasal dari adanya kami masyarakat Bandungan. Oleh karena
itu, kami merasa perlu untuk tidak sekadar mengingatnya saja dan mengulang
cerita untuk generasi selanjutnya, tetapi harus pula merawat peninggalan-peninggalan
berharga miliknya baik yang berbentuk fisik maupun yang berbentuk ilmu dan
etika.
Ibarat
perjalanan panjang, sepertinya sosok Rama Kae itu adalah sejarah kami yang
tidak akan pernah selesai diceritakan dalam bentuk lembaran-lembaran kertas
ataupun dari mulut ke mulut. Selalu ada yang baru dan terasa perlu untuk
diungkap ke permukaan.
Kisahnya
ini memang tidak termaktub dalam sebuah buku seperti halnya kisah-kisah para
raja Sumenep, tetapi kami memilikinya, kami mewarisinya dari lisan ke lisan.
Kami ceritakan pula hal tersebut pada anak-anak kami agar mereka tahu dari mana
asal mereka yang sesungguhnya. Bahwa beberapa ratus tahun silam, di sini, di
Bandungan pernah berjaya seorang Tumenggung Huda.
Marilah
kita lanjutkan saja kisahnya: Menurut Nyi Ma’mi (hanya untuk menyebut satu di antara
sekian banyak keturunannya), salah satu keturunan Rama Kae yang masih ada
sampai saat ini menuturkan bahwa sebenarnya Rama Kae itu memiliki nama asli
Kiai Tumenggung Huda. Sebenarnya dia itu adalah sosok pendatang di kampung
Bandungan ini. Dia berasal dari tanah Jawa. Meski tidak ada keterangan yang
menyebutkan dari Jawa mana dia berasal, hanya saja menurut cerita, dia termasuk
salah satu petinggi Kerajaan Sumenep pada masa itu.
Nama
Rama Kae itu sendiri sebenarnya adalah julukan atau pemberian secara tidak
langsung oleh orang-orang Bandungan. Bagi mereka, nama Rama adalah panggilan
terhormat untuk seseorang. Panggilan tersebut juga merupakan panggilan bapak,
yang artinya sosok Kiai Tumenggung Huda merupakan sosok yang dituakan, sebagai
bapak yang mengayomi anak-anak dengan kasih sayang.
Kata
Kae berarti berarti sosok kiai. Kiai
bagi masyarakat Bandungan dan Madura pada umumnya menjadi salah satu dari tiga
sosok sentral yang paling dihormati dan disegani. Seperti ungkapan falsafah Madura,
Bhuppa’, Bhabbhu’, Ghuru Rato. Julukan ini tidak serta merta diberikan
orang-orang Bandungan kepadanya tanpa alasan, melainkan panggilan terhormat ini
karena sosok Kiai Tumenggung Huda sangat pantas untuk menyandangnya. Tinggi
ilmunya dan sopan santunnya menjadi alasan kuat dirinya mendapat gelar Rama
Kae.
Rama
Kae Tumenggung Huda hidup menjadi produk Bandungan sudah beberapa ratus tahun
yang lalu. Seluruh keluarganya sangat mudah beradaptasi dengan masyarakat
sekitar yang sebelumnya sudah bertempat tinggal lebih dulu. Sebagai orang baru, dia tidak pernah lupa bagaimana cara bergaul dengan penduduk
setempat.
Menjaga
etika yang baik dan akhlak yang terpuji,
tidak menyakiti perasaan orang lain, sabar, ramah, dan tidak menutup diri
menjadi modal bagi diri dan keluarganya untuk bisa melangsungkan hidup tanpa
rintangan. Karena itulah, dia tidak hanya disegani orang-orang, melainkan juga
disayangi, dihormati, serta selalu dijadikan tempat untuk mengadu. Meminta
pertimbangan, dan nasihat oleh masyarakat sekitar. Tidak membutuhkan waktu lama
baginya untuk bisa berkembang dan mengembangkan keinginannya untuk mengajak
orang-orang ke jalan lurus yang diridhai Allah. Dalam waktu singkat, banyak
orang yang datang kepadanya untuk segala macam urusan, mulai dari urusan yang
sangat sederhana, seperti urusan keluarga hingga persoalan budaya dalam ruang
lingkup yang lebih besar.
Sepulang
dari rumahnya, orang-orang tersebut seperti mendapat pencerahan dan ketenangan,
pikiran yang longgar dan akal yang tidak sempit. Padahal sebelumnya mereka
seperti tidak mendapatkan jalan keluar, pikiran yang buntu, dan hati gelisah.
Lantas orang-orang itu sepanjang jalan, di rumah, di ladang dan di mana saja
berada, mereka berpikir dan yakin bahwa Rama Kae bukanlah manusia biasa seperti
manusia pada umumnya. Dia sosok Wali Allah yang setiap ucapannya dan pengobat
luka hati. Setiap tatapan matanya adalah tetesan embun yang membawa kesejukan
luar biasa. Setiap gerak tubuhnya menimbulkan getar-getar kecil yang
menyenangkan.
Setiap
kali berpapasan dengannya, orang-orang akan memilih berhenti sebentar,
berbicara, atau hanya sebatas bertegur sapa. Sebab dengan demikian, mereka akan
mendapatkan sebuah ketenangan yang pada hakikatnya tidak bisa diceritakan lewat
tulisan dan lisan. Ketenangan yang tidak bisa digambarkan dengan cara apa pun.
Inilah
awal kewaliannya dipahami oleh masyarakat sekitar. Semakin hari dia semakin
disegani saja oleh orang-orang yang mengenalnya. Semakin hari dia semakin
dihormati oleh semua kalangan. Penghormatan yang luar biasa itu tidak lantas
dijadikan alat untuk mengambil keuntungan bagi diri dan keluarganya. Dia tetap
memposisikan dirinya sebagai seseorang yang membutuhkan orang lain untuk
melangsungkan hidupnya. Dia tetap menjaga kedekatan dirinya dengan orang-orang
sekitar. Dia tetap menjauhkan kebencian agar tidak menguasai hatinya, meski
beberapa orang ada yang membencinya.
“Apa
perlu kami menegurnya, Ke?” tawar
seseorang pada suatu ketika ada yang acuh tak acuh pada diri Rama Kae.
“Tidak
usah. Nanti malah kebencian lain yang menguasai hatimu. Kalau itu terjadi,
bisa-bisa mengundang kebencian lain dan sudah pasti akan terjadi permusuhan
yang memecah satu sama lain,” balasnya dengan tenang dan nada suara yang tetap
lembut.
“Biarlah,
kita tunggu saja. Suatu saat dia akan menyadari kesalahannya. Lagi pula
sebenarnya dia itu belum sadar saja, bukan tidak mau sadar,” lanjutnya, menenangkan
suasana yang tegang. Kata-kata Rama Kae dan telapak tangannya yang
mengusap-usap pundak lelaki itu begitu mudah memadamkan kemarahan.
***
Kita
lewat saja dulu cerita tentang perbincangan Rama Kae tadi dan pindah sebentar
ke sebuah rumah di ujung kampung tempat Rama Kae dan keluarganya tinggal.
Sebuah rumah yang tidak terlalu sederhana sekadar menyebut salah satu untuk
rumah orang kaya. Tegak berdiri di antara pohon-pohon kelapa dan siwalan yang
menjulang. Rumah itu cukup mencolok, sebab memang berbeda dengan kebanyakan
rumah di kampung itu.
Sesampainya
di rumah, orang yang tadinya ciut pada Rama Kae dengan pandangan yang
menyinggung perasaan tidak enak badan. Sepanjang malam badannya panas meriang.
Dalam mimpi, dia bertemu dengan sosok lelaki kekar berjubah putih dengan wajah
yang teduh. Lelaki berjubah itu lantas berkata dengan nada yang tidak marah, “Pikirkanlah,
apakah kamu sudah melakukan kesalahan pada orang lain?”
“Maksudmu?”
“Kalau
pernah, sebaikanya kamu datang menemui orang itu dan meminta maaf padanya,” lantas
lelaki berjubah itu pun raib begitu saja seperti ditelan awan putih.
Dalam
beberapa menit lelaki itu mengernyitkan dahi. Matanya menatap kosong. Dia
benar-benar dibuat bingung oleh perkataan lelaki misterius barusan. Diulanginya
ingatannya kembali. Mulai dari dia berangkat dari rumah tadi pagi hingga sore
dan tiba kembali ke rumah ini. Ia terperangah ketika mengingat sebelum sampai
di rumah. Ia menciutkan sapaan seseorang di ujung kampung itu.
“Benar.
Tadi siang saya menaruh kebencian, iri, dan dengki pada Rama Kae yang terlalu
disegani itu!” gumamnya dalam hati setelah dia terbangun dari mimpinya. Dan
esok harinya, pagi-pagi sekali, dia mendatangi rumah Rama Kae. Dan seperti
dalam mimpinya, dia benar-benar datang dengan tujuan untuk minta maaf. Anehnya,
sebelum kakinya menginjakkan halaman rumah Rama Kae, tubuhnya yang tadinya
masih panas meriang hilang begitu saja.
Sejak
saat itu, dia pun banyak bercerita tentang keanehan-keanehan itu pada orang
lain agar mereka menghormati lelaki itu. Menghormati orang asing yang datang
dengan membawa kasih sayang, bukan malah menebar sebanyak mungkin kebencian
yang akan membawanya pada penderitaan yang paling menyakitkan.
Tersebarlah
kabar baru itu ke pelosok desa tentang karomah dan kewalian Rama Kae hingga
orang-orang semakin menaruh rasa hormat, rasa kagum, dan rasa berlindung di
bawah kelembutan sikapnya, kecuali orang-orang yang masih belum mengenal
dirinya sendiri. Orang-orang itu kelak dalam cerita ini akan dimunculkan
kembali.
Pagi
itu, sebatang kayu yang sepintas tidak memiliki makna dan arti apa-apa
ditancapkan oleh Rama Kae dengan mengucap lafadz basmalah. Kayu itu ia niatkan
untuk mengikat tali kekang kuda putihnya yang jangkung dan gagah perkasa. Kuda
itu persis seperti kuda seorang panglima perang yang akan pengalaman di medan
pertempuran.
Siapa
sangka, dari sebatang kayu sebesar lengan manusia tumbuh menjadi sebatang pohon
kecil, beranting cukup rindang, dan berdaun lebat. Tidak ada yang menyangka
pula kelak pohon ini akan berguna sekali menjadi tanda pergantian sebuah musim.
Kami menamainya sebagai pohon nanggher, sebuah pohon yang ternyata bisa hidup
lebih dari ratusan tahun, sejak masa hidup Rama Kae hingga masa kami saat ini.
***
Baiklah,
mari kita lanjutkan terlebih dahulu cerita ini pada seekor kuda milikinya yang
ternyata juga akan menjadi muasal dari beberapa sejarah nama-nama di sekitar
kampung kami Bandungan. Kuda itu di mata Rama Kae, selain menjadi sebuah
kendaraan, ternyata juga menjadi hewan piaraan yang disayangi. Maka tidak heran
bila setiap pagi ia rutin memandikannya ke sungai kecil yang airnya mengalir
sepanjang musim penghujan.
Rutinitas
inilah yang masyarakat sekitar dinamakan sebagai Tojharan, sebuah sungai kecil yang
di kedua sisinya terdapat batu yang menghampar lebar. Itulah sebabnya, asal
muasal kata Tojharan. Gabungan dari kata “To”,
asal kata “Bato” yang berarti batu. Jharan yang berarti kuda. Nama ini lahir
begitu saja dari orang-orang Bandungan.
Sampai
saat ini, nama itu melekat di telinga kami. Menurut cerita yang berkembang,
ketika datang ke sungai ini pada malam hari, akan terdengar bunyi ringkikan
kuda yang begitu perkasa. Peristiwa ini menjadi tanda besar bahwa jauh sebelum
kami ada, ratusan tahun silam, di tempat memang menjadi tempat mandi kuda putih
milik Kiai Tumenggung Huda.
Di
sebelah barat daya Bandungan, ada sebuah
perkampungan lain juga yang tidak begitu
banyak penduduknya. Tergodalah hati Rama Kae untuk juga berkumpul,
bermain, dan berbaur dengan penduduk tersebut. Tujuannya adalah untuk menjalin
silaturrahim yang baik sesama manusia sebelum (akhirnya) mengajak mereka tekun
beribadah sebagai bekal di akhirat kelak.
Setiap
kali datang ke tempat itu, Rama Kae selalu mengendarai kuda putih
kesayangannya. Ia juga selalu mengikat tali kekang kudanya ke sebuah pohon
rindang di tengah-tengah kampung. Di tempat itulah kaki kuda putih itu menggaruk-menggaruk
tanah hingga rumput yang tumbuh kering dan mati. Masyarakat kemudian memberi nama
kampung itu Parama’an, yang memiliki arti tempat kaki kuda
menggaruk tanah.
Tidak
bisa dipungkiri kemasyhuran Rama Kae atau Kiai Tumenggung Huda. Namanya tersebar luas hingga ke luar kampung
Bandungan. Kabar ketenarannya ternyata melahirkan dua pandangan: Pandangan
pertama adalah orang-orang yang mengakui dengan suka rela, sedangkan pandangan kedua adalah orang-orang
yang tidak bisa menerima kabar itu. Di antara mereka ada yang langsung menaruh
kebencian yang mendalam. Ingin membuktikan langsung apakah benar yang dikatakan
oleh banyak orang tentang kehebatan Kiai Tumenggung Huda.
Ada
lelaki berkumis tebal dan bertubuh jangkung semakin penasaran. Menurutnya,
kelak namanya akan kalah dikenang dibanding nama Rama Kae, jika semua itu tetap
dibiarkan. Ketika baru pulang membeli beras, dia berjalan lewat jalan setapak
pematang sawah. Dengan mata yang tajam, langkah gontai, dan dada membusung,
lelaki sombong itu berharap bisa bertemu dengan Rama Kae. Dia ingin melihat
seperti apa orangnya.
“Saya
benar-benar penasaran,” gumamnya.
Dari
jauh dia sudah melihat sebuah gubuk sedehrana dengan langgar kecil tempat
anak-anak mengaji, dan sebuah pohon besar rindang di sampingnya. Dadanya
semakin berdebar ingin melihat dari dekat tubuh lelaki yang sangat kesohor itu.
Dengan ilmu kesaktian yang dia miliki serta modal sombong yang menjulang,
lelaki itu tidak berhenti berharap ingin bersua langsung tanpa sapaan
sebagaimana yang biasa dia lakukan.
Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Sungguh dia benar-benar merasa sangat gembira karena
keinginannya terpenuhi. Dia bertemu dengan lelaki berkulit putih dan selalu
memakai jubah putih itu. Dan kebetulan Rama Kae sedang menuntun kuda
kesayangannya menuju pohon besar.
“Kebetulan
sekali. Akan saya ganggu kudanya dengan mantra saya,” harapnya penuh gembira.
Dan
betul sekali, ketika lewat di samping Rama Ka yang baru selesai mengikat tali kekang, kuda itu langsung
melonjak tiba-tiba seperti ada yang melemparnya dengan batu. Tidak hanya itu,
kuda putih yang perkasa itu meringkik-ringkik mengerikan. Rama Kae punya cara
tersendiri untuk menenangkan kudanya yang menggila itu. Diusapnya kepala dan
pundak kuda kesayangannya itu dengan lembu. Dan kuda itu pun berhenti mengamuk.
“Maaf,
apa yang tuan bawa itu? sampai-sampai kuda kesayangan saya menggila seperti
tadi. Seperti ketakutan ketika melihat dua karung sak yang tuan pikul itu,” tanya
Rama Kae dengan lembut agar tidak menyinggung, apalagi sampai melukai hati
orang asing itu.
“Oh,
ini?” lelaki berkumis tebal itu balik bertanya dengan nada yang enteng. “Bukan
apa-apa, kok. Ini hanya dua karung garam yang saya bawa,” tambahnya.
“Oh,
begitu?” kata Rama Kae sambil tersenyum. Ia hanya mengangguk-angguk pelan, padahal ia tahu bahwa di dalam karung itu
isinya adalah beras. Ia membiarkan saja lelaki itu membohongi dirinya. Ia tidak
menegurnya. Dalam hatinya ia berharap suatu saat lelaki itu bisa sadar
akan kebohongannya tadi. Menurutnya, satu kebohongan akan membuat seseorang
sengsara dan menderita.
“Tidak
mampir dulu, Tuan untuk sekadar minum kopi dan ngobrol?” tanya Rama Kae.
“Oh,
tidak. Saya sedang keburu,” jawab lelaki itu, kecut.
Berlalulah
lelaki itu dengan membanting tatapan yang sinis kepada Rama Kae. Rama Kae tetap
membalasnya dengan senyum yang renyah.
Sepanjang
jalan, lelaki berkumis tebal itu tertawa sendiri. Dia merasa sudah menang.
Ternyata kehebatan lelaki pendatang itu tidak sebagaimana yang dia dengar dari
orang-orang. Ternyata Rama Kae tidak lebih seperti kebanyakan lelaki di
kampungnya. Terbukti dia sudah berhasil
membuat kudanya gila, meski tidak dalam beberapa lama berhasil tenang
kembali.
Sepanjang
jalan pula, setiap kali bertemu dengan seseorang, lelaki itumesti bercerita
tentang dirinya yang telah berhasil membuat kuda kesayangan Rama Kae gila. Dia
terlalu membanggakan dirinya. Dirinya terlalu mengunggulkan kehebatannya, berharap
orang-orang lebih memilih dirinya untuk dihormati, disanjung, dituakan, dan
disegani daripada Rama Kae.
Dia
tidak sadar, ada sesuatu yang besar telah terjadi pada dirinya. Dia terlalu asik
bercerita tentang kehebatan dirinya yang telah berhasil membuat kuda itu
meringkik-ringkik penuh amarah. Dia lupa bahwa dirinya di luar kesadarannya
akan dibuat menangis oleh keadaan lain.
Sesampainya
di rumah, dengan sisa tawa yang tawar, dia menceritakan peristiwa yang
menakjubkan tadi. Dalam hatinya dia seperti tidak berhenti untuk bercerita dan
terus bercerita. Sampai semua orang benar-benar mengaguminya. Sampai semua
orang benar-benar patuh pada setiap perintahnya.
“Kak,
Kak,” panggil panik istrinya dari dapur.
“Ada
apa?” sontak lelaki sombong itu melonjak dan langsung meluncur ke dapur mengira
sudah terjadi sesuatu pada isterinya. Betul sekali, sesampainya di dapur, dia
harus mengernyitkan dahi ketika melihat yang sudah terjadi. Sesuatu yang sangat
tidak masuk akal.
“Apa
ini?” tanya istrinya heran. Sementara dia benar-benar tidak memiliki jawaban
selain tercengang.
“Bukankah
saya menyuruh Kakak untuk membeli beras? Mengapa yang kakak bawa malah garam?
Kita akan makan garam?”
Ya,
lelaki itu ingat ketika Rama Kae bertanya tentang yang dia pikul, dia mengelabuhinya
dengan menjawab garam, padahal yang dia pikul adalah beras. Dua sak beras itu
telah berubah menjadi garam persis sebagaimana yang dia katakan.
“Ini
tidak mungkin.”
“Apanya
yang tidak mungkin? Kakak kira saya salah lihat?”
“Ini
pasti sihir.”
Peristiwa
menakjubkan itu ternyata tidak membuat dirinya sadar dan mengakui kesalahannya. Kebenciannya semakin berkobar.
Rasa dengkinya semakin menggunung.
Keesokan
harinya, lelaki sombong dan congkak itu pun datang ke rumah Rama Kae dengan
dendam membara. Dia akan melakukan yang lebih parah pada lelaki yang gemar
berjubah itu. Dia tidak hanya ingin kuda kesayangannya itu meringkik gila.
Kalau perlu lebih dari itu. Dia tahu kalau niat dan kedatangannya itu sudah
lebih dulu diketahui oleh Rama Kae. Hanya saja dirinya tetap berpura-pura tenang
dan tidak tahu menahu.
Disambutnya
kedatangan lelaki congkak itu dengan senyum yang ramah. Dipersilakan lelaki itu
duduk dengan sopan ke langgar kecil, tempat dirinya biasa menerima tamu-tamu.
Tidak sedikit pun di dalam hatinya ada rasa benci, meski sebenarnya dia sudah
tahu niat tamunya itu. Sifat dan sikap yang lemah lembut tetap dia tunjukkan
pada tamu yang nyata-nyata ingin mencelakai dirinya.
Sebentar
setelah mempersilakannya duduk, Rama Kae pamit keluar. Tidak dalam waktu yang
lama, akhirnya Rama Kae muncul dari balik pintu dapur membawa secangkir kopi (dia
memang terbiasa melakukan semua ini pada setiap tamu yang datang ke rumahnya),
tidak terkecuali pada tamu yang saat ini datang dengan dendam yang membara.
Dendam yang lahir karena rasa malu pada istrinya yang kesal ketika melihat
beras yang dia bawa ternyata berubah garam.
Pertemuan
sudah berjalan lebih dari 30 menit. Tidak ada tanda-tanda permusuhan di mata
lelaki berkumis tebal itu, bahkan dirinya sendiri merasa begitu tenang berada
di sisi Rama Kae. Dia juga tidak menyangka bahwa niat buruknya yang ingin
mencelakai Rama Kae berubah menjadi ketakziman yang mendalam dan kekaguman yang
diam-diam. Persis sebagaimana yang diceritakan orang-orang, setiap kata yang
keluar dari mulut Rama Kae adalah kesejukan yang membawa kedamaian dalam hati.
Dan hari ini dia benar-benar merasakannya sendiri.
Lebih-lebih
ketika dia dengan mata kepala sendiri melihat sesuatu yang sangat tidak bisa
dinalar oleh akalnya sendiri, rasa kagumnya bertambah. Rama Kae dengan tenang,
melepas jala dan menjaring ikan di sepetak sawah persis di samping langgarnya.
Aneh luar biasa, sepetak sawah yang dia lihat berubah menjadi kolam tempat
ikan-ikan segar berlarian. Dan ketika jala itu ditarik, menggelaparlah
ikan-ikan gemuk dan segar.
“Sungguh,
ini tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang,” gumamnya begitu lirih sambil
meletakkan telapak tangannya tepat di atas detak jantungnya. Air matanya jatuh
setetes demi setetes. Terkutuklah dirinya yang telah membenci orang yang
disayang Allah. Dia menyesal. Benar-benar menyesal. Dan dia meminta maaf atas
kesalahan yang telah diperbuatnya itu.
“Tunggu
sebentar. Setidaknya sampai ikan-ikan itu matang dan kita nikmati bersama,”
Rama Kae mencegah lelaki itu pulang.
Lelaki
itu benar-benar salah tingkah. Awalnya dengan modal kebencian dia ingin
mencelakai Rama Kae, tetapi saat ini justru orang yang dia benci itu malah mengajaknya
makan.
***
Kini,
kita kembali ke pohon yang semakin menjulang tinggi itu. Rerantingnya yang terus
bercabang semakin membuat rindang dan teduh. Lalu membuat sarang dan
beranak-pinak di sana. Bahkan hampir setiap pagi orang-orang Bandungan yang
sempat akan ke pohon itu unuk menunggu ikan laut jatuh seperti halnya orang
menunggu buah jatuh dari ranting pohon. Ya, ikan-ikan itu dibawa burung-burung
dari laut dan mungkin sesampainya di pucuk pohon ikan-ikan itu terjatuh.
Tidak
ada satu pun pada saat itu yang tahu bahwa pohon yang terus berbagi rezeki
berupa ikan-ikan dan tentu keteduhannya itu kelak akan menjadi tanda tentang
perubahan musim. Bagaimana tanda itu bisa terbaca? Mari kita simak bersama
bagaimana Rama Kae kembali menunjukkan hal-hal yang membuat semua orang
tercengang kagum:
Pada
suatu hari di musim kemarau, bersama beberapa orang, Rama Kae duduk santai di
bawah pohon nanggher yang
tidak lagi teduh ketika di musim penghujan. Daun-daunnya meranggas dan
berguguran ke tanah. Tinggal reranting saja yang angkuh. Salah seorang di
antara mereka tiba-tiba menanyakan tentang kapan musim penghujan tiba.
“Tidak
akan lama lagi sepertinya.”
“Belum
tentu juga. Bisa saja masih lama,” sambut yang lain.
“Menurut
perhitungan, ini sudah memasuki musim penghujan. Hanya saja entah kenapa belum
juga setetes air pun turun,” lelaki satunya juga ikut menyahut.
“Kalian
perhatikan saja itu,” kata Rama Kae sembari mengarahkan jari telunjuknya ke
reranting besar di bagian timur laut. Sontak, orang-orang yang hadir dalam
pertemuan santai itu membuang pandangannya persis ke arah yang ditunjuk Rama
Kae.
“Memangnya
kenapa, Ke?” tanya
salah satunya.
“Bila
sudah berdaun ranting itu, berarti musim hujan akan segera tiba. Tidak lama.
Tetapi lihatlah, beberapa pupus daun sudah mulai menyembul.”
“Itu
artinya?” tanya seorang warga.
Rama
Kae mengangguk pelan dan tersenyum.
Begitulah,
akhirnya orang-orang Bandungan tidak akan pernah membajak kebun, ladang, dan
memulai menanam jagung, meski hujan berkali-kali turun selama ranting yang
dimaksud itu belum berdaun. Jika tidak, mereka harus siap tanamannya meranggas
karena kekurangan air pada suatu hari nanti. Sebab, hujan-hujan itu sebenarnya
bukanlah hujan musim penghujan, melainkan hujan yang hanya numpang lewat.
Hingga
kini, kepercayaan itu tetap melekat kuat di benak kami. Kami akan memulai
membajak kebun dan sawah jika ranting di bagian timur laut yang ditunjuk Rama
Kae itu sudah berdaun. Jika tidak, kami akan bisa melakukan apa-apa karena
hujan tidak akan turun. Benar-benar tidak akan turun.
Kini,
usia Rama Kae sudah semakin sepuh. Tulang-tulangnya pun sudah tidak sekuat dulu
ketika masih muda. Kulitnya yang kuat dan segar kini terlihat sudah mulai
mengerut. Sudah banyak jasa-jasanya untuk Bandungan. Berkat perjuangan,
kegigihan, dan kelembutan sikapnya membuat kampung kami ini menjadi kampung
yang subur, aman, dan tenteram. Orang-orang yang dulu membencinya kini berbalik
menjadi santri-santrinya yang suka bertapa dan menyepi.
Lengkaplah
rasanya hidup Rama Kae di kampung ini. Menjadi muasal dari sejarah nama
Parama’an, Sungai Tojharan, Kaju Raja, dan perihal tanda-tanda pergantian musim
tersebut. Ada satu nama lagi yang masih belum disebutkan dalam cerita ini,
yaitu nama Buju’ Lanceng. Nama ini ada dalam kisah berikut ini. Yaitu tentang
peristiwa menyedihkan dan dia tidak bisa mengungkapkan pada siapa pun, termasuk
pada istrinya dan anak lelakinya sendiri. Biarlah mereka semua mengetahuinya
pada saatnya tiba.
Tepat
sekali, ketika hari itu tiba, hari di mana dia akan melihat banyak orang
menangis karena sedih, merasa kehilangan, dan semacamnya. Dia sudah mengetahui
lebih dulu peristiwa menyakitkan itu akan terjadi hari ini sebelum orang-orang
terdekatnya tahu, sebelum tangis itu benar-benar tenggelam, dan sebelum kuda
putih kesayangannya itu meringkik sedih.
Bahwa
hari ini sudah menjadi garis hidup bagi anak lelakinya untuk mengembuskan napas
terakhirnya sebelum dia sempat menikah. Orang-orang akan tercengang heran dan
tidak percaya. Sebab pada hakikatnya, putra Rama Kae itu tidak terdengar
menderita sakit sebelum-sebelumnya.
“Itulah
takdir,” ucapnya tenang pada semua orang yang turut hadir di rumahnya.
“Sehebat
apa pun manusia, sesakti apa pun dia, dan setangguh apa pun kekuatannya, tidak
akan pernah ada yang benar-benar bisa melawan kehendak Allah, termasuk dengan
diri saya.”
Orang-orang
yang hadir hanya bisa menunduk sambil membenarkan kalimat Rama Kae itu. Putranya
itu kemudian dimakamkan di Parama’an. Maka dikenallah di kampung
tersebut dengan Bhuju’ Lanceng. Lanceng
yang berarti lajang atau belum pernah menikah. Ini mengacu pada putra Rama Kae
yang meninggal sebelum menikah.
Sementara
kami di sini, sampai pada detik ini, tidak ada yang benar-benar tahu tentang
kisah Rama Kae selanjutnya, tentang kematiannya, dan di mana letak makamnya.
Hanya saja sosoknya masih sering hadir pada beberapa orang, termasuk
keturunannya dan orang-orang yang dia kehendaki untuk ditemui. Dia selalu hadir
dalam mimpi.
“Saya
tidak mati. Saya masih hidup. Dan kamu tidak perlu tahu aku ada di mana,”
itulah ucapannya setiap kali hadir dalam mimpi. Kami sangat mempercayainya,
sebagaimana kami yakin pula bahwa para Wali Allah tidak pernah mati meski
jasadnya tidak bisa melakukan apa-apa.
*F.
Rizal Alief merupakan nama pena dari Faidi Rizal. Lahir di Sumenep, Madura, 15 September 1987. Pernah belajar di UIN Suka Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi, dan esai.
Tulisan-tulisannya dimuat di media massa dan antologi. Bukunya yang telah
terbit: Alief Bandungan (Puisi,
2015), Gaik Bintang (Novel, 2015),
dan Purnama di Langit Pangabasen (Novel
Biografi Kiai Hosamuddin Pangabasen, 2015). Kini mengabdi di Madrasah al-Huda Gapura Timur, Sumenep, Madura.
0 Comments